tag:blogger.com,1999:blog-35579897251188768122024-03-13T18:54:05.731-07:00Newsniyajurnalismhttp://www.blogger.com/profile/06954668729158334229noreply@blogger.comBlogger8125tag:blogger.com,1999:blog-3557989725118876812.post-48317078267612137312012-02-14T20:53:00.001-08:002012-02-14T20:53:05.287-08:00niyajurnalismhttp://www.blogger.com/profile/06954668729158334229noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3557989725118876812.post-42100768068454371312012-01-17T00:34:00.002-08:002012-02-01T08:38:14.478-08:00JOKPIN<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-size: 26pt;">JOKPIN<o:p></o:p></span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;"><i><span style="font-size: 11pt;">Ayahnya mengharapkan jadi pastur, jalan puisi menjadikannya penyair.<o:p></o:p></span></i></div><div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;"><span style="font-size: 11pt;">Oleh Fahri Salam<o:p></o:p></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;"><span style="font-size: 11pt;"><o:p></o:p></span></div><div align="right" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: .5in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: right;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-size: 10pt;">—semua foto oleh Kiki Kurniawan <o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><b><span style="font-size: 11pt;">TUBUHNYA KURUS. </span></b><span style="font-size: 11pt;">Bibir<b> </b></span><span style="font-size: 11pt;">bawah tebal. Sepasang mata menjorok ke dalam. Alis lebat. Rambut terpotong pendek dan ditumbuhi uban. Wajah tirus. Pembawaan kalem. Ia pendiam. Pelamun suntuk. Perokok berat. Dua bungkus dalam sehari. Jenis rokok yang sama selama 25 tahun. Pernah seniman monolog Butet Kartaredjasa berkomentar, harusnya produsen rokok itu memberinya penghargaan. ”Bayangkan, sudah 25 tahun!” Ia tertawa.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Sesungguhnya, ia tipe manusia konvensional dalam memerlakukan dunia keseharian. Ia minum dari gelas yang sama, duduk di bangku yang sama, menikmati saat rehat di waktu yang sama; bertahun-tahun tanpa nada perubahan dramatis. Nurnaeni menceritakan, saat masih tinggal di Patangpuluhan, suaminya tak pernah beranjak dari kursi ruang tamu yang sama. Bahkan sekalipun ada kursi kosong di sekitarnya!</span><br />
<a name='more'></a><br />
<span style="font-size: 11pt;">Itu berlanjut saat mereka tinggal di perkampungan Singomulanjaya, Wirobrajan. Sepulang kantor, ia tercenung di satu kursi di pojok ruang tamu, dekat pot tanaman perdu, menghadap jendela. Kusparmono, teman main ronda serta tukang parkir Malioboro, selalu menyapa saat melintas di depan matanya.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Ia duduk di sana, merokok dan hanya di situlah tempat satu-satunya ia boleh merokok di rumah, merenangi pedalaman pikiran di bawah lamunan panjang hingga larut malam, mengutak-atik kata dalam kepala – sembari minum teh atau kopi diselingi makan ubi atau pisang goreng.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Joko Pinurbo pernah bilang kepada saya baru bisa nyaman bicara saat berduaan, ditemani kopi atau teh. ”Bukan karena saya tidak mau, bukan karena saya sombong. Sejak kecil itu saya sangat dikenal begitu. Orangtua saya tahu persis: pendiam. Kalau di rumah nggak suka banyak omong. Itu mereka paham, terutama ibu saya,” tuturnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Di luar urusan puisi, Joko bekerja di Kompas Gramedia. Kantornya di komplek Tejokusuman, tak terlalu jauh dari rumah. Ia sering naik bus umum. Bahkan, sewaktu tinggal di Patangpuluhan, Joko sering berjalan kaki menuju kantor.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Minmuhadi mengatakan selama 18 tahun sebagai satpam Tejokusuman tak pernah melihat “Pak Joko” naik motor sendirian. ”Kalau naik motor pun ya boncengan,” katanya. Herjatun Unang, teman sekantor Joko, menimpali, ”Kalau kemana-mana saya yang nganter.” Seperti saat Joko membaca puisi untuk ulangtahun Gramedia ke-42 di pelataran Kompas Yogya, Kotabaru. Joko membaca beberapa puisi dalam <i>Telepon Genggam</i>.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">”Lha, Pak Joko keh aneh,” ucap Min, lagi. ”Aneh, karena dia bisa beli motor, tapi kok ndak beli, gitu. Aneh to?” Minmuhadi tertawa.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Seorang temannya, Nasarius Sudaryono, berseloroh kepada saya—mungkin agak berlebihan, ”Itu Joko ya, kalau di bus bisa kecopetan, bisa ditipu orang, wajahnya kan tetap katrok. Ha..ha..ha…” Nasar murid Joko saat dosen di Sanata Dharma, dan saya kira hanya mantan murid macam Nasar yang mudah bicara seperti itu untuk mantan dosennya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Suatu malam dalam acara bertajuk “Retrospeksi Puisi Yogya 2007”, digelar di ampiteater Taman Budaya, Joko hadir di sana, duduk di deretan bangku belakang. Tiba gilirannya naik ke panggung. Pembawa acara, si lelaki berpenampilan necis dan merasa yakin dengan kata-katanya, menyeru Joko Pinurbo adalah penyair pemenang banyak lomba penulisan puisi. Di atas panggung, Joko lantas menanggapi “mungkin pembawa acara perlu data ringkas riwayat penyair terlebih dulu, karena saya tak pernah ikutan lomba, cuma kebetulan buku-buku saya mendapatkan penghargaan…”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Penonton menyambut dengan tawa. Namun Joko rupanya cuek saja, melanjutkan ucapannya dengan nada datar, betapapun ia penyair yang menerima bermacam hadiah, di antaranya Khatulistiwa Literary Award pada 2005 untuk buku <i>Kekasihku</i>. Inilah penyair yang disebut-sebut dengan karya paling segar dan paling luas penggemarnya saat ini — dan memang tak ada keraguan untuk itu.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Siapapun yang pernah menonton Joko membaca puisi akan tahu benar bagaimana menjalankannya. Ayu Utami mengatakan Joko Pinurbo berpenampilan seperti orang kebanyakan yang menjaga kesantunan umum tatkala di panggung. Ada hiburan yang segar plus lucu saat mendengarkannya membaca puisi. Bukan karena improvisasi penyairnya. Bukan pula gayanya. Kelucuan itu murni muncul dari baris puisinya, larik-larik sajaknya yang bercerita itu.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Di antara sajak yang dibaca Joko malam itu adalah <i>celana 1</i>. Ini satu sajak dari serial <i>celana</i> atau disebut ‘trilogi celana,’ muncul pada 1996, terdapat dalam buku kumpulan puisi <i>Celana</i> (terbit Juni 1999). Sajak ini melambungkan nama Joko Pinurbo dan ‘celana’ jadi ikon puisinya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><i><span style="font-size: 11pt;">Ia ingin membeli celana baru<br />
buat pergi ke pesta<br />
supaya tampil lebih tampan<br />
dan meyakinkan<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><i><span style="font-size: 11pt;">Ia telah mencoba seratus model celana<br />
di berbagai toko busana<br />
namun tak menemukan satu pun<br />
yang cocok untuknya</span></i><span style="font-size: 11pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><i><span style="font-size: 11pt;">Bahkan di depan pramuniaga<br />
yang merubung dan membujuk-bujuknya<br />
ia malah mencopot celananya sendiri<br />
dan mencampakkannya.</span></i><span style="font-size: 11pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><i><span style="font-size: 11pt;">“Kalian tidak tahu ya<br />
aku sedang mencari celana<br />
yang paling pas dan pantas<br />
buat nampang di kuburan.”</span></i><span style="font-size: 11pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><i><span style="font-size: 11pt;">Lalu ia ngacir<br />
tanpa celana<br />
dan berkelana<br />
mencari kubur ibunya<br />
hanya untuk menanyakan</span></i><span style="font-size: 11pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><i><span style="font-size: 11pt;">“Ibu, kau simpan di mana celana lucu<br />
yang kupakai waktu bayi dulu?”<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Penonton terbahak. Sebagian cekikikan. Sebagian tertawa geli.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><img align="left" alt="Copy of jokpin 2" height="336" hspace="12" src="file:///C:/DOCUME~1/ADMINI~1/LOCALS~1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image004.jpg" v:shapes="_x0000_s1026" width="220" /><b><span style="font-size: 11pt;">JOKO PINURBO ANAK JAWA </span></b><span style="font-size: 11pt;">y</span><span style="font-size: 11pt;">ang numpang lahir di Sukabumi, pada 11 Mei 1962 saat ayahnya, Sumardi, pengajar sekolah dasar swasta di pedalaman Pelabuhan Ratu. Ibunya, Ngasilah, ibu rumahtangga biasa. Joko anak sulung dari empat laki dan satu perempuan. Ia dititipkan ke Suratno, kakak Ngasilah, untuk melanjutkan sekolah menengah pertama di kampung asal orangtunya, satu dusun kabupaten Sleman, utara kota Yogya. Namun orangtua Joko menyusul setengah tahun kemudian. Pasalnya, sekolah tempat mengajar Sumardi tutup. Keluarga ini akhirnya memilih tinggal di rumah mertua.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Mereka hidup prihatin. Sumardi tanpa pekerjaan tetap. Joko suka pakai celana lungsuran ayahnya, lebih karena tak mampu beli baru. Ukuran pinggang mereka sama-sama 27. Cuma Sumardi lebih tinggi, kalau dipakai Joko agak kedodoran. Dalam beberapa puisinya yang lahir bertahun-tahun kemudian, ayahnya kerap dijadikan bahan parodi. Joko kagum pada Sumardi karena ”Orangnya tabah luar biasa.” Sementara Ngasilah sosok ibu yang menerbitkan frase ‘ibukata,’ ‘iburindu’ atau ‘ibucinta’ dalam sajak-sajaknya. ”Justru nilai-nilai keibuan itu malah dari bapak saya. Tapi kalau mengenai perjuangan keras, keberanian, itu malah dari ibu saya,” tutur Joko.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Pada akhir 70-an, pemerintahan Soeharto menerbitkan instruksi membuka sekolah-sekolah tingkat dasar di wilayah pedalaman. Kebijakan itu menghampiri kehidupan Sumardi yang ditawari tugas mengajar di satu SD Inpres. Kebetulan sekali, daerah penempatannya di Sukabumi, hanya beda lokasi tapi tak jauh dari tempat mengajarnya dulu.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Saat yang bersamaan Joko Pinurbo baru lulus SMP. Sumardi dan Ngasilah menilai Joko anak yang lumayan cerdas. Sumardi ingin salah satu anaknya ada yang jadi pastur. Joko pilihannya. Mereka memintanya ikut tes sekolah seminari Mertoyudan di Magelang. Joko lulus dan mulai menjalani kehidupan asrama. Mereka pun kembali berpisah.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Praktis, sejak masuk seminari, Joko jarang bertemu orangtuanya yang hingga kini ”tetap di pelosok Sukabumi.” Bagi Joko, pengertian “pelosok Sukabumi” ini adalah sisa kenangan yang terpatah-patah dalam ingatannya. Itu hanya berupa kilatan-kilatan: sebuah tempat yang ”jaaauh sekali dari kota,” yang ”kira-kira harus berjalan kaki enam sampai tujuh kilometer untuk mencapai jalan raya besar.”Joko mengenangnya sebagai tempat yang ”sangat terpencil di tengah perkebunan karet, di tengah hutan belantara, sama sekali nggak ada bacaan, nggak ada apapun.”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Di asrama, Joko dikenal pendiam. Teman-teman mengenal Joko anak muda yang suka baca. Kesenangan Joko pada bacaan tersalurkan karena koleksi perpusatakaan sekolah sangat lengkap. Sewaktu teman-teman tidur siang, Joko malah pergi baca buku-buku sastra di perpustakaan atau sembunyi di kebun. Kadang juga di ruang kelas saat yang lain menyuntukki buku pelajaran.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Satu hari, Joko membaca sebuah sajak Goenawan Mohamad dari buku kumpulan puisi <i>Pariksit</i>. Judulnya <i>Kwatrin tentang Sebuah Poci</i>:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><i><span style="font-size: 11pt;">Pada keramik tanpa nama itu<br />
kulihat kembali wajahmu<br />
Mataku belum tolol, ternyata<br />
untuk sesuatu yang tak ada<br />
<br />
Apa yang berharga pada tanah liat ini<br />
selain separuh ilusi?<br />
sesuatu yang kelak retak<br />
dan kita membikinnya abadi.</span></i><span style="font-size: 11pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Joko membaca berulang-ulang bait terakhir puisi tersebut. Jiwa mudanya bergolak. Resah. Bagaimana seorang anak muda usia SMA, ”Katakanlah mau mulai mengenal hidup beneran sudah dihadapkan premis itu: sesuatu yang kelak retak dan kita membikinnya abadi… Wuah…, gila sekali itu untuk anak SMA! Sangat menggemparkan saya. … Puisi Goenawan itu sudah bikin saya gelisah!” Sajak itu pun secara tematik kelak menginspirasinya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Lalu Sapardi Djoko Damono. Penyair pengulik tema-tema sederhana, tanpa pretensi politik atau ideologi apapun ini menerbitkan kumpulan puisi <i>duka-Mu Abadi</i> pada 1969. Pelukis Jeihan menaja buku itu. Keduanya kelak memprakarsai ‘Anugerah Sih Award’ melalui <i>Jurnal Puisi</i> di mana tahun 2001 penghargaan tersebut jatuh, tak lain dan tak bukan, pada Joko Pinurbo!<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Joko tersihir pada larik pertama puisi <i>prologue</i>: “<i>masih terdengar sampai di sini/ duka-Mu abadi.</i>” Dan selama menekuri puluhan puisi Sapardi, ia terkesima dengan puisi <i>Berjalan ke Barat waktu Pagi Hari</i>:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><i><span style="font-size: 11pt;">waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi matahari<br />
mengikutiku di belakang<br />
aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang<br />
memanjang di depan<br />
aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara<br />
kami yang telah menciptakan bayang-bayang<br />
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di<br />
antara kami yang harus berjalan di depan.</span></i><span style="font-size: 11pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Itu puisi luar biasa bagi Joko, ”Banyak yang dahsyat dari puisi-puisi Sapardi, tapi menurut saya tetep itu – mungkin lain dari orang lain. Di situ nggak ada metafor, cuma cerita… Juga nggak ada endingnya gimana. Tidak ada perumpamaan-perumpamaan, kecuali seluruh puisi itu kita anggap sebagai metafor. Daaahsyat itu loh…”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Sapardi memperkenalkan Joko memasuki perkara-perkara sederhana. ”Jadi antara <i>sense</i> dan <i>meaning</i> itu memang ternyata beda. Sesuatu bisa bermakna tanpa kita mengerti artinya secara konseptual. Nah, puisi-puisi yang terlalu dibebani arti, oleh amanat, oleh pesan-pesan, malah justru nggak mempesonalah,” kata Joko, menerangkan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Joko ingin mengoleksi buku puisi kedua penyair itu. Pada satu akhir pekan, ia pergi ke Yogyakarta, mencarinya di pasar buku “shoping,” sebelah timur Malioboro. Ia mendapat <i>duka-Mu abadi </i>sementara <i>Pariksit</i> agak lama didapatkan, jauh ketika ia kuliah. Joko senang bukan main membawa pulang sebiji buku itu ke asramanya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Pada 1981 Joko lulus dari Mertoyudan. Alih-alih meneruskan ke seminari tinggi, sebagaimana harapan awal ayahnya, Joko malah memilih Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Sanata Dharma Yogyakarta. Ia mengambil studi Bahasa dan Sastra Indonesia.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Masa itu Yogyakarta tempat bersemai kantung diskusi para seniman. Hingga paruh pertama 80-an, masih ada komunitas Persada Studi Klub bikinan Umbu Landu Paranggi. Ada Jalan Mangkubumi, tempat harian <i>Kedaulatan Rakyat</i> serta <i>Minggu Pagi</i>, yang jadi ajang nongkrong diskusi serta publikasi karya-karya sastra. Ada pula majalah kebudayaan <i>Basis </i>asuhan Dick Hartoko sebelum ditangani Shindunata. Juga ada komunitas Bulaksumur yang dimotori Umar Kayam dan Landung Simatupang.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Lingkungan yang cocok, iklim yang pas bagi kemunculan para pengarang muda, kian memperbesar hasrat Joko Pinurbo menekuni puisi. Namun, namanya juga pembaca suntuk, di sisi lain Joko agak malas kuliah. Apa yang ia baca di seminari menjadi bahan pelajaran di ruang kuliahnya. ”Jadi ketika saya kuliah sastra di Sanata Dharma, waduh, ya ampun, mengulangi semua ini,” katanya. Ia sudah membaca hampir semua buku terbitan Pustaka Jaya. Ini satu penerbit dari Jakarta yang menerbitkan banyak buku sastra bermutu dari sedikit jumlah penerbit di masa itu.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Joko mengisi lebih banyak waktu di luar kelas. Ia setahun menjalani ketua Badan Perwakilan Mahasiswa (1983-1984). Ia pun mendirikan grup Sanggar Kelana dengan kawan-kawan main. Ia rajin menulis puisi dan beberapa di antaranya dimuat koran dan majalah.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Di kampusnya, ia editor majalah triwulan <i>Gatra</i> dan majalah <i>Sadhar</i>. Ia punya adik kelas yang kemudian dikenal penyair, namanya Dorothea Rosa Herliany. Kelak, Rosa punya peran penting dalam menerbitkan <i>Celana</i>.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Siapa dosen Joko?<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Joko menyebut satu nama: ”Pak Rahmanto!” Uniknya, Rahmanto pula yang mengajar sastra sewaku Joko di Mertoyudan. Mereka bahkan satu rekan kerja saat Joko membantu <i>Basis</i> dan kemudian menjadi dosen.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Rahmanto mengatakan, Joko penggerak teman-teman dalam berkesenian di kampus. Ada teman dekat Joko saat kuliah, namanya Sabar Subekti yang juga rajin menulis. Subekti lah, bukan Joko, yang dianggap Rahmanto bakal jadi penulis. ”Eh, malah Joko yang muncul,” kata Rahmanto, kini kepala prodi sastra Indonesia di Sanata Dharma. Subekti sendiri sekarang wartawan <i>Suara Pembaruan</i> di Jakarta.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Joko dan Subekti masih sering kontak. ”Terakhir bertemu dengan Subekti kayaknya dua tahun lalu,” kata Joko, mengingat-ingat.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Rahmanto punya satu cerita tentang mereka. ”Ini <i>off the record</i>,” katanya, ”Joko itu kan sakit-sakitan ya, punggungnya pernah disetrika untuk menghilangkan penyakitnya!”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Joko membantah, ”Ah itu bohong. Pak Rahmanto itu jika cerita kadang berlebihan. Itu sebetulnya bukan <i>off the record</i>. Cerita itu ada di tulisannya dan tersebar di kampus.”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Dalam cerita Rahmanto, yang menyetrika punggung Joko adalah Sabar Subekti. Subekti segera menemui Joko dan menyangkalnya. ”Memang bohong,” kata Joko, tertawa pada Subekti. Mereka membiarkan cerita lucu tersebut.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Pada 1986, terbit buku antologi puisi <i>Tugu</i>, berisi karya 32 penyair Yogya, susunan Linus Suryadi AG. Joko termasuk di dalamnya. Tahun yang sama Joko memiliki buku kumpulan puisi <i>Sketsa Selamat Malam</i> dan <i>Parade Kambing</i>. Namun keduanya berupa stensilan. Joko tidak menyimpan kedua buku itu dan tak menyesalinya. ”Anggap saja itu masa latihan lah,” katanya, berseloroh.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Setahun berikutnya Joko menamatkan kuliah. Ia merasa itu agak telat. Enam tahun baru lulus. Ia sendiri punya pikiran tidak mau menyelesaikan. Tapi Joko menyadari dirinya. Ia hanya anak seorang guru bergaji pas-pasan, jauh dari orangtua, anak sulung yang punya tanggungan empat adik. Ia lahir dari keluarga sederhana. ”Saya nggak punya modal yang lain. Kalau nggak dapat ijazah, waduh! susah nanti,” katanya, membatin.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Tahun itu juga Joko Pinurbo diterima mengajar di Sanata Dharma.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><img align="left" alt="muka pintu" height="198" hspace="12" src="file:///C:/DOCUME~1/ADMINI~1/LOCALS~1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image005.jpg" v:shapes="_x0000_s1027" width="300" /><b><span style="font-size: 11pt;">NASARIUS SUDARYONO</span></b><span style="font-size: 11pt;"> mahasiswa</span><span style="font-size: 11pt;"> baru sastra Indonesia saat Joko mulai mengajar. Usianya 21 tahun, terpaut empat tahun dengan Joko. Mereka bertemu pertama kali di toilet mahasiswa. Joko buang air kecil di situ, yang kotor tak terawat, bukan di toilet dosen. Nasar menikmati sekali kelas Joko.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Matakuliah yang diampu Joko di antaranya apresiasi puisi dan menulis kreatif. Joko memperkenalkan sastra pada anak didiknya mula-mula bukan berdasar teori, tapi mengajak mereka terlibat langsung dalam dunia sastra. Kelasnya menjadi kelas idaman. Jumlah mahasiswanya saat itu sekitar 120 orang, dalam satu ruangan besar, sebelum dua tahun kemudian dipecah dua kelas. Kursi-kursi penuh. Banyak tawa. Banyak suara. Suasana kelas mirip pasar.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Ada tangga berundak dari lantai, membentuk semacam panggung, di depan papan tulis. Joko sering menggunakan panggung itu sebagai “mimbar bebas.” Ia kerap minta Nasar mengisinya. Nasar juga sering membantu koreksi tugas murid Joko. Namanya mahasiswa, Nasar kadang iseng, ”Yang kira-kira cantik itu, saya bilang ini jelek nih. Iseng. Dia belum tahu. Ha ha ha…” Tapi hubungan mereka tetap profesional, ”Selebihnya saya serius. Dalam arti serius dia memberi kesempatan saya untuk berkembang,” kata Nasar.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Mengoreksi tugas macam itulah, kata Joko kepada saya, ”Yang lebih pusing sebetulnya.”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Hubungan Joko dengan para mahasiswa tak sebatas di ruang kelas, tapi juga di luar kampus. Ia ikut kumpul dengan mereka. Kalau mereka minum bir? Joko tak segan ikutan, tapi ”dia bukan peminum, sifatnya <i>ngemong</i>, dia menemani kita minum,” kata Nasar. Menurutnya, Joko satu-satunya dosen yang bisa bersikap begitu, sementara dosen lain umumnya “jaga jarak.”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Murid-murid Joko punya sebuah <i>basecamp</i> – sebutan mereka untuk rumah milik adik ipar dramawan Landung Simatupang. Nasar diminta menunggu rumah itu. Joko kerap menginap. Ia tidur dan makan bersama mereka dari tempat yang sama. Ini satu masa mengesankan buat Nasar.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">”Pagi hari dia bisa mengajar saya dengan sangat, sangat kompeten. Dan saya menghormati, menghargai dia. Sore hari dia bisa ke rumah saya untuk utang. Saya nggak punya duit, saya pinjam duit. Dan…dan..utang gitu loh. Jadi tidak ada barter nilai. Jadi, absurd ya dia. Dosen muda. Baru di tonggak. Tapi untuk ukuran Sanata Dharma sebenarnya dia merupakan bintang. Dosen andalan. Karena dia punya nama secara nasional… Tetapi dia bukan orang yang menikmati kedudukan dan popularitas itu sebagai sesuatu miliknya, sama sekali ndak ada,” Nasar menuturkan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Namun, Joko selalu bilang, ”Dosen itu kan kecelakaan sejarah saja buat saya, selebihnya adalah kawan di dalam belajar.”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Meski begitu, Nasar mengaku kepada saya, ”Dengan rasa hormat, saya meletakkan dia sebagai guru di dalam diri saya.”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Dari mana Joko menemukan model pendekatan mengajar begitu terhadap mahasiwanya?<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Nasar, yang bertahun-tahun mengenal Joko, menduga itu hasil dari irisan eksplorasi Joko sendiri — “kesukaannya untuk serba eksplorasi dan mencatat, menemukan sesuatu dari perjalanan hidupnya”— dengan <i>style</i> Joko yang tidak suka kemapanan. ”Saya kira kok gabungan dari dua itu.”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Joko mengatakan hal serupa. Tidak secerlang keterangan Nasar, memang. Hanya Joko bilang, singkat, ”Saya semacam membikin pendekatan saya sendiri.”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Pendekatan <i>ala</i> Joko inilah yang menginspirasi cara mengajar Nasar sebagai guru sekolah swasta di Surabaya selama sepuluh tahun.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Nasar kini bekerja di Dinamika Edukasi Dasar, lembaga pendidikan bersifat nirlaba peninggalan Romo Mangun. Lembaga ini konsentrasi pada riset pengembangan pendidikan dasar untuk anak-anak miskin dan terlantar secara struktural. Kesibukan Nasar kini ke pengembangan guru. Ia sering bepergian dan tak jarang bertemu dengan teman-teman kuliah dulu. ”Itu teman-teman –semua yang sekarang jadi guru – selalu mengatakan pelajaran Mas Joko, cara ngajar Mas Joko, menjadi model yang paling terkesan,” kisah Nasar.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Toh, pekerjaan mengajar tak kenal kompromi. Pagi-pagi mesti ke kampus. Mempersiapkan dan mengoreksi tugas-tugas. Lama-lama, Joko bosan. Tak kerasan. Tipe mahasiswanya pun berganti. Zaman Nasar dengan generasi belakangan sudah jauh beda. Ini tak asyik lagi bagi Joko. Pendidikan formal di Indonesia lebih banyak bikin anak-anak didik pasif menerima pengetahuan, menghapal dan menghapal, dan ironisnya lagi itu terbawa hingga ke bangku kuliah.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Joko pernah mengutarakan kegelisahan kepada Nasar, ”Saya lelah, karena saya harus banyak bicara sekarang. Kalau dulu itu saya bisa berpikir bersama mahasiswa, sekarang sudah nggak bisa lagi.”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Keinginannya masuk ke dunia penerbitan muncul lagi. Pada 1992, Gramedia menerimanya sebagai editor. Setahun sebelumnya, 28 Februari 1991, Joko menyunting Nurnaeni, pacarnya sedari mahasiswa. Kehidupan Joko mulai berganda. Namun sejatinya ia makin soliter.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><img align="left" alt="jokpin 3" height="279" hspace="12" src="file:///C:/DOCUME~1/ADMINI~1/LOCALS~1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image007.jpg" v:shapes="_x0000_s1028" width="184" /><span style="font-size: 11pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><b><span style="font-size: 11pt;">ADA SATU KOMPLEK </span></b><span style="font-size: 11pt;">di pinggiran Kota Yogya bernama ndalem Tejokusuman. Luasnya sekitar satu hektar, dirimbuni 18 pohon sawo, tinggi-tinggi dan lebat. Ada gerbang besi, pos satpam, sepasang pendopo menyatu dengan rumah induk. Ada kantor penerbit Grasindo, stasiun radio Sonora, gudang, sumur, petak-petak halaman kosong, rumput-rumput liar dan pohon-pohon pisang. Di sinilah Joko Pinurbo bekerja. Ia satu dari 16 ribu karyawan Kompas Gramedia.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Awalnya Joko di Jakarta. Lima atau enam bulan kemudian ditarik ke Yogya, membantu unit penerbitan baru Grasindo. Manajernya, Frans Meak Parera, orang lama perbukuan yang merintis Grasindo sejak 1989, bekerja di Gramedia sejak 1977. Grasindo khusus menerbitkan paket buku pelajaran sekolah, dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Selain di Yogya, ada di Jakarta, Palembang, Semarang, dan Surabaya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Joko mengawali pekerjaan di Grasindo mengelola majalah berkala <i>Arif</i>, khusus untuk menjawab soal-soal ujian pendidikan dasar, bersama Ariobimo. Masa ini dunia sekolah mengenal Cara Belajar Siswa Aktif atau disingkat CBSA. Ini proyek British Council bekerja dengan departemen pendidikan, misinya memajukan <i>active learning</i> bagi para siswa sekolah negeri. Parera kenal baik dengan Harsja Bachtiar, kepala pusat penelitian dan pengembangan departemen tersebut. Ia juga mengenal S. Belen, <i>partner </i>guru-guru di Inggris, yang punya akses ke departemen itu. Belen diajak mengembangkan produk Grasindo. Secara serentak beragam buku berisi metode belajar terbaru CBSA diterbitkan Grasindo.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Di sisi lain, bulan-bulan pertama 1993, Parera makin sering bertemu Mangunwijaya dari Laboratorium Dinamika Edukasi Dasar. Mereka prihatin proyek CBSA mulai kendur dijalankan. Penyebabnya, dana British mulai berkurang. Mereka menilai, seharusnya proyek macam CBSA tetap dilanjutkan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Selepas satu seminar pendidikan, Mangunwijaya bertemu Jakob Oetama di Palmerah, Jakarta Selatan, kantor Kompas-Gramedia. Oetama pendiri dan <i>chief executive officer</i> Gramedia. Romo Mangun menawarkan program pendidikan eksperimental sekolah dasar Mangunan, terletak di Kalasan, sebelah timur Yogyakarta. Ini proyek trimitra antara DED dengan Grasindo mewakili Gramedia serta Romo Toot van Voorst dari Yayasan Kanisius. Mereka sepakat proyek tersebut untuk sembilan tahun (1994-2003), atas ijin dan dukungan menteri pendidikan Wardiman Djojonegoro, disesuaikan gerakan wajib belajar sembilan tahun. Wardiman teman sealmamater Mangun di Sekolah Tinggi Teknik Rhein, Aachen, atau Parera mengistilahkan hubungan itu “Jerman Connection.”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">”Di tengah kesibukan perintisan ini, saya punya tangan kanan di Yogya yakni Joko Pinurbo,” tutur Parera.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Joko kadang ikut pertemuan dengan para guru Mangunan. Di sini pula, perkenalannya dengan Mangunwijaya kian mempertebal proses keimanan universal Joko, yang sudah dipupuknya sejak tinggal di Sukabumi di tengah mayoritas Muslim. Romo Mangun inspirator Joko dalam laku kemanusiaan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Sementara Joko mulai makin matang dalam penulisan puisi, di sisi berlawanan, ada beberapa perubahan dan kejadian mendadak, yang ikut berimbas pada pekerjaannya. Dimulai ketika Parera dipindahkan dari Grasindo, akhir 1995. Terjadi pergantian manajemen baru di bawah kepemimpinan Winarno (kini R. Suhartono). Parera memandang, ”Potensi Joko tidak mendapat tempat yang memadai di Grasindo.”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Pada Mei 1998 Soeharto turun. Ia mengubah semua struktur politik, ekonomi, sosial, militer dan sebagainya selama 32 tahun. Getarannya merambat juga ke Palmerah, tempat Kompas-Gramedia berdiri. Tahun itu pula Jakob Oetama memutuskan membuka kantor Bank Naskah Gramedia. Kantor baru ini memanfaatkan momentum jatuhnya Soeharto dengan menerbitkan beragam bacaan bertema reformasi.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Pada 10 Februari 1999, Mangunwijaya meninggal. Sebelumnya, Romo Mangun sempat mampir ke Tejokusuman, khusus menemui Joko, tanpa maksud keperluan lain. Mangun termasuk orang yang percaya karier Joko sebagai penyair. Mangun bilang, ”Wah…, Anda nanti jadi penyair. Pokoknya Anda memang paling cocok di Jogja lah.” Saat itu Joko memang sedang bimbang: bertahan di Yogya atau ke Jakarta. Sejak tahun 1999, Joko ditarik ke Bank Naskah Gramedia.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Kematian Mangunwijaya mengubah keputusan yang hendak diambil Joko Pinurbo. Proyek SD Mangunan berjalan tersendat selepas ditinggal Mangun. Parera bersama St. Sularto, kini wakil pemimpin umum <i>Kompas</i>, saling silih-berganti melanjutkan peran Mangun. Mereka bolak-balik Jakarta-Yogya yang bikin tidak efektif sehingga, ”terjadi instabilisasi penafsiran dari gerakan awalnya.” Dosen-dosen dari Sanata Dharma, yang selama ini membantu Mangun, mengalami perbedaan perlakuan dengan penerus proyek. ”Ini berlaku pada S. Belen yang sulit menempatkan diri sebagai konsultan kurikulum pendidikan alternatif, yang sudah dikembangkan di laboratorium DED tapi tidak dilanjutkan,” kata Parera.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Joko menyaksikan perkembangan itu. Ia mengeluh kepada Parera. Manajemen Kompas-Gramedia akhirnya mengambil keputusan menunjuk Joko mengisi kekosongan itu. Dengan segera Joko pun mencari satu orang yang tepat membantunya di DED, pengganti posisi Mangun.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Satu hari pada 1999, Joko bertemu Nasarius Sudaryono di halte bus rumahsakit Panti Rapih. Ia baru saja periksa rutin penyakit tulang belakangnya. Nasar tengah menemani istrinya memeriksa kandungan. Ini pertemuan tak diduga-duga antara bekas dosen dan bekas murid.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Joko langsung menawarkan pekerjaan kepada Nasar, ”Eh, kami butuh orang? Gimana?”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">”Ok deh, saya pertimbangkan,” kata Nasar.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Akhirnya, Nasar menerimanya. ”Begitu saya masuk, dia bisa konsentrasi ke penulisan,” ucap Nasar kepada saya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Joko mengatakan tugasnya di DED, dari 1999 hingga 2002, merupakan periode jeda. Parera menuturkan periode ini ialah kurun awal produktivitas Joko menulis sajak. Dengan kata lain, ”Selama bekerja di Bank Naskah, namanya sebagai penyair meroket seperti meteor,” kata Parera.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Juni 1999 menjadi tonggak kemunculan Joko. Melalui penerbit IndonesiaTera, buku puisi pertama Joko berjudul <i>Celana </i>terbit. Ia mendapatkan Hadiah Sastra Lontar 2001. Ketua juri Sapardi Djoko Damono mengabarkan penghargaan tersebut kepada Dorothea Rosa Herliany. Rosa pendiri IndonesiaTera bersama suaminya Andreas Darmanto. Ia seketika memberitahu kabar baik itu kepada Joko.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Joko tak menduga sebelumnya <i>Celana</i> bakal mendapatkan penghargaan. Nyaris ia tak menyentuh draft akhir bukunya sendiri. Ia percaya sepenuhnya kepada Rosa dan Andreas. Saat mereka datang ke komplek ndalem Tejokusuman, Joko menanggapinya sambil lalu tapi juga tak menolak tawaran itu. Buku ini banyak salah ketik dan ejaan. Rosa bilang, ”Ancur brat!… Betul-betul jadi korban penyembelihan sadis deh celana Mas Joko itu.”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Karya perdana dianggap penting, baik atau buruk. Kebetulan <i>Celana </i>fenomenal, ”Bahkan sampai saya mati pun, ikonnya ya pertama-tama tetap <i>Celana</i>, nggak ada yang lain. Karena di dalam sejarah puisi di Indonesia memang belum pernah ada diksi ‘celana’. Dan jadi judul buku puisi,” kata Joko.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><b><span style="font-size: 11pt;">SEJAK 2002, JOKO PINUBRO </span></b><span style="font-size: 11pt;">bersama Frans Parera merintis penerbitan majalah buku <i>Matabaca</i>. Parera pemimpin umum plus redaksi. Joko wakil redaksi. Selepas Orde Baru, terutama di Yogya, dunia penerbitan menggeliat lewat penerbit-penerbit kecil yang digawangi anak-anak muda. Joko dan Parera menilai industri buku akan panjang umurnya jika ada basis pembaca yang kuat. Lahirlah <i>Matabaca</i>.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Di awal terbit, IndonesiaTera menjadi rekanan <i>Matabaca</i> untuk urusan pracetak dan desain. Namun kemudian dikendalikan semua dari Jakarta demi menghemat biaya produksi. Di Yogya sendiri kini tinggal Herjatun Unang yang mengurusi distribusi. Dua tahun terakhir ini pun Joko pelan-pelan melepas perannya. Semua kebijakan redaksi ditangani redaktur pelaksana Tri Marganingsih beserta awak redaksi yang berusia jauh lebih muda.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Namun perkembangan <i>Matabaca</i> secara pemasaran masih labil. Selain mengandalkan jaringan tokobuku Gramedia, Unang misalnya, bergerilya mengedarkan ke kampus-kampus. Toh, menurut Joko, ”Tetap tidak semenggembirakan yang kita bayangkan.”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Joko tidak tahu sampai seberapa lama <i>Matabaca</i> bisa bertahan. Ia menyebutnya proyek idealis, ”Ini lebih karena kebaikan Gramedia saja.” Ia prihatin sekaligus heran, sampai sekarang dunia penerbitan masih kurang punya kepedulian terhadap media macam <i>Matabaca</i>. ”Mereka pikirannya masih dalam kerangka bisnis. Penerbitan sebagai industri,” kata Joko, serius.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Bukan hanya itu. Dunia penerbitan dan perbukuan di Pulau Jawa berjalan kurang sehat. Ambil contoh IndonesiaTera. Seperti kebanyakan penerbit kecil di Yogya, Tera mengalami kesulitan hebat dalam pemasaran, pendanaan, dan terutama manajemen. Pada November 2006, Agromedia Pustaka akhirnya menggandeng Tera.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Dorothea Rosa Herliany, pendiri IndonesiaTera, menilainya sebagai pilihan terbaik dan cukup realistis. Tera menyadari kekurangan-kekurangan yang membebani industri kecil perbukuan. Bagai berkelit di lubang jarum, mereka harus bersaing dengan para raksasa penerbit bermodal besar. Selain juga dengan jaringan distributor yang, ”99 persen ‘berkelakuan’ buruk dan kurang adil.” Ini ditambah perlakuan tokobuku yang tidak membangun iklim sehat penerbitan buku bermutu. Dampaknya, tak cuma untuk penerbit, tapi sangat dirasakan para penulis. ”Bukan soal royalti saja, tetapi juga ketidakmampuan mencetak ulang sangat merugikan penulis,” ujar Rosa.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Contoh dekat tiga buku puisi Joko yang diterbitkan Tera—atau disebut “trilogi.” Rosa mengatakan, penjualan buku-buku itu sebenarnya sangat bagus. Tapi ini terbentur <i>cash-flow</i>, ”meski buku habis, belum tentu pembayaran <i>cash</i>-nya oke.” Untuk mencetak ulang, penerbit tak cukup punya dana. Gramedia lantas menerbitkan ulang. Joko dan Rosa pisah baik-baik. Rosa malah mendorongnya. ”Ya udah, biar diterbitkan Gramedia,” kata Joko, meniru anjuran Rosa.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Dalam alinea pertama terbitan ulang “trilogi,” Joko mengucapkan terimakasih kepada pasangan Dorothea Rosa Herliany dan Andreas Darmanto. Berkat jasa mereka, kata Joko, ketiga bukunya mendapat sambutan hangat, ”Saya selalu tidak melupakan. Dengan terharu, saya mengucapkan terimakasih kepada mereka. Dan itu bener-bener dengan rasa haru. Karena tidak menduga lah. Ketika orang lain tidak melihat saya waktu itu, mereka yang melihat.”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Apa komentar Rosa? ”Ah, dia aja yang ingin menampak-nampakkan orang lain, sambil mengecil-ngecilkan diri,” katanya, penuh tawa.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Rosa membayangkan, jika tanpa Tera pun, pasti ada penerbit lain yang mencium karya-karya Joko. ”Saya yakin,” ujarnya, sambil menambahkan, ”Yang jelas dia sendiri sebagai penyair kan memang hebat.” Rosa melihat, dalam kesehariannya, Joko memang orang yang rendah hati dan kehidupannya juga sederhana.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Kini Joko di <i>Matabaca</i> sekadar membantu dalam urusan menyunting. Frans Parera bahkan sudah pensiun. Joko mengatakan, ”Kebahagiaan kecil saya adalah mendirikan <i>Matabaca </i>ini.”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><img align="left" alt="jokpin 1" height="194" hspace="12" src="file:///C:/DOCUME~1/ADMINI~1/LOCALS~1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image009.jpg" v:shapes="_x0000_s1029" width="293" /><b><span style="font-size: 11pt;">JOKO PINURBO MENEMUKAN </span></b><span style="font-size: 11pt;">idiom<b> </b></span><span style="font-size: 11pt;">‘celana’ setelah tujuhbelas tahun menekuni puisi. Ia lupa-lupa ingat proses kisah di balik puisi itu lahir. Tapi, ”Itu eureka saya,”katanya. ‘Celana’ pun menjadi cikal bakal puitika perpuisiannya<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Ia menemukan diksi ‘celana’ bertolak dari pembacaan puisi-puisi Indonesia yang hanya berkutat seputar senja, angin, laut, hujan, dan sebagainya — rangkaian metafor dari lanskap alam. Joko penasaran, apa tema puisi melulu dibangun dari imaji semacam itu? Ia coba memakai citraan lain. Awalnya ragu. Risikonya dicaci-maki orang. Tapi ia nekat juga.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Joko kemudian tak hanya menulis ‘celana’. Tapi bergerak ke ‘kamar mandi’, ‘telepon genggam’, ‘ranjang’, ‘tubuh’, ‘bulan’, ‘buku’, ‘mata’, bahkan ‘kuburan’. Ia tak berpikir dan tak peduli eksperimen tersebut akan dianggap berhasil atau gagal, ”Tapi yang penting, ‘Wah, ini belum ditulis orang kayak-kayak gini,’” ungkapnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Selepas <i>Celana</i>, Joko menerbitkan dua buku puisi (diterbitkan IndonesiaTera): <i>Di bawah Kibaran Sarung</i> (Juni 2001) dan <i>Pacarkecilku</i> (2002). Berturut-turut keduanya masuk nominasi Khatulistiwa Literary Award. Pada 2005, saat nominasi prosa dan puisi dipisahkan untuk pertama kali, Joko meraih KLA untuk buku <i>Kekasihku</i> (KPG, Juli 2004), yang berhadiah Rp 50 juta. Buku <i>Telepon Genggam</i> (Mei 2003) dan <i>Kepada Cium</i> (Februari 2007) juga masuk nominasi.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Pendeknya, Joko seperti keranjingan menelurkan buku puisi. Dua bukunya yang lain: <i>Pacar Senja</i> (Grasindo, 2005), antologi 100 puisi pilihan dari lima buku pertama; serta satu jilid dari tiga buku puisi pertama Joko (Trilogi). Artinya, dari 1999 hingga 2007, Joko sudah memiliki sembilan buku puisi. Ini produktivitas yang mencengangkan!<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Joko selalu membawa <i>blocknote</i> kecil, tempat ia menggodok puisi-puisinya. Terkadang, jika setan ilham mampir kepala, ia segera mencatat di telepon genggam. Waktu pengendapan sesudah tengah malam. Ia paling nyaman menulis ketika segalanya begitu sunyi, ”Selalu selepas tengah malam, itu jernih, pada saat saya santai, tidak memikirkan beban hidup.”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Hampir tidak ada puisinya ditulis sekali jadi. Contoh ringan sajak <i>Kepada Puisi</i> dalam buku <i>Kekasihku</i>. Sajak ini cuma satu baris: <i>Kau adalah mata, aku airmatamu</i>—tapi ia butuh sebulan merampungkan. Kesulitan menulis puisi pendek, menurut Joko, adalah memeras bahasa. Bagaimana memeras ide tapi tak mengurangi substansi isi. Ibaratnya, memainkan logika ketat tapi dalam baris sangat pendek. Namun belum tentu puisi yang lama penggarapan lebih baik dari yang cepat. ”Proses kreatif itu sangat susah sih,” katanya, gelisah.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Joko memang tengah rajin membikin serial sajak pendek. Tujuannya, mensublimasi proses menulis. Awalnya sebagai jeda, intermeso, tapi lama-lama menyenangkan. ”Entah saatnya nanti berhenti, pasti,” nadanya serius.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Joko belajar lagi dari nol setiap kali menulis puisi. Paling bahaya kalau pengarang sudah merasa mapan, ”Soal memikirkan puisi berat juga, Mas. Sudah harus belajar lagi nulis.” <i>Kepada Cium </i>merupakan karya dalam tahap pengendapan, baik secara tema maupun teknik. Kini Joko dalam tahap pencarian lagi. Ia sudah susah bikin puisi yang nakal seperti <i>Celana</i>, ”Sekarang saya merasa tertib.” Joko ingin bikin puisi yang bisa bicara sendiri, yang nonsens, tapi ”memupus godaan untuk tidak beramanat itu kok malah berat ya.”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Ia sendiri akan tertantang ketika menemukan ide abstrak yang rumit, yang perlu diwujudkan dalam penyajian sederhana. Di tangan Joko, peristiwa sehari-hari yang tampak sederhana justru menjadi tidak sederhana ketika dituliskan. ”Karena kita mau mengucapkan apa lewat hal-hal sederhana itu, mau mengungkapkan apa,” ucapnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Sampai sekarang, Joko tak punya ruang kerja pribadi, komputer pribadi, apalagi laptop. Ia bukan tipe penulis yang mesti ada alat mesin ketik dulu baru menulis. Baginya, produktivitas adalah konsekuensi dari kesenangan menulis puisi. Atau, dalam kata-katanya, ”Kalau saya sih gatel aja kalau nggak nulis puisi!”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Sadar payah dalam dokumentasi, sejak Februari 2007 Joko membikin blog.. Isinya puisi-puisi yang belum tentu sama ketika terbit di media cetak. Ia juga punya satu blog lagi, yang menyimpan berbagai ulasan dan kritik sastra untuk karya-karyanya. Kedua blog ini, kata Joko, syukur-syukur bisa dijadikan sarana para penyair muda mengunduh belajar.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Tejokusuman menjadi bagian terpenting perjalanan puisi Joko. Sebagian besar puisinya tercipta di sini. Joko sudah terlanjur betah dan nyaman dengan lingkungan Tejokusuman. Teman-teman kantornya tahu benar kebiasaan Joko. Kata mereka, ”Ning sor wit sawo.”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Inilah tempat yang bikin Joko sungkan ke mana-mana. ”Bepergian ke Jerman, Belanda, ke Eropa, orang bilang Bali itu indah, ya tapi saya malah pengen cepet pulang,” ujarnya. “Pulang” artinya merindukan suasana Tejokusuman. Di sinilah kantor, rumah plus pondok kreativitas Joko bersemayam.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Ada satu sajak Joko yang terinspirasi dari perjalanan ke luar negeri. Judulnya <i>Winternachten</i>, terdapat di <i>Kepada Cium</i>. Itu saat ia mengikuti festival sastra di Belanda bersama rombongan sastrawan dari Indonesia. Tapi Joko tidak menulis soal “kebesaran-kebesaran” di sana, malah bagaimana, ”saya kedinginan, tulang saya ngilu semua.” Hanya itu yang dikenang, ”Lain-lainnya biasa aja.” Puisi ini pun baru jadi tiga tahun kemudian.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Winternachten juga mengingatkannya pada jas loakan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Sehari sebelum berangkat, Joko menemui Nasarius Sudaryono di kantor Dinamika Edukasi Dasar. Joko bilang kepada Nasar sedang bingung mencari jas. Kalau bikin juga pasti mahal, katanya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">”Kamu punya duit?” Nasar menimpali.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">”Punya,” kata Joko.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">”Sudahlah, yuk jalan sama aku.”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Nasar membawanya ke toko loak di Jalan Colombo (belakangan tutup). ”Wah…, ini bagus ini,” kata Joko, memilih salah satu. Ia memantas-mantas, ”Bagus sekali jasku.” Harga jasnya cuma Rp 75.000. Karena murah, Joko sekalian mentraktir Nasar.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Jas itu dibawa Nasar ke binatu. Sorenya Joko mengambil di kantor Nasar. Sampai di Belanda, teman-teman memuji jasnya, ”Wah, jasmu bagus.” Tapi Joko tak bilang harganya cuma Rp 75.000!<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">”Itu sangat mengharukan sekali. Itu jasnya pas sekali. Seumur-umur saya pakai jas, ya itu,” katanya. ”Itu masih saya simpan jasnya.”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Di Winternachten, seperti dalam puisinya, tulang-tulang Joko serasa beku. Seingat Nurnaeni, Joko pernah jatuh dari sepedamotor. Awalnya biasa, tapi empat atau lima tahun kemudian tulang Joko sakit hebat. Joko pergi ke Panti Rapih untuk fisioterapis. Dokter bilang ada satu ruas tulang-tumbuh di percabangan, mengoyak saraf tulang-belakang, yang tersambung ke kaki kanan dan bisa bikin lumpuh. Pada 1997, Joko dioperasi. Peluangnya 50-50. Ia termasuk beruntung.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Tapi, setahun kemudian, Joko harus menjalani operasi usus buntu. Obat penghilang rasa nyeri itu berdosis tinggi. Residunya menumpuk di usus buntu.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">”Ya…, dinikmati saja,” kata Nurnaeni, ”Sudah bisa jalan saja sudah bersyukur sekali.”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Pinggang Joko pun mesti dibebat korset karet agar ruas tulang stabil. Ini untuk menghindari guncangan. Kelelahan bikin sarafnya kumat. Berbaring saja susah. ”Nyerinya menyerang seluruh tubuh, merusak secara mental—karena ndak<i> </i>bisa ngapa-ngapain. Sakitnya minta ampun!” Sepanjang badan mengeram bermacam-macam sakit, dari sakit tipus hingga sakit gigi, ”sakit yang menyiksa, ya sakit saraf itu,” ujar Joko.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Dalam <i>Celana</i> dan <i>Di Bawah Kibaran Sarung</i>, sajak-sajak Joko penuh aroma sakit: tubuh yang terbaring di ranjang, analog ranjang dan usia badan. Itu gambaran momen yang diam, materi tanpa perjalanan, tapi lewat imajinasinya, benda-benda dalam ruang privat itu dihidupkan. Atau mereka hidup dalam alam bawah sadar Joko.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">”Saya menulis tubuh sakit, tapi dengan humor, dengan pengharapan,” kata Joko.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Ignas Kleden, dalam pengantar <i>Di Bawah Kibaran Sarung</i>, menyebut Joko penyair yang obsesif menggeluti tubuh manusia dalam permenungannya—lebih dari penyair manapun dalam sastra Indonesia modern. Kleden mengatakan, banyak penyair yang menulis juga tentang badan tapi baru sebatas sebagai medium. Joko memerlakukan badan menjadi pesan, <i>message</i>, pusat perhatian, sorotan utama, ”yang diselidiki dengan renungan yang intens…”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Kleden termasuk pengulas paling serius yang menyertai terbitan buku Joko. Dari Sapardi Djoko Damono hingga Nirwan Ahmad Arsuka, dari Ayu Utami hingga Karlina Supelli. Esai Kleden, secara teks maupun ilmiah, mungkin paling memuaskan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Toh, Joko bilang sendiri, baik tinjauan Kleden atau siapapun, tetap ia perlakukan sebagai salah satu “kemungkinan pembacaan.” Artinya, ada beragam wilayah makna yang bisa dijelajahi pembaca dari puisi-puisinya. Menurutnya, seorang pengarang sendiri juga harus kritis terhadap tulisan kritikus. Jangan mudah limbung jika dinilai buruk, juga jangan cepat membangga-banggakan diri jika dipuji, ”Itu harus kita anggap sama nilainya, baik pujian maupun caci maki sekalipun.”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Joko sudah lepas dari anggapan puja-puji itu. Ia berpandangan, dalam hidup orang harus siap untuk dua hal sekaligus: siap menang siap kalah; siap berhasil siap gagal, ”Nah, kadang-kadang, banyak orang mudah untuk menang, tapi untuk menerima kegagalan, O… itu yang sulit.”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><b><span style="font-size: 11pt;">KEBIASAAN JOKO PINURBO </span></b><span style="font-size: 11pt;">tak<b> </b>pernah surut. Ia biasa tidur jam 1 atau 2 dinihari. Pukul 6 pagi sudah terjaga. Nurnaeni sudah berangkat mengajar di SMP Negeri 1 Pengasih Kulonprogo. Kedua pacar-kecilnya, Paska Wahyu Wibisono dan Maria Azalea Anggraini, juga telah pergi sekolah.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Azalea, gadis manis berusia 13 tahun, lebih mirip dan lebih dekat bapaknya, suka membawa-bawa boneka kesayangan. Adapun Paska (15 tahun), seorang anak cerdas tapi juga <i>moody</i>, susah ditebak. Tahu di luar ayahnya dipanggil Jokpin, mereka kadang bercanda, meniru-niru suara burung beo, ”Jokpin… Jokpin… Jokpin…” Joko menanggapinya dengan tawa riang.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Di rumah, Joko pendiam. ”Ndak banyak ngomong. Dalam beberapa hal yang sifatnya prinsip, dia teguh,” tutur Nurnaeni.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Joko menulis puisi dengan kondisi pengertian yang penuh dari keluarga kecilnya. Mereka ngobrol dan saling bercanda. Tapi ketika ayahnya ingin sendirian, tak mau diganggu, mereka tahu. ”Saya enak, tidak ada interupsi,” ujar Joko.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Nurnaeni hanya tahu suaminya senang nulis puisi sejak kuliah, ”Selebihnya adalah urusan dia.” Namun ia sering terkaget-kaget saat membaca puisi-puisi suaminya di koran. Kaget karena tiba-tiba lucu, ada juga yang liris, dan lebih banyak lagi bikin ia tertawa.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Keluarga ini mengisi waktu bersama dengan aktivitas membaca. Oleh-oleh Joko dari luar kota selalu buku. ”Meski buku itu dibeli dari Yogya,” kata Joko, tergelak. Hadiah ulangtahun anak-anaknya selalu minta buku. Kalau ke tokobuku, mereka hanya perlu mengantar, dan mereka memilih sendiri bacaan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Mereka kini tinggal di rumah yang tetap, baru setahun ditempati. Sebelumnya, di Patangpuluhan, Joko dan Nur sudah tinggal 14 tahun, sudah seperti kampung halaman sendiri. Tapi lantaran rumah itu menjadi sengketa warisan keluarga pemilik, mereka pun pindah ke Singomulanjaya. Ini adalah satu kampung pinggiran Yogya, dalam arti sebenarnya, kebanyakan warganya bekerja sebagai pedagang keliling, penjual bakso, tukang parkir, atau penjual pangsit. Joko banyak belajar dari kehidupan mereka.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Di sini Joko rutin ronda saban malam Kamis. Tetangga dan teman-teman ronda tak tahu sama sekali Joko seorang penyair. Mereka tahu Joko orang kantoran, yang setiap pagi berangkat kerja dan sore pulang. Ada satu tetangga di Patangpuluhan, teman paling dekat, yang baru tahu Joko seorang penulis setelah 10 tahun. ”Tahunya sudah terlambat sekali!” ucap Joko, terbahak.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Joko bilang kepada saya, ”Orang melihat nama besar saya, tapi sebenarnya saya orang biasa bener.” Joko memang ingin hidup sebagai orang biasa dan menghindari kehendak sebagai “tokoh.” Sifat ini sepertinya menurun pada kedua anaknya, ”Semuanya punya tipe yang ndak mau mempertunjukkan diri,” tutur Nurnaeni.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Suatu pagi Sabtu yang sibuk di jalan raya, Joko Pinurbo muncul dari gang kampung, bersiap menyeberang jalan. Hari itu ia hendak menghadiri rapat pertemuan wali sekolah dengan wali murid di SMA Negeri 1 Yogyakarta. Si sulung Paska Wahyu Wibisono adalah murid baru kelas internasional di SMA prestisius itu. Tiba-tiba ada anak kecil menyapa Joko. Mata bocah itu juling. Ia minta tolong diseberangkan Joko.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Setiba di seberang, sambil menunggu bus, si bocah itu bertanya, ”Om agamanya apa?”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">”Katolik,” jawab Joko. ”Kamu? ”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">”Islam,” timpalnya. ”Tapi kita sama, Om. Perawatku Katolik.”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">”Kamu tinggal di mana?”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">”Asrama.”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">”Asrama apa?”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">”Helen Keller.”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Bus datang. Anak itu segera naik. Katanya hendak sekolah. Ia bilang terimakasih dan sempat melambaikan tangan kepada Joko.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Sore hari setiba dari rapat sekolah, Joko segera bercerita kepada istrinya tentang pertemuan dengan bocah itu. ”Ini satu isyarat,” katanya, menebak-nebak, ”Mungkin keberuntungan, semacam pertanda yang hanya bisa <i>dirasani</i>.”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Di atas sebuah meja ruang tamu, ada buku serial tokoh dunia, dan kisah tokoh itu Helen Keller.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">”Saya membacanya lagi gara-gara kejadian dengan anak itu,” tutur Joko.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Helen Keller tokoh idola si bungsu Maria Azalea Anggraini. Keller, perempuan asal Alabama, lahir sebagai sosok tuna mata dan tuna telinga. Ia inspirator jutaan manusia untuk empati dan tindakan bagi anak-anak bernasib malang.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">”Saya pengen bikin sajak dongeng mata tentang Helen Keller,” janji Joko, suatu ketika.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Jauh setelah itu, sajak dongeng ini pun muncul di <i>Kompas</i>, 23 Desember 2007; judulnya, <i>Kepada Helen Keller</i>:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><i><span style="font-size: 11pt;">Mataku berhutang kepada matamu.<br />
Mataku sering meminjam cahaya matamu<br />
untuk menulis dan membaca<br />
ketika tubuhku padam dan gelap gulita.</span></i><span style="font-size: 11pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Sepertinya, puisi-puisi Joko akan selalu mengalir terus seiring pertemuan-pertemuan kesehariannya, perenungan-perenungan setiap malamnya. Suaranya kadang menyejukkan, diselubungi rasa humor yang tinggi, tapi kadang juga penuh haru… <b>[] </b><o:p></o:p></span></div><div align="right" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: right;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-size: 11pt;">Yogyakarta, 2008</span></i><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-size: 11pt;"><o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><br />
</div>Qudra^ �+a , � i trauma. Pelajaran turun drastis. Hafiz sempat tak naik kelas. Dia sering melamun, kadang teriak, “Orang jahat. Orang jahat. Mengapa rumah dibakar?” <o:p></o:p><br />
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Anak kedua, Rafiq Wahyu Ahmadi, sering bermimpi, “Orang jahat dobrak pintu dan teriak, ‘Serbu, serbu.’ Kalau tidak cerita, Rafiq menangis, tapi kalau sudah cerita, dia jadi tenang,” kata Khairuddin. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Saya sedih melihat anak-anak Ahmadiyah yang sudah 5-10 tahun hidup dalam pengungsian. Syahidin dari Bayan mengatakan ada 10 bayi lahir di Transito sejak pengusiran dari Gegerung, “Anak bungsu saya diberi nama Muhammad Khatamann Nabiyin … juga lahir di Transito.” Syahidin menerangkan bahwa dalam bahasa Arab, khatam artinya pemungkas. Nabiyin artinya nabi. Muhammad Khatamann Nabiyin berarti Muhammad adalah nabi pamungkas. Ini menegaskan bahwa kaum Ahmadiyah mengganggap Nabi Muhammad sebagai nabi pamungkas. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">Ketika hendak meninggalkan Transito, saya tanya pada Nur Hidayati bagaimana rasanya hidup delapan tahun di pengungsian, tumbuh besar dalam ketakutan. Dia terdiam. Kami melihat anak-anak lelaki riuh main sepak bola di halaman Transito. Nur lantas menjawab lirih, “Apa yang dirintis orang tua memang hilang: harta, rumah, tanah. Tapi ini tidak menggoyahkan iman kami.” <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span style="font-size: 11pt;">“Iman kami tidak goyah.”<o:p></o:p></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;"><span style="font-size: 11pt;">***<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><i><span style="font-size: 11pt;"><a href="http://www.icfj.org/News/tabid/210/ctl/Details/mid/9050/ItemID/1704/Default.aspx"><span style="color: blue;">Jamila Trindle</span></a>, seorang wartawan televisi Philadelphia, Lexy Rambadeta dari Offstream, serta Andreas Harsono, pergi ke Pulau Lombok guna meliput para pengungsi Ahmadiyah pada Maret 2009. Liputan diadakan oleh International Center for Journalists serta disponsori Carnegie Corporation. Naskah ini, dalam bentuk lebih singkat, dimuat majalah Gatra "<a href="http://gatra.com/2010-02-15/majalah/beli.php?pil=23&id=135074"><span style="color: blue;">Mereka Yang Teraniaya dan Terusir</span></a>" pada Februari 2010. Andreas Harsono ikut menandatangani petisi Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><br />
</div>� /-e b � bersenjata yang serius. Penduduk Papua juga menuntut kemerdekaan. Selain itu Habibie masih harus menghadapi tuduhan sebagai orang yang melindungi Suharto dari tangan hukum. <o:p></o:p><br />
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Pada Oktober 1999 Habibie kalah suara dari Abdurrahman Wahid dalam pemilihan presiden. Indonesia memasuki masa demokratisasi yang jauh lebih kompleks. Wahid berupaya keras mendorong program demokratisasi. Ia memecat jenderal-jenderal nakal bahkan menjanjikan referendum di Aceh. Ia bicara dengan para pemberontak melalui telepon dan mendengarkan keluhan mereka. Wahid bertahan 20 bulan sebelum ia diberhentikan dari kursi kepresidenan pada Juli 2001. Wahid seorang cendekiawan liberal dan aktivis pro-demokrasi, tapi bukan seorang manajer yang baik. Wakilnya, Megawati Soekarnoputri, mengambil alih kendali. Hamzah Haz, ketika itu menjabat menteri, menjadi wakil presiden. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Apa yang bermula sebagai protes terhadap privatisasi kemudian mengerucut menjadi persoalan gaji. Presiden Wahid memutuskan kenaikan gaji pegawai negeri saat ia menjabat. Karyawan PAM Jaya memandang diri mereka “pegawai negeri.” Tapi setelah mereka bekerja untuk RWE Thames Water dan Ondeo Service, mereka sadar bahwa penghasilan mereka sekitar 30 persen lebih rendah dibandingkan dengan gaji kolega mereka yang masih bekerja untuk PAM Jaya. “Kami baru sadar itu ada sekitar 200 yang masih kerja di PAM Jaya lebih enak mereka,” ujar Napitupulu. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Demonstrasi yang terus-menerus bagaimana pun juga mengganggu manajemen konsorsium. Pada periode tersebut, kalau Anda mengunjungi kantor PAM Jaya di mana pun, Anda akan melihat suasana kerjanya mencemaskan. Ada karyawan yang mau bekerja dengan manajemen baru namun lebih banyak lagi yang bekerja sejauh mereka tak melanggar hukum. Sutiyoso belakangan memecat Rama Boedi. Alasannya tak jelas. Banyakyang menduga lantaran Rama tak mendukung privatisasi dan diam-diam memberi angin pada para demonstran. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Pihak konsorsium juga mendapat masalah baru dengan munculnya DPRD yang lebih bertaring. Bulan Desember 1999, Edy Waluyo, ketua DPRD Jakarta, melayangkan surat pada Sutiyoso, menyampaikan bahwa perundingan ulang dengan konsorsium hanya bisa dilaksanakan sampai Februari 2000, “Jika negosiasi tak bisa selesai per 1 Februari 2000, kerja sama harus dibatalkan.” <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Buru-buru Sutiyoso mendesak orang-orangnya untuk mempercepat proses perundingan. Tim baru bergerak lebih cepat sekaligus membujuk DPRD untuk meredam tuntutannya. Di sisi lain, Sutiyoso juga menolak permintaan konsorsium agar ia mengusulkan kenaikan tarif air. Air adalah isu politik yang peka. Orang bisa hidup tanpa listrik, tanpa telepon, atau tanpa jalanan mulus, tapi tanpa air mereka akan menderita sekali. Sutiyoso enggan memancing kemarahan rakyat selagi dirinya, sebagai kaki tangan Suharto, masih digugat banyak orang. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Pada 28 Februari 2000, ketika sudah jelas bahwa perundingan tak mungkin tuntas, Edy Waluyo melayangkan surat lagi, memberi Sutiyoso tambahan waktu. Ternyata perundingan berjalan jauh lebih lambat. Sutiyoso terpaksa setuju menaikkan tarif air sebesar 35 persen pada April 2001. Perundingan kedua ternyata sama panjangnya seperti yang pertama. Baru pada 22 Oktober 2001 kontrak kedua, ditandatangani oleh PAM Jaya dan pihak swasta. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Kedua perusahaan internasional pun berganti nama. Sembilan puluh lima persen saham PT Thames PAM Jaya maupun PT PAM Lyonnaise Jaya dimiliki perusahaan induk mereka di London dan Paris. Dua perusahaan Indonesia, masing-masing PT Terra Metta Phora dan PT Bangun Cipta Sarana, hanya punya hak saham lima persen. Kedua pemegang saham minoritas asal Indonesia ini adalah sub-kontraktor dari kedua konsorsium. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Kontrak kedua mencakup 13 perubahan besar. Semula masing-masing konsorsium swasta memiliki kontrol atas rekening escrow. Mereka dapat menarik uang dari rekening tersebut tanpa persetujuan PAM Jaya. Prioritas penggunaan rekening adalah untuk biaya operasi pihak swasta. Mulanya, PAM Jaya juga tak dapat menelaah laporan keuangan pihak swasta. Kini semua itu berubah. Sebuah badan regulator dibentuk. Ketuanya tak lain adalah Achmad Lanti, pensiunan pegawai negeri, yang dulunya terlibat dalam perundingan pertama. <o:p></o:p></span></div><div style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 0in;"><br />
</div><div style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 0in;"><strong><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Perbedaan antara kontrak tahun 1997 dan 2001</span></strong><span lang="IN" style="font-size: 11pt;"> <o:p></o:p></span></div><table border="1" cellpadding="0" cellspacing="0" class="MsoNormalTable" style="mso-cellspacing: 0in; mso-padding-alt: 0in 0in 0in 0in;"><tbody>
<tr style="mso-yfti-firstrow: yes; mso-yfti-irow: 0;"> <td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 83.25pt;" valign="top" width="111"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><br />
</div></td> <td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 166.5pt;" valign="top" width="222"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Juni 1997<o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 162.75pt;" valign="top" width="217"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Oktober 2001<o:p></o:p></span></div></td> </tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 1;"> <td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 83.25pt;" valign="top" width="111"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Sumur dalam<o:p></o:p></span></div></td> <td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 166.5pt;" valign="top" width="222"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">PAM Jaya bertanggung jawab menutup sumur dalam yang banyak dipakai oleh hotel dan pabrik di Jakarta. <o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 162.75pt;" valign="top" width="217"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Konsorsium menutup sumur dalam bekerja sama dengan dinas pertambangan dan energi.<o:p></o:p></span></div></td> </tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 2;"> <td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 83.25pt;" valign="top" width="111"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Pembelian<o:p></o:p></span></div></td> <td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 166.5pt;" valign="top" width="222"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Tender terbuka untuk pembelian di atas US$ 5 juta. Kontraktor kecil dan mengenah PAM Jaya merasa dirugikan.<o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 162.75pt;" valign="top" width="217"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Tender terbuka di atas Rp 500 juta (sekitar $50,000 dengan nilai tukar saat itu).<o:p></o:p></span></div></td> </tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 3;"> <td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 83.25pt;" valign="top" width="111"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Pasokan air baku<o:p></o:p></span></div></td> <td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 166.5pt;" valign="top" width="222"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">PAM Jaya bertindak sebagai pemasok air baku ke konsorsium, jika PAM Jaya tak mampu melakukannya, pihak konsorsium bisa mencari air baku dari sumber lain dan PAM Jaya harus membayar selisih harga.<o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 162.75pt;" valign="top" width="217"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Pihak swasta berurusan langsung dengan Perum Jasa Tirta, PDAM, Tangerang, dan PDAM Bogor, yang biasa memasok air baku ke Jakarta. Pihak swasta harus membayar PAM Jaya selisih harga yang dulu dibayar PAM Jaya ke pihak swasta antara 1 Februari 1998 dan penandatanganan kontrak baru (Oktober 2001).<o:p></o:p></span></div></td> </tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 4;"> <td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 83.25pt;" valign="top" width="111"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Karyawan <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><br />
</div></td> <td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 166.5pt;" valign="top" width="222"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Karyawan PAM Jaya tetap berstatus pegawai negeri namun dipinjamkan ke konsorsium <o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 162.75pt;" valign="top" width="217"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Karyawan PAM Jaya jadi karyawan konsorsium .Sebuah panel untuk mengurus sengketa perburuhan akan dibuat. <o:p></o:p></span></div></td> </tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 5;"> <td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 83.25pt;" valign="top" width="111"><h2 style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 0in;"><span style="font-size: 11pt;">Supervisi</span><span lang="IN" style="font-size: 11pt;"><o:p></o:p></span></h2></td> <td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 166.5pt;" valign="top" width="222"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">PAM Jaya tak bisa mengambil data dari pihak swasta, tak ada sanksi yang jelas bila pihak swasta tak memenuhi target, juga tak jelas siap yang melakukan supervisi terhadap konsorsium, hanya auditor independen yang bisa memeriksa keuangan konsorsium <o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 162.75pt;" valign="top" width="217"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Supervisi PAM Jaya tak bisa mengambil data dari pihak swasta, tak ada sanksi yang jelas bila pihak swasta tak memenuhi target, juga tak jelas siap yang melakukan supervisi terhadap konsorsium, hanya auditor independen yang bisa memeriksa keuangan konsorsium Sebuah badan regulator dibentuk dan bersama PAM Jaya, mereka bisa memeriksa keuangan pihak swasta, ada sanksi dan penalti bila pihak swasta tak memenuhi atau terlambat memenuhi berbagai ketentuan.<o:p></o:p></span></div></td> </tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 6;"> <td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 83.25pt;" valign="top" width="111"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><i><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Escrow account</span></i><span lang="IN" style="font-size: 11pt;"><o:p></o:p></span></div></td> <td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 166.5pt;" valign="top" width="222"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Pihak swasta bisa mengambil uang dari rekening bersama tanpa persetujuan PAM Jaya. Prioritas penggunaan escrow account ada pada biaya operasi konsorsium <o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 162.75pt;" valign="top" width="217"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Pihak swasta bisa mencairkan uang dengan persetujuan PAM Jaya dan prioritas adalah membayar utang PAM Jaya <o:p></o:p></span></div></td> </tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 7;"> <td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 83.25pt;" valign="top" width="111"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Imbalan air (water charge) <o:p></o:p></span></div></td> <td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 166.5pt;" valign="top" width="222"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Harga imbalan air naik otomatis tiap enam bulan dengan persetujuan DPRD Jakarta, dan jika ada keterlambatan, selisihnya harus dibayar PAM Jaya, dan tak ada sistem untuk mengingatkan PAM Jaya bila bakal ada selisih <o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 162.75pt;" valign="top" width="217"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Tarif air direkomendasikan oleh PAM Jaya maupun pihak swasta kepada Badan Regulator. Badan Regulator inilah yang akan berurusan dengan DPRD Jakarta dalam menaikkan tarif air. Selisih sebelumnya akan diaudit oleh BPKP dan pihak swasta harus membayar PAM Jaya <o:p></o:p></span></div></td> </tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 8;"> <td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 83.25pt;" valign="top" width="111"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Perselisihan <o:p></o:p></span></div></td> <td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 166.5pt;" valign="top" width="222"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Mekanisme tiga tingkat: musyawarah, mediasi oleh pakar, dan pengadilan internasional di Singapura <o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 162.75pt;" valign="top" width="217"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Mekanisme empat tingkat: musyawarah, mediasi oleh Badan Regulator, mediasi oleh para pakar, dan pengadilan baik di Jakarta atau Singapura <o:p></o:p></span></div></td> </tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 9; mso-yfti-lastrow: yes;"> <td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 83.25pt;" valign="top" width="111"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;"> Badan Regulator <o:p></o:p></span></div></td> <td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 166.5pt;" valign="top" width="222"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">PAM Jaya melakukan supervisi terhadap pihak swasta <o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 162.75pt;" valign="top" width="217"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">PAM Jaya dan Badan Regulator melakukan supervisi <o:p></o:p></span></div></td> </tr>
</tbody></table><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Sumber: Kontrak tahun 1997 dan 2001 antara PAM Jaya dan konsorsium swasta.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Namun bagi karyawan PAM Jaya, kontrak kedua lebih merugikan mereka. Kontrak ini menyatakan bahwa hanya ada “status tunggal” bagi karyawan. Mereka harus memilih: jadi pegawai konsorsium atau menerima “golden hand shake” –istilah halus untuk pemecatan. Dengan kata lain, kontrak kedua ini bisa menjadi dasar pemecatan besar-besaran. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">“Saya mulai curiga ketika melihat status kerja,” kata Efendy Napitupulu. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Bernard Lafrogne mengatakan bahwa pada 1998 mereka mulai beroperasi dengan nisbah 7,72 pekerja per 1.000 sambungan air. Pada 2001 nisbah tersebut turun jadi 4,71 pekerja. “Jika kita lihat pada Malaysia atau Manila, sekitar tiga orang saja sudah cukup, perusahaan akan lebih efisien.” <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Taufik Sandjaja menjelaskan, jumlah pegawai telah turun dari 3.000 menjadi 2.200 pada Desember 2003, seraya menambahkan bahwa setengah dari mereka yang memilih meninggalkan PAM Jaya terpaksa mengambil uang pesangon. Namun 1.110 dari 2.200 yang tertinggal itulah yang mengajukan gugatan hukum melawan PAM Jaya dan konsorsium. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Dalam wawancara dengan para aktivis di kantor kecil mereka di Buaran, saya bertanya, “Mana dari kedua operator tersebut yang lebih baik?” Ini memang bukan pertanyaan mudah karena kedua perusahaan bekerja sama dengan erat dan berkomunikasi secara rutin. Tapi para aktivis itu rata-rata menyatakan PT PAM Lyonnaise Jaya lebih memahami budaya lokal daripada PT Thames PAM Jaya milik RWE Thames Water. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Saya bertanya apa beda Thames Water dulu dengan manajemen RWE Thames Water sesudah merger? “Ada kemajuan sejak mereka dengan RWE. Masih pola lama, tapi mereka berusaha membentuk satu komunitas di karyawan, dikondisikan agar mau bekerja sama dalam menunjang policy kepegawaian. Misalnya, alih status dari karyawan PAM menjadi karyawan mereka. Buntutnya rasionalisasi. Ujung-ujungnya rasionalisasi,” kata Taufik, yang berstatus tenaga pemasaran PT PAM Lyonnaise Jaya. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Ponimin, aktivis SPAI yang lain, mengatakan bahwa tak banyak kebijakan yang berubah. Itulah alasan mereka melancarkan gugatan hukum. “Ini ide kita semua. Semua sudah kita lewati, Departemen Tenaga Kerja, Gubernur dan sebagainya. Untuk mencari keadilan, kami masuk ke pengadilan, untuk dapat kekuatan hukum. Dulu ada Foska PAM Jaya tapi sifatnya lobby-lobby saja. Ada jawaban, tapi ya cuma omongan. Lalu kita bikin SPAI,” kata Ponimin. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Persoalan tak berpusar pada tarik urat leher semata. Ada juga tawaran yang menggiurkan. Taufik menyodorkan sebuah contoh. Satu kali ia “ditawari” memimpin bagian perburuhan PT Thames PAM Jaya. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">“Saya tolak tentu,” katanya, “Itu khan namanya berkhianat?” <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Dari Buaran, saya punya kesan yang campur aduk tentang Napitupulu dan rekan-rekannya. Bagaimana pun mereka berjuang untuk sebuah cita-cita, yang mungkin tak sepenuhnya bisa dimengerti orang, terutama mereka yang berada di Bank Dunia atau perusahaan air, tapi saya melihat mereka banyak berkorban untuk cita-cita mereka. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">RHAMSES </span></b><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-size: 11pt;">SIMANJUNTAK BEKERJA</span></b><span style="font-size: 11pt;"> </span><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">dari sebuah ruang yang lapang di lantai 29 gedung Danamon Aetna di Jalan Sudirman, kawasan bisnis paling mahal di Jakarta. Ia seorang lelaki paruh baya dengan rambut keperakan dan badan besar. Ketika saya menemuinya Desember lalu, ia sedang bekerja dengan laptop mungilnya di meja kerja yang tertata rapi. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">“Duduk dulu. Saya selesaikan pekerjaan sedikit,” katanya. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Simanjuntak adalah salah seorang tokoh yang paling berpengaruh untuk urusan air bersih di Jakarta. Ia direktur PT Thames PAM Jaya yang mengurusi “external relations and communication”. Artinya, ia orang Thames Water yang bertugas menghadapi DPRD Jakarta, pejabat PAM Jaya, orang Badan Regulator, para aktivis, juga wartawan seperti saya. Ia satu-satunya orang Indonesia yang duduk di dewan direksi konsorsium tersebut. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Dulu Simanjuntak seorang akuntan. Pada Agustus 1996 ia memutar haluan yang mengubah seluruh jalan hidupnya. Ia memutuskan bergabung dengan PT Kekarpola Thames Airindo. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">“Ya, saya cuma cari pekerjaan dan bergabung di sini. Biasa saja,” kata Simanjuntak, seraya menambahkan bahwa ia serta merta ikut mempersiapkan privatisasi PAM Jaya. Simanjuntak banyak membantu Fachry Thaib, orang kepercayaan Sigit, dalam melakukan perhitungan privatisasi. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Ia juga saksi mata pengambilalihan PAM Jaya pada Februari 1998, juga saksi krisis ekonomi yang kemudian memuncak seiring kejatuhan Presiden Suharto. Namun, Simanjuntak bisa tetap bercokol di posisinya saat orang Indonesia lain, termasuk Fachry dan Iwa Kartiwa, harus angkat kaki dari bisnis air ini. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Efendy Napitupulu mengatakan bahwa Simanjutak menanjak dari yang tadinya “naik Mikrolet” menjadi naik “Land Cruiser” yang mahal. Menurut Budi Saroso, mantan rekan Simanjuntak di PT Kekar Thames Airindo, yang ikut terpental dari perusahaan itu sesudah jatuhnya Suharto, “Rhamses tidak join (proyek) dari awal. Dia gabung di tengah-tengah perundingan. Keahliannya finance. Tapi dia kerja untuk Thames, tidak pada kita, karena masalah keuangan ada pada Thames.” <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Simanjuntak menerangkan panjang lebar pada saya bahwa RWE Thames Water punya komitmen jangka panjang di Indonesia, dengan mengatakan bahwa proyek air bersih di Jakarta ini adalah satu-satunya proyek Thames Water di Indonesia. Mereka ingin bisnis ini berhasil. “Bahkan saat krisis ekonomi dan politik, komitmen Thames Water tetap terjaga,” katanya. Thames Water terus mempertahankan komitmen mereka di Jakarta sejak kontrak 1997. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Simanjuntak mengatakan, RWE Thames Water punya bisnis lain di kawasan ini, yang dikendalikan baik dari Singapura maupun Australia, tapi nilainya relatif kecil dibandingkan dengan modal pada PT Thames PAM Jaya. Sejak 1997 perusahaannya telah menanamkan modal sebesar Rp 434 milyar dan berencana untuk menanamkan lebih banyak lagi sampai di atas Rp 1 trilyun pada 2007 nanti. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Ketika saya bertanya mengapa Thames Water awalnya bekerja sama dengan Sigit Harjojudanto dan memanfaatkan pengaruh Sigit dalam perundingan, ia langsung menepis dugaan adanya permainan. Ia mengatakan perundingan pertama itu memang alot, “Kalau memang ada kemudahan, mengapa kita negosiasi hingga satu tahun lebih?” <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Lantas bagaimana menilai kinerja konsorsium ini? Hingga Desember 2003 atau bulan terakhir dari lima tahun pertama kontrak 25 tahun yang mereka dapatkan, baik PT Thames PAM Jaya maupun PT PAM Lyonnainse Jaya, berhasil melakukan konsolidasi terhadap sebagian besar jaringan PAM Jaya. Mereka secara drastis memangkas jumlah karyawan. Mereka juga bekerja sama dengan BCA, bank swasta terbesar Indonesia, untuk memberikan fasilitas pembayaran air pada para pelanggan lewat ATM. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">RWE Thames Water sempat menghadapi masalah yang memalukan ketika proyek bantuan Bank Dunia mereka di kawasan kumuh, Marunda, sebelah utara Jakarta, berantakan. Pada Juli dan Agustus 2003, sejumlah warga Marunda mengadakan demonstrasi atas buruknya layanan air di sana. Perusahaan Inggris-Jerman ini awalnya berniat membangun jaringan distribusi pipa ke Marunda. Namun tekanan air yang rendah dan kurangnya daya tekan pompa membuat air mengalir pelan ke Marunda. Buntutnya, warga Marunda protes. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Menurut data Badan Regulator, baik RWE Thames Water dan Ondeo telah meningkatkan sambungan air dari sekitar 428,764 pada 1997 ke hampir 650,000 pada Desember 2003. Cakupan layanan air bersih pun meningkat dari 43 persen pada 1997 menjadi 53 persen pada 2003. Penjualannya juga meningkat dari 191 juta ke 255 juta meter kubik air. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Simanjuntak mengatakan PT Thames PAM Jaya secara khusus meningkatkan sambungan di sebelah timur Jakarta dari 268,000 pada 1997 menjadi 320,000 pada 2001 dan kemudian 336,550 pada 2003. Artinya, terjadi peningkatan sebesar 26 persen dalam waktu lima tahun pertama. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Secara umum layanan jelas lebih baik, terutama untuk daerah-daerah kelas menengah dan elit di Jakarta seperti Pondok Indah dan Kemang, tapi perusahaan internasional tersebut gagal memenuhi target-target teknis sebagaimana tertera dalam kontrak tahun 1997. Volume yang terjual pada bulan Desember 2003 adalah 255 juta meter kubik air. Padahal targetnya 342 juta. Mereka bisa melayani 53 persen penduduk Jakarta sementara targetnya adalah 70 persen. Mereka berhasil menekan tingkat air tak tertagih menjadi 47 persen, sedang targetnya adalah 35 persen. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Achmad Lanti dari Badan Regulator mengatakan bahwa sekitar 40.000 sampai 45.000 dari total sambungan sekitar 650.000 memiliki layanan buruk, mulai dari tak setetes pun air mengalir sampai tekanan air yang rendah seperti di Marunda. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">“Kami dapat banyak laporan, air hanya mengalir dua atau tiga jam sehari,” kata Lanti. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Pendek kata, dalam hal kualitas dan kuantitas, konsorsium gagal memenuhi target. “Saya bilang pada mereka namun mereka membantah. Mereka tidak percaya pada temuan Badan Regulator sehingga harus diundang tim pakar untuk melakukan evaluasi,” lanjutnya. <o:p></o:p></span></div><div style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 0in;"><br />
</div><div style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 0in;"><strong><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Perbandingan antara Target dan Pencapaian (2003)</span></strong><span lang="IN" style="font-size: 11pt;"> <o:p></o:p></span></div><table border="1" cellpadding="0" cellspacing="0" class="MsoNormalTable" style="mso-cellspacing: 0in; mso-padding-alt: 0in 0in 0in 0in;"><tbody>
<tr style="mso-yfti-firstrow: yes; mso-yfti-irow: 0;"> <td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 96.0pt;" valign="top" width="128"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><br />
</div></td> <td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 61.5pt;" valign="top" width="82"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Target<o:p></o:p></span></div></td> <td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 63.75pt;" valign="top" width="85"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">RWE Thames Water<o:p></o:p></span></div></td> <td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 63.75pt;" valign="top" width="85"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Ondeo Service<o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 70.5pt;" valign="top" width="94"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Pencapaian<o:p></o:p></span></div></td> </tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 1;"> <td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 96.0pt;" valign="top" width="128"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Jumlah sambungan<o:p></o:p></span></div></td> <td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 61.5pt;" valign="top" width="82"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">757,129<o:p></o:p></span></div></td> <td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 63.75pt;" valign="top" width="85"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">336,550<o:p></o:p></span></div></td> <td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 63.75pt;" valign="top" width="85"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">312,879<o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 70.5pt;" valign="top" width="94"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">649,429<o:p></o:p></span></div></td> </tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 2;"> <td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 96.0pt;" valign="top" width="128"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Cakupan pelayanan air bersih<o:p></o:p></span></div></td> <td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 61.5pt;" valign="top" width="82"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">70%<o:p></o:p></span></div></td> <td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 63.75pt;" valign="top" width="85"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">62.17%<o:p></o:p></span></div></td> <td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 63.75pt;" valign="top" width="85"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">44.17%<o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 70.5pt;" valign="top" width="94"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">53.17%<o:p></o:p></span></div></td> </tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 3;"> <td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 96.0pt;" valign="top" width="128"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Air tak tertagih (non revenue water)<o:p></o:p></span></div></td> <td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 61.5pt;" valign="top" width="82"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">35%<o:p></o:p></span></div></td> <td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 63.75pt;" valign="top" width="85"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">48.28%<o:p></o:p></span></div></td> <td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 63.75pt;" valign="top" width="85"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">45.3%<o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 70.5pt;" valign="top" width="94"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">46.79%<o:p></o:p></span></div></td> </tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 4; mso-yfti-lastrow: yes;"> <td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 96.0pt;" valign="top" width="128"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Volume terjual (juta m3)<o:p></o:p></span></div></td> <td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 61.5pt;" valign="top" width="82"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">342<o:p></o:p></span></div></td> <td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 63.75pt;" valign="top" width="85"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">128.96<o:p></o:p></span></div></td> <td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 63.75pt;" valign="top" width="85"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">126.2<o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 70.5pt;" valign="top" width="94"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">255.16<o:p></o:p></span></div></td> </tr>
</tbody></table><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Sumber: Kontrak 1997 dan data dari Badan Regulator pada 2003<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Pengeluaran mereka juga memicu kritik. Atjeng Sastrawidjaja dari Badan Pemeriksa Keuangan Publik (BPKP) Jakarta menulis dalam sebuah laporan pada Mei 2000 bahwa biaya operasional dari perusahaan internasional tersebut terlalu tinggi. Mereka menyewa kantor-kantor baru di dua gedung di kawasan bisnis Jakarta, termasuk kantor Simanjuntak, ketimbang memanfaatkan aset PAM Jaya yang ada. Gaji para ekspatriat pun relatif tinggi. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Sejumlah ekspartriat digaji sekitar US$100,000 atau sekitar Rp 800 juta per tahun di luar fasilitas penunjang lainnya, termasuk mobil dan tunjangan keluarga. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">“Kita tak tahu persis jumlahnya satu per satu tapi angka $100,000 bisa dilihat dari anggaran mereka,” kata Alizar Anwar, direktur eksekutif Badan Regulator. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Simanjuntak membela diri dengan mengatakan bahwa sewa gedung Danamon Aetna tersebut relatif murah akibat devaluasi rupiah, “Orang bilang kita bayar terlalu mahal atau mobilnya terlalu mewah. Tapi kita toh harus tahu mereka ini expatriates harus hidup sesuai dengan standar hidup mereka di negeri asalnya.” <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Ketika saya menanyakan pertemuan Duta Besar Richard Gozney dengan Wakil Presiden Hamzah Haz, Simanjuntak mengatakan bahwa ia tak banyak tahu ide awalnya. Pertemuan itu kemungkinan besar gagasan John Trew, atasannya. Tapi Simanjuntak menekankan logika kenaikan tersebut, “Penyesuaian itu diperlukan untuk menutup inflasi yang membuat harga listrik, bahan kimia, dan gaji karyawan naik, maupun investasi.” <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Achmad Lanti juga mendukung kenaikan tarif karena consumer price index (CPI) naik sebesar 156 persen dari Februari 1998 sampai Januari 2004. Sementara, total kenaikan tarif air sebelumnya sebesar 18, 25 dan 40 persen, masih lebih rendah dibandingkan indeks tadi. CPI adalah sebuah indeks untuk mengukur kenaikan harga barang-barang dan layanan jasa. Angka ini juga mengukur laju inflasi. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Walau setuju kenaikan tarif air, Lanti mempertanyakan biaya operasi konsorsium itu. Apa benar-benar masuk akal? Ia menyebutkan bahwa sangat sulit membangun kepercayaan dalam kerja sama yang sudah berlangsung sejak 1997 ini. Baik PAM Jaya maupun pihak swasta saling tak percaya, bahkan untuk data dasar sekalipun mereka sering berbeda pendapat. Lebih buruk lagi, kedua pihak, terutama pihak konsorsium, juga tidak memercayai Badan Regulator, sampai pada titik keduanya sepakat mengundang pihak ketiga, “tim pakar internasional” untuk datang ke Indonesia dan menghitung semuanya. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Satu dari sejumlah pertikaian adalah soal hitung-hitungan. PAM Jaya menyatakan total utangnya pada konsorsium sekitar Rp 600 milyar, sedangkan Thames Water dan Ondeo mematok angka total Rp 900 milyar. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Dalam kontrak 2001, kedua pihak sepakat bila terjadi pertikaian, mereka akan menggunakan mekanisme empat tingkat: (1) musyawarah; (2) mediasi lewat Badan Regulator; (3) pakar internasional; (4) peradilan baik di Jakarta atau Singapura. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Ternyata mereka tak bisa bermusyawarah. Perbedaan pendapat dengan Badan Regulator muncul setelah lembaga itu mempertanyakan efisiensi pemakaian uang oleh pihak swasta. Tapi laporan tersebut disanggah konsorsium. “Ya tidak apa-apa bukan? Kita punya alasan kita sendiri,” kata Simanjuntak. Akhirnya, mereka sepakat mengundang sebuah perusahaan Amerika untuk mengadakan penelitian selama setahun. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Sutiyoso jarang mengungkapkan pendapatnya tentang kontroversi PAM Jaya ini, tapi satu kali ia mengatakan pada wartawan bahwa ia menyewa konsultan dari Singapura untuk mempelajari kontrak tersebut. Para konsultan mengatakan ada 11 butir dari kontrak tahun 2001 yang jelas-jelas menguntungkan pihak konsorsium, “Salah satunya adalah ketentuan bahwa tarif air harus naik setiap enam bulan sekali.” <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Rama Boedi mengatakan, ia tak menentang privatisasi. Tapi seharusnya privatisasi dipersiapkan dengan lebih baik. Menurutnya, Presiden Suharto terlalu tergesa-gesa dan mengambil jalan pintas. Dalam perenungannya, Rama juga menyesali mengapa kedua perusahaan raksasa itu mengambil cara bekerja sama dengan kroni-kroni Suharto. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">“Mereka perusahaan besar, mereka tak perlu menggunakan cara-cara kotor dalam negosiasi awal itu,” kata Rama. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Namun susah juga menilai orang macam Bernard Lafrogne sebagai karakter yang jahat. Lafrogne akrab dengan Indonesia. Ia meyakini bahwa keterlibatan orang Indonesia adalah metode penting untuk mengelola bisnis air. Ondeo membawa pengetahuan dan ketrampilan, sementara mitra Indonesia mereka memberikan sentuhan lokal. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Sekarang keadaan makin sulit. Kalau mekanisme “pakar internasional” tak bisa menyelesaikan sengketa, langkah selanjutnya adalah pengadilan. Achmad Lanti menjelaskan kalau sampai pihak swasta angkat kaki dari Jakarta, maka pemerintah harus mengeluarkan uang sekitar Rp 3 triliun untuk mengganti keseluruhan biaya investasi dan kerugian para investor, plus membayar 50 persen dari keuntungan yang diproyeksikan pihak swasta sepanjang sisa masa berlakunya kontrak. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Angka tersebut hanya perkiraan dan harus disetujui kedua pihak, PAM Jaya dan pihak swasta, kalau memang pihak swasta harus angkat kaki. Namun berapa pun angkanya, kelihatannya tak ada jalan keluar yang mulus untuk sengketa air ini, dan apa pun yang terjadi, tak sulit untuk meramal bahwa yang paling bakal dirugikan adalah seluruh warga Jakarta. Mereka akan rugi karena pelayanan air bisa terganggu dan lebih rugi lagi karena uang merekalah yang akan dipakai membayar petualangan ini. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Sebelum meninggalkan kantornya, saya bertanya pada Rhamses Simanjuntak, apa yang ia senangi dari bisnis air ini. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">“Semua orang butuh air. Ini komoditi yang dibutuhkan semua orang. Ini adalah komitmen hidup saya. Saya mau pensiun di sini,” kata Simanjuntak. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><span lang="IN" style="font-size: 11pt;">Saya hanya diam, tapi setuju pada ucapannya. Bisnis air, bila dikelola dengan modal besar dan didukung kekuatan politik yang kuat, adalah bisnis yang menjanjikan. Tak heran kalau Simanjuntak merasa aman.* <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="IN" style="font-size: 10pt;">Catatan: <o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="IN" style="font-size: 10pt;">Naskah ini pada awalnya adalah liputan investigasi Andreas Harsono untuk International Consortium of Investigative Journalists, sebuah proyek konsorsium para wartawan investigasi sedunia yang didirikan oleh Center for Public Integrity, pada 1997. Harsono memang salah satu dari dua orang warga Indonesia, yang jadi anggota konsorsium tersebut. Naskah ini, yang dikerjakannya selama setahun penuh, diturunkan bersama naskah-naskah lain yang memantau aktivitas privatisasi air di seluruh muka bumi, mulai Amerika Latin, Eropa sampai Afrika. Liputan ICIJ ini memenangkan sejumlah penghargaan internasional. Tahun 2003, Harsono membawanya ke sidang Asien Haus di Jerman dan mempresentasikannya dalam judul "Water Privatization". Beberapa bulan kemudian, pada awal 2004, ICIJ mengizinkan majalah </span></i><span lang="IN" style="font-size: 10pt;">Pantau<i style="mso-bidi-font-style: normal;"> untuk memuatnya dalam versi bahasa Indonesia. </i>Pantau<i style="mso-bidi-font-style: normal;"> meminta bantuan Gita Widya Laksmini untuk menerjemahkannya. Rencananya, naskah ini akan diterbitkan pada Maret 2004 dalam judul "Diplomasi Air Kotor, Investasi Air Besar". Sungguh sayang, majalah </i>Pantau<i style="mso-bidi-font-style: normal;"> keburu berhenti terbit. Oleh Harsono, naskah kemudian dialihkan ke majalah </i>Gatra<i style="mso-bidi-font-style: normal;"> dan dimuat dalam salah satu edisi bulan Mei 2004 dengan judul "Dari Thames ke Ciliwung" yang dipecah-pecah ke dalam beberapa naskah sidebar.<o:p></o:p></i></span></div>niyajurnalismhttp://www.blogger.com/profile/06954668729158334229noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3557989725118876812.post-42493169762234032232012-01-17T00:34:00.000-08:002012-01-17T00:34:03.200-08:00Ahmadiyah, Rechtstaat dan Hak Asasi Manusia<br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; mso-outline-level: 3; text-align: center;">
<b><span style="font-size: 20.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Ahmadiyah, Rechtstaat dan Hak Asasi Manusia<o:p></o:p></span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Oleh Andreas
Harsono<br />
<br />
<i>Bagaimana melihat pelanggaran hak-hak asasi warga Ahmadiyah di Pulau Lombok
dari aspek kenegaraan Indonesia?<o:p></o:p></i></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;">
<span lang="IN"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi8zSCSQPS99OeVM6_hyyPM3BycLclTVvQOJjpH0yrmXNtEzSOuRkRzO2DWQtMQeZrSu88D3PdwB_EUpknP9COwzkFu7ED73c0XpIFIDKw9pNbwaDWIyS9VwmDXm-EldL14mSmgxR75clA/s1600-h/Ahmadiyah_di_Gegerung_Ketapang%5B1%5D"><span lang="EN-US" style="color: blue; font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; text-decoration: none; text-underline: none;"><!--[if gte vml 1]><v:shapetype id="_x0000_t75"
coordsize="21600,21600" o:spt="75" o:preferrelative="t" path="m@4@5l@4@11@9@11@9@5xe"
filled="f" stroked="f">
<v:stroke joinstyle="miter"/>
<v:formulas>
<v:f eqn="if lineDrawn pixelLineWidth 0"/>
<v:f eqn="sum @0 1 0"/>
<v:f eqn="sum 0 0 @1"/>
<v:f eqn="prod @2 1 2"/>
<v:f eqn="prod @3 21600 pixelWidth"/>
<v:f eqn="prod @3 21600 pixelHeight"/>
<v:f eqn="sum @0 0 1"/>
<v:f eqn="prod @6 1 2"/>
<v:f eqn="prod @7 21600 pixelWidth"/>
<v:f eqn="sum @8 21600 0"/>
<v:f eqn="prod @7 21600 pixelHeight"/>
<v:f eqn="sum @10 21600 0"/>
</v:formulas>
<v:path o:extrusionok="f" gradientshapeok="t" o:connecttype="rect"/>
<o:lock v:ext="edit" aspectratio="t"/>
</v:shapetype><v:shape id="BLOGGER_PHOTO_ID_5440319417514939506" o:spid="_x0000_i1025"
type="#_x0000_t75" alt="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi8zSCSQPS99OeVM6_hyyPM3BycLclTVvQOJjpH0yrmXNtEzSOuRkRzO2DWQtMQeZrSu88D3PdwB_EUpknP9COwzkFu7ED73c0XpIFIDKw9pNbwaDWIyS9VwmDXm-EldL14mSmgxR75clA/s400/Ahmadiyah_di_Gegerung_Ketapang%5B1%5D"
style='width:300pt;height:200.25pt;visibility:visible' o:button="t">
<v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\ADMINI~1\LOCALS~1\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.jpg"
o:title="Ahmadiyah_di_Gegerung_Ketapang%5B1%5D"/>
</v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--></span></a></span><i><span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;"><o:p></o:p></span></i></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;">
<i><span style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Warga
Ahmadiyah bertani di Gegerung, Ketapang. Mereka menggunakan lahan mereka untuk
bertani walau sudah diusir dari rumah masing-masing</span></i><span style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">.<o:p></o:p></span></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: right;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">--Semua foto
karya Lexy Rambadeta<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">I<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;"><br />
<b>Desa Gegerung,</b> di daerah Ketapang, Pulau Lombok, adalah sebuah kampung
etnik Sasak. Ia sebuah perkampungan padat dikelilingi sawah. Masjid Qurratul
Ain terletak di perempatan jalan desa. Di sepanjang jalan ada beberapa tambang
pasir. Di ujung desa, ada sederet rumah bekas terbakar, sebagian besar rusak,
instalasi listrik mereka dicabut. Rumah-rumah itu terbengkalai walau sawah
sekitarnya dipenuhi dengan padi menguning.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Gegerung adalah saksi penganiayaan
umat Ahmadiyah di Indonesia. “Penganiayaan paling menonjol, yang paling keras
di Indonesia, terjadi di Pulau Lombok,” kata Syaeful Uyun, mubaligh Ahmadiyah
di Mataram. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Pengusiran dan penganiayaan terhadap
warga Ahmadiyah dimulai tahun 1999 dengan pembakaran masjid Ahmadiyah di Bayan,
Kabupaten Lombok Barat. Satu orang meninggal, satu luka parah dibacok. Semua
warga Ahmadiyah diusir dari Bayan. Pada 2001, penganiayaan terjadi di Pancor,
daerah Lombok Timur, basis Nahdlatul Wathan, organisasi Islam terbesar di Pulau
Lombok. Selama satu pekan, rumah demi rumah Ahmadiyah, diserang dan dibakar di
Pancor. Ironisnya, pemerintah Lombok Timur memberikan dua opsi: warga Ahmadiyah
boleh tetap di Pancor tapi keluar dari Ahmadiyah atau tetap di Ahmadiyah dan
keluar dari Pancor. Semua warga Ahmadiyah memilih meninggalkan Pancor. Mereka
ditampung mula-mula di Transito, sebuah bangunan pemerintah di Mataram. Lalu
ada yang menyewa rumah, sekitar 300 orang. Biaya dibantu sebagian oleh
organisasi Ahmadiyah. Dalam setahun, mereka mulai menata kehidupan. Ada yang
tak berhasil, ada yang terlunta-lunta. Pada tahun 2004, organisasi Ahmadiyah
membeli sebuah perumahan BTN di Gegerung, Ketapang, total 1.6 hektar, lalu
dijual murah kepada anggota yang diusir dari Bayan, Pancor dan Praya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Syahidin, seorang Sasak asal Praya,
yang diusir dari desa Sambi Elen, Bayan, ketika tahu ada perumahan di Gegerung,
mengatakan, “Saya pikir, ‘Apa yang mau saya jual?’ Saya ada tanah di Sambi Elen
tapi orang-orang tak ada yang mau beli. Kebetulan ada rumah warisan kakek di
Praya. Saya jual Rp14,5 juta. Ini untuk beli rumah BTN di Ketapang, total
Rp17.5 juta. Akhirnya terbeli.” Keluarga muda ini praktis tak punya apa-apa di
Ketapang, sesudah lari dari Sambi Elen dan hidup mengungsi di Mataram. “Sholat
sama isteri, gantian itu bajunya. Hanya ada satu sarung,” kata Syahidin.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Zulkhair asal Pancor mengatakan dia
juga beli rumah di Gegerung. “Saya bernaung di rumah milik paman. Mula-mula
delapan rumah dibeli organisasi. Akhirnya, ada 17 rumah yang dibangun oleh eks
pengungsi Pancor, ada juga yang dari Bayan serta Praya.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Tahun 2005, mulai banyak warga
Ahmadiyah tinggal di Ketapang. Kerja mereka tani dan dagang. Hubungan mereka
baik dengan warga Ketapang. “Kita orang baru, mau bergaul dengan baik,” kata
Zulkhair.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Khairuddin asal Selong, Lombok Timur,
mengatakan, “Kita juga ikut <i>ngiket</i> besi sebelum pengecoran untuk masjid
Qurratul Ain. Kami juga keluarkan biaya untuk bangun masjid. Saat pengecoran,
tiga hari, kita ikut sampai akhir. Sebagian besar kami –tukang, petani,
pedagang—ikut bangun masjid.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Pada Juli 2005, Majelis Ulama
Indonesia mengeluarkan fatwa di Jakarta. Isinya, Ahmadiyah ditegaskan “...
berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan ....” MUI minta pemerintah
Indonesia “… melarang penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan
membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya.” Fatwa tersebut
mengacu pada fatwa MUI tahun 1980 serta keputusan muktamar Organisasi
Konferensi Islam di Jeddah, Arab Saudi, Desember 1985, yang menyatakan bahwa
aliran Ahmadiyah mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi sesudah Nabi Muhammad,
dan pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad, menerima wahyu dari Allah.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Fatwa MUI itu memicu penyerangan
terhadap berbagai masjid dan rumah Ahmadiyah di Parung, dekat Bogor; Manis Lor,
Kuningan; Tasikmalaya; Garut; Ciaruteun; dan Sadasari. Mayoritas warga Ahmadiyah
di Indonesia adalah orang Sunda. Mereka punya jumlah cukup besar di beberapa
desa di Bogor, Tangerang, Tasikmalaya dan Garut.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Di Gegerung, Zulkhair, seorang guru
mengaji dan pengungsi kelahiran Pancor, mengatakan, “Sudah lebih 30 tahun saya
ikut Ahmadiyah, tidak pernah saya dengar istilah Nabi Mirza.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Suatu petang, ada dua murid Zulkhair,
bertanya, “Apa benar Pak Zul ini Ahmadiyah dan mengaku kenabian Mirza Guhlam
Ahmad?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">“Saya benar orang Ahmadiyah. Masalah
kenabian saya tidak jelaskan karena bukan kelas kita untuk menjelaskan itu,”
jawab Zulkhair.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Jawaban dari ujung desa itu cukup
untuk mengguncang seluruh kampung Gegerung. “Kalau mereka punya agama lain,
jangan libatkan nama Islam,” kata H. Ahmad Chusairi, seorang petani dan imam
masjid Qurratul Ain.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Pulau Lombok sebenarnya hanya punya
beberapa ratus orang Ahmadiyah. Pengusiran dari Bayan, Selong, Praya dan Pancor
membuat Ketapang menjadi satu-satunya desa dimana ada sejumlah warga Ahmadiyah.
Kota Mataram, ibukota provinsi Nusa Tenggara Barat, juga ada orang Ahmadiyah
namun mereka tinggal menyebar. Warga kota Mataram relatif lebih heterogen. Di
Mataram ada banyak orang Hindu Bali maupun orang-orang Kristen Minahasa, Batak,
Tionghoa dan lainnya. Pulau Lombok sebelah barat juga ada industri turisme, dengan
Pantai Senggigi, hingga daerah ini relatif lebih terbuka daripada desa Sasak
yang homogen macam Ketapang.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Di Ketapang, sesudah fatwa MUI, mulai
muncul pengajian-pengajian kritis terhadap Ahmadiyah. Pertengahan Ramadhan,
Oktober 2005, pengajian makin kencang. Menurut beberapa warga Ahmadiyah, dari
loudspeaker masjid Qurratul Ain terdengar ceramah tuan guru Muhammad Izzi,
seorang ulama-cum-politikus-cum-pengusaha pompa bensin dari Praya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Lewat <i>loudspeaker</i> terdengar,
“Usir orang Ahmadiyah BTN. Kalau masyarakat Ketapang tidak mampu mengusir, saya
akan mendatangkan masyarakat dari tempat lain untuk mengusir mereka …. Darah
Ahmadiyah itu halal!” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Khairuddin mengatakan ceramah itu
membuat warga Gegerung berubah. Izzi tegas mengatakan, “Harus usir dari
Ketapang. Kalau tidak sanggup, saya yang akan datangkan dari Praya,” tiru
Khairuddin. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Rabu malam 18 Oktober 2005. Warga
Ahmadiyah sedang mengaji. Ada dua pemuda naik sepeda BMW menemui Zulkhair, ‘Pak
Zul, katanya rumah-rumah sudah dihancurkan!’” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Sekitar pukul 21:00 ada pelemparan
batu. “Lalu Imah Abidin datang menemui. Juga Ahmad Sofianti untuk tanya saya
soal info dua anak itu,” kata Zulkhair. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">“Saya suruh KWh dipadamkan. Kami
menghadapi mereka, melihat lemparan batu.” Rumah Imah Abidin, Ahmad Sofianti
dan Zulkhair termasuk paling dekat jalan, front terdepan penyerangan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Agak mendalam, di rumah Syahidin,
“Kami lagi tadarusan, tahu-tahu, ‘Ndang, ndang …’ Batu di atas,” kata Syahidin.
“Saya lari, cari isteri saya. Dia lari ke tengah sawah, sembunyi di padi,
gendong anak satu-satunya.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Isteri Komaruddin, Rochiyah, juga
melarikan diri ke sawah. Rochiyah hamil besar. Dia jatuh di pematang sawah
dalam kegelapan malam. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">“Teman-teman lain saya minta
melindungi ibu-ibu dan anak-anak. Kami tiga orang saja hadapi 50 orang. Mereka
sempat saling melukai, salah sasaran,” kata Zulkhair. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">“Sekitar 20-30 menit, kami hadapi 50
orang, dilempari batu. Penyerangan berhenti ketika ada lampu mobil mendatangi
perumahan. Mereka kira mobil polisi. Mereka (lari) menyebar. Ternyata tamu-tamu
kami dari Sembalun, Lombok Timur. Sekitar 10-15 menit kemudian polisi datang.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">“Anehnya, polisi tidak menangkap
pelaku penyerangan itu?” kata Zulkhair. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Keesokan hari, perut Rochiyah sakit.
Ternyata dia keguguran. Janinnya, bayi lelaki. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">“Anak saya trauma dengan
teriak-teriakan,” kata Syahidin. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Sejak Oktober itu perumahan BTN
Ahmadiyah di Gegerung dijaga polisi. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<b><span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">NAMUN INTIMIDASI DAN TEROR </span></b><span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">jalan terus.
“Kita katanya akan diserang besar-besaran sesudah Lebaran. Seminggu terus
tegang. Selalu ada isyu akan diserang. Tiap malam ada teriakan, ‘Jihad! Serang!
Bunuh!’” kata Zulkhair.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">“Lebaran jatuh Rabu. Kita diundang
ikut sholat Ied di masjid Qurratul Ain. Ada 11 orang ikut sholat di sana.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Sesudah Lebaran, ada lagi pengajian
Muhammad Izzi. Dari <i>loudspeaker</i>, beberapa warga Ahmadiyah mendengar Izzi
mengancam, “Kalau orang-orang Ketapang tidak berani usir orang-orang dari BTN,
saya akan bawakan dari Praya.” Izzi dilaporkan membuat deadline “tiga bulan”
sesudah dia pulang dari ibadah haji. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Pada 31 Desember 2005, lebih ramai
lagi. Tengah malam ada orang-orang melewati perumahan BTN. “Paman saya dengan
isterinya menabrak tembok dengar mau diserang. Sampai benjol kepalanya,” kata
Zulkhair. Pendek kata, selama tiga bulan mereka tidak bisa tenang tidur malam. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">SABTU<span style="mso-bidi-font-weight: bold;"> , 4 FEBRUARI 2006,</span></span></b><span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;"> akhirnya
terjadi penyerangan besar sekitar pukul 11:00. Beberapa polisi sedang jaga,
tidur-tiduran di rumah Zulkhair. Warga Ahmadiyah sedang gotong-royong, menimbun
lubang-lubang bekas truk pasir di jalan desa. “Kami bergurau, ‘Kita ini membikin
jalan mulus untuk orang mulus menyerang kita,’” kata Zulkhair. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Tiba-tiba datang rombongan besar. Ada
lebih dari seribu orang datang menyerang. Mereka lempar batu. Mereka
teriak-teriak, “Serbu! Bakar!” Para polisi lari tanpa sepatu ketika serangan
datang. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Warga Ahmadiyah bertahan. Beberapa
rumah yang dekat jalan dibakar, termasuk milik Imah Abidin. Truk-truk polisi
datang untuk evakuasi. Namun warga Ahmadiyah menolak. Mereka kuatir sekali
evakuasi, mereka akan terusir selamanya. Para lelaki bertahan dengan pentungan
kayu. Kaca-kaca pecah. Maret lalu, dua tahun sesudah serbuan, saya masih
melihat bekas penyerangan ini. Pintu didobrak atau jendela dipukul hingga
hancur. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Pukul 13:30 serangan berhenti
sebentar. Zulkhair sempat masuk rumah dan ambil Al Quran. “Saya anggap ilmu
saya disana.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Polisi mendesak Ahmadiyah evakuasi.
Polisi jamin rumah-rumah mereka dijaga. Tapi rumah-rumah dibakar dan polisi
membiarkan. “<i>Adoh</i>, apa kerjanya polisi?” pikir Zulkhair. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Polisi lantas menaruh ibu-ibu dan
anak-anak dekat truk. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">“Saya minta tak usah ikut polisi,”
kata Zulkhair. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">“Sudah beberapa kali kami dijarah,
dibakar, diusir. Saya bawa tongkat untuk menepis tapi direbut polisi. Tapi
orang-orang itu, bawa parang, tongkat, dibiarkan saja. Ini kan rumah saya? Kayu
ini untuk jaga rumah saya. Polisi malah marah.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">“Ada haji pakai kayu memimpin gerakan,
dibiarkan oleh polisi.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">“Pak itu kok dibiarkan?” tanya
Zulkhair. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">“Ndak, itu nonton,” kata polisi. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Ada lebih dari 1.000 orang menyerang.
Polisi tak mencegah. Polisi justru mencegah Zulkhair dan kawan-kawan membela
diri, membela barang dan rumah mereka. “Rumah bikinan saya sendiri dibakar
sampai ludes,” kata Zulkhair. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Pukul 16:00, sesudah lima jam saling
lempar, ibu-ibu dan anak-anak menangis. Mereka kelaparan. Orang-orang Ahmadiyah
menyerah. Mereka naik dua truk polisi, dibawa ke gedung Transito di Mataram. Di
sana mereka didata oleh Dinas Sosial. Mereka hanya bawa anak dan pakaian di
badan. Anak-anak tidak bisa sekolah karena pakaian mereka dibakar habis. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Saya sempat keliling Gegerung namun
tak ada satu pun mau terbuka bicara dengan saya. H. Ahmad Chusairi mengatakan
pada saya bahwa dia tak tahu penyerangan itu. “Pas saya sedang sakit.” Dia
bilang para pelaku orang-orang dari luar Gegerung. “Yang luka orang dusun Buwuh,
desa Gunung Sari. Namanya Ilah. Parah lukanya. Karena orang Buwuh melihat
orangnya luka parah, maka dibakarlah rumah Ahmadiyah.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Saat penyerangan, Muhammad Izzi tidak
terlihat. Saya menelepon Izzi, juga mendatangi Praya, namun dia menolak
komentar. Seorang kenalan saya di Praya, Esti Wahyuni, satu wartawan yang tetua
nikahnya dilakukan Izzi, mengatakan, “Abah Izzi orang baik.” Esti tak tahu Izzi
ceramah di Ketapang. Maskum, kepala desa Ketapang, mengatakan Muhammad Izzi tak
persis bilang usir. “Dia bilang beri waktu tiga, empat bulan. Saya juga dengar
begitu, tapi tidak bilang usir.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Maret lalu hanya ada rumah-rumah rusak
ada di ujung desa. Warga Ahmadiyah mengirim surat kepada Gubernur Zainul Majdi.
Mereka memberitahu hendak kembali ke tanah dan rumah mereka. Majdi melarang.
Lewat telepon, Majdi bilang kepada saya sebaiknya orang-orang Ahmadiyah itu
minta suaka ke Australia. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiRiqOS10fBKL_c5gXXa6F-h_esC_obehCMLBYXbxm5fhOTs9jhGpIEKoyaIqcWp-gkF-_FNJNzrd5ahy6itYORU6588R0jjdtP_4janj3K4cOPRwibpEORU4gVpE4rJjKubhSu1lQVM_I/s1600-h/Ahmadiyah_Gubernur_NTB%5B1%5D"><span lang="EN-US" style="color: blue; font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; text-decoration: none; text-underline: none;"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="BLOGGER_PHOTO_ID_5440321826391989698"
o:spid="_x0000_i1026" type="#_x0000_t75" alt="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiRiqOS10fBKL_c5gXXa6F-h_esC_obehCMLBYXbxm5fhOTs9jhGpIEKoyaIqcWp-gkF-_FNJNzrd5ahy6itYORU6588R0jjdtP_4janj3K4cOPRwibpEORU4gVpE4rJjKubhSu1lQVM_I/s400/Ahmadiyah_Gubernur_NTB%5B1%5D"
style='width:300pt;height:187.5pt;visibility:visible' o:button="t">
<v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\ADMINI~1\LOCALS~1\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image002.jpg"
o:title="Ahmadiyah_Gubernur_NTB%5B1%5D"/>
</v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img alt="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiRiqOS10fBKL_c5gXXa6F-h_esC_obehCMLBYXbxm5fhOTs9jhGpIEKoyaIqcWp-gkF-_FNJNzrd5ahy6itYORU6588R0jjdtP_4janj3K4cOPRwibpEORU4gVpE4rJjKubhSu1lQVM_I/s400/Ahmadiyah_Gubernur_NTB%5B1%5D" border="0" height="250" src="file:///C:/DOCUME~1/ADMINI~1/LOCALS~1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.jpg" v:shapes="BLOGGER_PHOTO_ID_5440321826391989698" width="400" /><!--[endif]--></span></a></span><i><span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;"><o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<i><span style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Pada 2008, Zainul Majdi, cucu KH
Zainuddin Abdul Majid, pendiri Nadhatul Wathan dari Pancor, Lombok Timur,
menang pemilihan umum sebagai gubernur Nusa Tenggara Barat. Majdi usul agar
warga Ahmadiyah cari suaka dan pindah ke Australia</span></i><span style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">.<o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">II<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;"><br />
<b>SUATU SORE SAYA PERGI </b>mengunjungi rumah tuan guru KH Muhammad Anwar di
desa Duman, daerah Langsar, Lombok Barat. Tuan guru adalah sebutan untuk ulama
Sasak. Anwar memimpin pesantren Darul Najah. Dia juga ketua Nahdlatul Ulama
wilayah Nusa Tenggara Barat. Rumahnya terletak dalam area Darul Najah. Ada tiga
set sofa di ruang tamu. Tembok warna hijau-biru tua. Ada buku <i>Risalah
Gerakan Ikhwanul Muslimin</i> karya Hasan al Banna terletak di meja. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Anwar termasuk salah satu tuan guru
yang dianggap bisa bicara dengan Ahmadiyah. Syaeful Uyun, mubaligh Ahmadiyah di
Mataram, beberapa kali datang ke Duman. Anwar juga pernah datang ke Transito,
tempat pengungsi Ahmadiyah, di Mataram. Saya tanya bagaimana Anwar melihat
pengusiran Ahmadiyah di Pulau Lombok. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Saat serangan Februari 2006, Anwar bilang
dia sedang berada di Jakarta. “Banyak yang luka, cacat seumur hidup. Mereka
hanya 140an orang melawan ribuan orang … ya habis. Saya lihat di TV. Mereka
janji mengubah penampilan dan berbaur dengan masyarakat,” kata Anwar. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Bagaimana melihat sikap pemerintah dan
polisi? “Polisi kan juga menghitung. Bagaimana menghadapi suatu keributan?
Lebih mudah mengevakuasi seratusan daripada menangkap ribuan.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Anwar berpendapat Ahmadiyah “tidak
nyambung” dengan masyarakat Sasak. “Mereka eksklusif, sering memisahkan diri,
terutama dalam ibadah sholat Jumat. Kenapa tidak mau bersama?” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Ini makin peka karena Ahmadiyah
ternyata punya pengikut di Pancor, jantung basis Nahdlatul Wathan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Nahdlatul Wathan adalah organisasi
yang didirikan oleh KH Zainuddin Abdul Majid atau “Tuan Guru Pancor” pada 1935.
Salah satu cucunya, Zainul Majdi, menggantikan Majid menjadi ketua Nahdlatul
Wathan pada 1997. Zainul Majdi seorang doktor ushuluddin dari Universitas Al
Azhar, Kairo. Pada 2008, Zainul Majdi menang pemilihan umum sebagai gubernur
Nusa Tenggara Barat dengan dukungan Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Bulan
Bintang. Ibaratnya, Nadhatul Wathan kini sedang menikmati kebesaran pengaruh
mereka. Kehadiran Ahmadiyah di Pancor ibarat duri dalam daging Nahdlatul
Wathan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Sejarah Ahmadiyah tak terlepas dari
Mirza Ghulam Ahmad. Dia lahir pada 1835 dari sebuah keluarga elite di Qadian,
Punjab, British India. Ketika kecil, dia belajar bahasa Arab dan Persia, serta
mempelajari macam-macam keberatan theologi Kristen terhadap Islam. Dia mendirikan
satu komunitas Muslim pada 1889. Sepuluh tahun kemudian komunitas ini dinamai
Jemaah Ahmadiyah. Dia juga dianggap sebagai Imam Mahdi. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Pada 1902-1903, Mirza Ghulam Ahmad
terlibat perdebatan, lewat surat, dengan Pendeta John Alexander Dowie dari Zion,
Illinois. Mulanya, Dowie mengatakan dia adalah pembuka jalan untuk kedatangan
kedua Kristus. Dia menjadi seorang penyembuh spiritual. Kiprah Dowie banyak
diberitakan suratkabar di Amerika Serikat, Australia, Kanada bahkan India. Ini
menarik perhatian Ghulam Ahmad. Dia mendebat Dowie dari Qadian. Kini Qadian
masuk wilayah negara Pakistan. Ahmad menuduh Dowie sebagai “nabi palsu.” Makin
hari debat makin sengit. Banyak suratkabar meliput debat mereka. Pada 1903,
akhirnya, Ghulam Ahmad kesal, menantang Dowie “duel doa.” Siapa yang mati
duluan berarti kalah. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Waktu itu, Dowie berumur 56 tahun dan
Ghulam Ahmad 68 tahun. Para pembaca perdebatan mereka menduga secara natural
Ghulam Ahmad, yang lebih tua 12 tahun, akan mati duluan. Ternyata pada 1907,
Dowie meninggal dunia lebih dulu. Ahmad meninggal pada 1908 dalam usia 72
tahun. Cerita ini sering dimasukkan dalam literatur Ahmadiyah. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Menurut Ghulam Ahmad, Ahmadiyah
merupakan bagian dari Islam. Anggota Ahmadiyah mengamalkan kelima Rukun Islam:
syahadat, sholat, puasa, zakat, haji. Ahmadiyah juga berkeinginan mendorong
dialog antar iman dan berusaha memperbaiki kesalahpahaman mengenai Islam di
dunia Barat. Mirza Ghulam Ahmad menulis lebih dari 80 buku serta mengedepankan
pendekatan <i>non-violence</i>. Mereka banyak berkiprah di negara-negara Barat,
termasuk menterjemahkan Al Quran ke berbagai bahasa Inggris dan sebagainya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Pada 1925, Ahmadiyah mengutus mubaligh
Rahmat Ali dari Qadian ke Hindia Belanda. Rahmat Ali seorang alumnus
Universitas Punjab. Dia berangkat ke Sumatra atas undangan tiga mahasiswa
Minangkabau, yang belajar di Lahore, British India. Rahmat Ali mulanya tiba di
Tapaktuan, Aceh, lantas berangkat menuju Padang. Pada tahun 1926, Jemaah
Ahmadiyah resmi berdiri sebagai organisasi di Padang, dalam masa pemerintahan
Gubernur Jenderal Andries Cornelis Dirk de Graeff (1926-1931). Rahmat Ali pun
pindah ke Batavia, ibukota Hindia Belanda. Langkah ini membuat perkembangan
Ahmadiyah makin cepat. Rahmat Ali banyak membaiat orang Sunda masuk Ahmadiyah.
Ahmadiyah melewati masa-masa pemerintahan pemerintahan tiga gubernur jenderal
lagi maupun zaman Jepang. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Sesudah Indonesia menggantikan Hindia
Belanda, Jemaah Ahmadiyah Indonesia diakui sebagai badan hukum pada Maret 1953.
Pada 1965-1966, ketika terjadi demonstrasi melawan kediktatoran Presiden
Soekarno, satu mahasiswa kedokteran Universitas Indonesia, Arif Rahman Hakim,
ditembak tentara hingga mati dekat Istana Merdeka, Jakarta, pada 24 Februari
1966. Dia seorang warga Ahmadiyah. Kini namanya sering jadi nama-nama jalan di
Pulau Jawa. Ada yang bilang dia ditembak anggota Tjakrabirawa, ada yang bilang
dia ditembak Garnisun di Lapangan Banteng. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Hubungan Ahmadiyah biasa saja ketika
Jenderal Soeharto berkuasa. MUI mengeluarkan fatwa anti-Ahmadiyah pada 1980.
Soeharto tak terlalu menggubris. Pada tahun 2000, sesudah kejatuhan Soeharto,
Presiden Abdurahman Wahid menyambut imam besar Ahmadiyah Mirza Tahir Ahmad,
cucu Mirza Ghulam Ahmad, di Jakarta. Mirza Tahir Ahmad juga bertemu dengan
Ketua MPR Amien Rais. Amien Rais menyatakan kekaguman terhadap pekerjaan
Ahmadiyah di masyarakat Barat. Pada akhir 2000, Wahid diganti oleh Megawati
Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Bapaknya, Presiden
Soekarno, tak melarang Ahmadiyah, Megawati juga tak melarang Ahmadiyah. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Keadaan berubah ketika Susilo Bambang
Yudhoyono mengalahkan Megawati dan menang pemilihan presiden pada 2004.
Pengaruh MUI berkembang cepat bersama SBY. Tembok batas antara negara dan agama
menjadi makin rendah. Pada Oktober 2005, MUI mengeluarkan fatwa pelarangan
Ahmadiyah dan minta SBY melarang Ahmadiyah. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Ada juga Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI), sebuah organisasi Islam, yang membangun koalisi dengan Forum Umat Islam,
Front Pembela Islam serta Majelis Mujahidin Indonesia. Koalisi ini secara
sistematis melakukan lobby terhadap Badan Koordinasi Pengawas Aliran
Kepercayaan Masyarakat, alias Bakor Pakem, agar melarang Ahmadiyah. Bakor Pakem
adalah sebuah forum berbagai instansi pemerintah di bawah supervisi Kejaksaan
Agung. Tujuan Hizbut Tahrir, induk dari HTI dengan kantor pusat London, adalah
mendirikan sebuah khilafah Islamiyah, macam Kesultanan Ottoman, dengan anggota
semua negara-negara Islam di seluruh dunia. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Di Jakarta, Ismail Yusanto dari Hizbut
Tahrir Indonesia mengatakan kepada saya bahwa Indonesia memang memberikan
kebebasan orang beragama tapi bukan bebas menodai Islam. Yusanto mengatakan
Ahmadiyah ajaran yang menyimpang dari Islam. Ahmadiyah menghina Nabi Muhammad
dan Al Quran. Warga Ahmadiyah punya dua pilihan: (1) Kembali ke Islam yang <i>real</i>;
(2) atau menyebut agama mereka sebagai Ahmadiyah. Bukan Islam. “Mazhab dalam
Islam banyak tapi Ahmadiyah bukan mazhab. Pemerintah punya otoritas untuk ambil
keputusan soal politik, ekonomi dan sebagainya. termasuk soal agama,” kata
Yusanto. Soal kekerasan, Yusanto mengatakan, “Saya mengerti kemarahan mereka
tapi tidak setuju dengan kekerasan.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Sikap Front Pembela Islam terhadap
Ahmadiyah, disampaikan oleh KH Tubagus Abdurrahman Anwar, dalam sebuah ceramah
di Universitas Islam Negeri Jakarta Syarif Hidayatullah, Jakarta, pada 10
Agustus 2005. Pidato ini dimuat dalam sebuah pamflet FPI berjudul, “Ayo Ganyang
Ahmadiyah dan JIL.” Abdurrahman Anwar menerangkan mengapa kekerasan boleh
dilakukan terhadap Ahmadiyah maupun Jaringan Islam Liberal, sebuah organisasi
anak-anak muda Muslim, yang berpusat di Komunitas Utan Kayu, Jakarta. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Menurut Abdurrahman Anwar, “Apabila
harta benda dan jiwa raga seseorang terancam, maka ia berhak melakukan
bela-paksa (<i>overmacht/noodweer</i>). Apalagi jika yang terancam aqidah dan
keyakinannya, yang jauh lebih berharga daripada harta benda dan jiwa raga.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Dia memberikan bukti kesesatan
Ahmadiyah: <o:p></o:p></span></div>
<ul style="margin-top: 0in;" type="disc">
<li class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; mso-list: l0 level1 lfo1; tab-stops: list .5in;"><span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Ahmadiyah menyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi dan
Rasul serta sebagai Imam Mahdi dan Al Masihul Mau’ud.<o:p></o:p></span></li>
<li class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; mso-list: l0 level1 lfo1; tab-stops: list .5in;"><span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Kitab <i>Tadzkirah</i> berisikan pernyataan bahwa ia
adalah “wahyu yang suci.”<o:p></o:p></span></li>
</ul>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Pamflet itu juga memuat tanya jawab.
Misalnya, “Kenapa umat Islam tak boleh bertoleransi kepada Ahmadiyah tapi bisa
bertoleransi kepada Kristen, Budha dan Hindu?” Jawabnya, “Karena Kristen, Budha
dan Hindu adalah kafir asli sedang Ahmadiyah adalah kafir jejadian, yang
mengatasnamakan Islam untuk menyesatkan umat Islam.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Ada juga pertanyaan soal hak asasi
manusia, “Bukankah melarang Ahmadiyah merupakan pelanggaran hak asasi manusia?”
Jawabnya, “Ahmadiyah tidak berhak menodai dan menistai ajaran Islam.
Pelanggaran mana yang lebih berat daripada penodaan dan penistaan agama?” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Di Mataram, H. Saiful Muslim, ketua
umum MUI Nusa Tenggara Barat mengatakan kepada saya, MUI tak setuju tindakan
mengusir dan membakar. “Kami berharap penyelesaian-penyelesaian tidak dengan
cara seperti itu. Tapi dikarenakan Ahmadiyah itu sangat ekslusif hingga umat
merasa risih. Kalau saja dakwahnya internal mereka dan lewat ke masjid seperti
umat Islam yang lain, itu saya kira tidak ada masalah.” Saiful Muslim juga
menyesal soal tindakan Muhammad Izzi di Ketapang. “Kami tidak setuju dengan
cara-cara seperti itu. Polisi bisa menyelidiki Muhammad Izzi.” Saya kira polisi
Mataram takkan berani memeriksa Izzi.<br />
<b>RUMAH KONTRAKAN MUBALIGH </b>Syaeful Uyun terletak dekat kediaman resmi
Gubernur Nusa Tenggara Barat. Logat Sundanya terasa kuat. Uyun pernah menulis
surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Mei 2008 dimana secara panjang
lebar Uyun membantah kesimpulan MUI. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Uyun mengatakan fatwa MUI terlalu
didramatisir, seolah-olah Ahmadiyah tak mengakui Rasulullah sebagai nabi yang
terakhir. “Tapi saya tahu kenapa mereka melakukannya. Soalnya, isu itu adalah
isu yang sensitif. Untuk berdebat mereka tidak sanggup sehingga mereka pakai
drama. Kalau mereka menelaah Ahmadiyah secara jujur, Ahmadiyah adalah Islam.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Menurut Uyun, kalau ada perbedaan, itu
hanya tafsir beberapa nats Al Quran. Kaum Ahmadiyah, misalnya, mewajibkan
perempuan ikut shalat Jumat. Warga Ahmadiyah juga tak dianjurkan ikut shalat
bila imamnya bukan orang Ahmadiyah. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Dalam suratnya kepada Presiden
Yudhoyono, tertanggal 5 Mei 2008, Uyun menerangkan dua macam kategori nabi
dalam khasanah Ahmadiyah. Pertama, <i>tasyri</i> adalah nabi yang membawa
syariah. Mereka termasuk Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa dan Nabi
Muhammad. Pintu kenabian tasyri sudah tertutup dan tak pernah terbuka lagi.
Muhammad adalah nabi <i>tasyri</i> terakhir. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Kedua, <i>ghairi tasyri</i> adalah
golongan nabi yang tidak membawa syariah. Golongan ini terbagi dua: <i>mustaqil</i>,
artinya nabi yang berdiri sendiri, menjadi nabi bukan karena mengikut nabi
lain, menjadi nabi semata-mata karena kesucian dirinya; serta nabi <i>ghairi
mustaqil</i>, artinya tidak berdiri sendiri, menjadi nabi karena mengikut nabi
lain, karena ketaatannya kepada seorang nabi. Kategori <i>ghairi mustaqil</i>
ini masih terbuka. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Dalam istilah Nahdlatul Ulama, <i>ghairi
mustaqil</i> diistilahkan sebagai nabi yang melaksanakan syariah Nabi Muhammad.
Statusnya, hanya pelayan Islam dan Nabi Muhammad. Dalam khasanah Ahmadiyah,
mereka termasuk Nabi Zilli, Nabi Buruzi, Nabi Mazazi, Nabi Ummati maupun Mirza
Ghulam Ahmad. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Uyun mengutip sebuah ucapan Mirza
Ghulam Ahmad dalam <i>Tajalliyat-i-Ilahiyah</i>, “Sesudah Nabi Muhammad SAW
tidak boleh lagi mengenal istilah Nabi kepada seseorang, kecuali bila ia lebih
dahulu menjadi seorang ummati dan pengikut dari Nabi Muhammad SAW.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">“Kita sudah usaha pendekatan pribadi,
penyelaman literatur, diskusi, seminar. Itu terus kita usahakan. Tapi opini
publik bahwa Ahmadiyah tidak mengakui Nabi Muhammad dan Quran bukan kitab suci
satu-satunya, itu begitu kuat,” kata Uyun. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Menurut Uyun, <i>Tadzkirah</i> bukan
kitab suci. Ia hanya sebuah buku karya seorang pengarang bernama Mirza Ghulam
Ahmad. Sumber pokok Islam ada pada Quran dan Sunnah Nabi. Dia berpendapat
kampanye bahwa <i>Tadzkirah</i> sebagai kitab suci lain membuat orang-orang
Ahmadiyah diusir dari kampung-kampung. “Lombok yang paling parah karena disini
masyarakat tidak bisa bedakan paham dan manusia.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Dalam catatan Ahmadiyah, penganiayaan
paling menonjol terjadi di Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Medan, Palembang,
Kendari, Riau dan Jakarta. Di Jawa Timur juga ada tapi tidak sehebat daerah
lain. Di daerah-daerah mayoritas Kristen --Manado, Nusa Tenggara Timur, Ambon
dan Papua-- tidak terdengar ada penganiayaan. Cuma di basis Muslim di daerah Kristen,
misalnya, Kotamobagu dan Pulau Buru, terdengar ada gejolak. Jogjakarta juga tak
ada cerita penganiayaan Ahmadiyah. “Aceh dari dulu anti-Ahmadiyah cuma di Aceh
memang Ahmadiyah tidak menonjol,” katanya.<o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;">
<span lang="IN"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgkUyw7jT-a7ztFT8BL8ARpySiLq8dsRBfzruWGra0unMqdw0BMrg9PKQvgk5YqU-QDnka9w8YoUI1PLkU8574PQtLIzUlT8GpI6b20d5qj9XIxOR7Z_G4Mj3-sOK4-hYYUwv_L5g9aKMI/s1600-h/Ahmadiyah_Zulkhair_di_Transito%5B1%5D"><span lang="EN-US" style="color: blue; font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; text-decoration: none; text-underline: none;"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="BLOGGER_PHOTO_ID_5440473426532245890"
o:spid="_x0000_i1027" type="#_x0000_t75" alt="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgkUyw7jT-a7ztFT8BL8ARpySiLq8dsRBfzruWGra0unMqdw0BMrg9PKQvgk5YqU-QDnka9w8YoUI1PLkU8574PQtLIzUlT8GpI6b20d5qj9XIxOR7Z_G4Mj3-sOK4-hYYUwv_L5g9aKMI/s400/Ahmadiyah_Zulkhair_di_Transito%5B1%5D"
style='width:300pt;height:200.25pt;visibility:visible' o:button="t">
<v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\ADMINI~1\LOCALS~1\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image003.jpg"
o:title="Ahmadiyah_Zulkhair_di_Transito%5B1%5D"/>
</v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img alt="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgkUyw7jT-a7ztFT8BL8ARpySiLq8dsRBfzruWGra0unMqdw0BMrg9PKQvgk5YqU-QDnka9w8YoUI1PLkU8574PQtLIzUlT8GpI6b20d5qj9XIxOR7Z_G4Mj3-sOK4-hYYUwv_L5g9aKMI/s400/Ahmadiyah_Zulkhair_di_Transito%5B1%5D" border="0" height="267" src="file:///C:/DOCUME~1/ADMINI~1/LOCALS~1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image003.jpg" v:shapes="BLOGGER_PHOTO_ID_5440473426532245890" width="400" /><!--[endif]--></span></a></span><i><span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;"><o:p></o:p></span></i></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;">
<i><span style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Zulkhair,
seorang guru mengaji dan pengungsi kelahiran Pancor, mengatakan, “Sudah lebih
30 tahun saya ikut Ahmadiyah, tidak pernah saya dengar istilah Nabi Mirza.”</span></i><span style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;"><br />
</span><span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;"><br />
III<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;"><br />
<b>ADNAN BUYUNG NASUTION </b>tampil rapi, kemeja lengan panjang, pantalon
hitam, sepatu boot, rambut keperakan disisir rapi. Saya jadi moderator acara
“Bang Buyung” dalam sebuah diskusi Juli lalu di Jakarta. Dia baru saja
merayakan ulang tahun ke-75 bersama keluarga dan sahabat. Mereka memberi Buyung
hadiah berupa sebuah buku. Judulnya, <i>75 Tahun Adnan Buyung Nasution:
Inspirator</i>. Isinya, 48 esai karya kawan dan keluarga. Mereka termasuk
Presiden B.J. Habibie, pastor Franz Magnis-Suseno, pengacara Nono Anwar Makarim,
penerbit Jakob Oetama dan Aristides Katoppo, Jenderal Wiranto dan A.M.
Hendropriyono, ulama Ma’ruf Amin serta beberapa alumni Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia. Mereka menulis macam-macam penilaian mereka terhadap Buyung. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Dalam diskusi, saya tanya soal
bagaimana proses pelarangan kegiatan Ahmadiyah di Indonesia. Saat itu, Buyung
adalah ketua Dewan Pertimbangan Presiden Yudhoyono. Dia termasuk orang yang
ikut melawan proses pelarangan Ahmadiyah. Buyung juga seorang pengacara hak
asasi manusia. Dia mendirikan YLBHI pada 1970an. Pada 1980an, dia studi
doktoral di Universitas Utrecht dan menulis thesis soal Konstituante 1956-1959.
Ini sebuah thesis menarik, berjudul, <i>Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di
Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959</i>. Dalam bahasa
Belanda, “pemerintahan konstitusional” disebut <i>rechtstaad</i> atau “negara
hukum” dalam terminologi Indonesia. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Menurut Buyung, dia terlambat
mendengar rencana larangan Ahmadiyah. Ada dua orang Ahmadiyah, Agus Mubarik dan
Lamardi, lapor kepada Buyung. Mereka bilang pemerintah Yudhoyono sudah siap
dengan satu SK untuk membubarkan Ahmadiyah. Dilarang sama sekali di Indonesia. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Ia dimulai pada April 2008 ketika
Bakor Pakem mengeluarkan rekomendasi agar tiga menteri teken surat keputusan
bersama. Tujuannya, memberi peringatan kepada warga Ahmadiyah untuk berhenti
menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi dan mengacu pada <i>Tadzkirah</i>.
Tiga menteri itu adalah Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, Menteri Agama Maftuh
Basyuni dan Jaksa Agung Hendarman Supanji. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">“Saya kaget. Saya sama teman-teman,
aktivis semua, bilang, ‘Ini mesti distop, tidak boleh terjadi larangan
Ahmadiyah. Jika ini terjadi kita telah ikut cara-cara seperti di Pakistan:
melarang satu keyakinan agama.’ Karena kita kan negara berbhineka, semua agama
harus dihormati,” kata Buyung. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Buyung mendekati beberapa kenalannya
-- Abdurrahman Wahid, Amien Rais, Asmara Nababan, Djohan Effendi, Goenawan
Mohamad, Nong Darol Mahmada, Budiman Sujatmiko, Nono Anwar Makarim, Syafii
Maarif dan banyak tokoh masyarakat lain-- untuk menghentikan kampanye
anti-Ahmadiyah. Mereka lantas menerbitkan sebuah iklan satu halaman, pada 30
Mei 2008, di beberapa suratkabar Jakarta. Judulnya, “<a href="http://andreasharsono.blogspot.com/2008/05/mari-pertahankan-indonesia-kita.html"><span style="color: blue;">Mari Pertahankan Indonesia Kita</span></a>.” Ia juga berupa
undangan apel akbar pada 1 Juni 2008 di Monumen Nasional. Mereka menamakan
persekutuan itu Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
(AKKBB). <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<i><span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Indonesia menjamin tiap warga bebas
beragama. Inilah hak asasi manusia yang dijamin oleh Konstitusi.<br />
Ini juga inti dari asas Bhineka Tunggal Ika, yang menjadi sendi ke-indonesia-an
kita.<br />
Tapi belakangan ini ada sekelompok orang yang hendak menghapuskan hak asasi itu
dan mengancam ke-bhineka-an. Mereka juga mengatasnamakan umat Islam untuk
menyebarkan kebencian dan ketakutan di masyarakat. <br />
Bahkan mereka menggunakan kekerasan, seperti yang terjadi terhadap penganut
Ahmadiyah yang sudah sejak 1925 hidup di Indonesia dan berdampingan damai
dengan umat lain.<br />
Pada akhirnya mereka akan memaksakan rencana mereka untuk mengubah dasar negara
Indonesia, Pancasila, mengabaikan Konstitusi, dan menghancurkan sendi
kebersamaan kita.<br />
Kami menyerukan, agar Pemerintah, para wakil rakyat, dan para pemegang otoritas
hukum, untuk tidak takut kepada tekanan yang membahayakan ke-indonesia-an itu.<br />
Marilah kita jaga Republik kita.<br />
Marilah kita pertahankan hak-hak asasi kita.<br />
Marilah kita kembalikan persatuan kita.<br />
</span></i><span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;"><br />
Ternyata apel 1 Juni 2008 berubah menjadi peristiwa berdarah. Puluhan milisi
berbendera Islam –termasuk Front Pembela Islam, Laskar Mujahidin, Gerakan
Reformasi Islam—menggunakan kekerasan untuk membubarkan apel tersebut. Mereka
kelihatannya dipimpin Munarman, seorang pengacara, aktivis Hizbut Tahrir serta
mantan murid Buyung di YLBHI. Munarman disebut “panglima” para laskar itu.
Mereka menyerang dan memukul puluhan warga Ahmadiyah dan aktivis AKKBB di
Monumen Nasional. Peristiwa ini diliput besar-besaran oleh televisi. Saya
melihat Ahmad Suaedy, direktur Wahid Institute, dipukul mukanya dengan sebilah
bambu. Tahir Ahmad, seorang warga Ahmadiyah, menderita gegar otak. Puluhan ibu
Ahmadiyah lari dari sergapan laskar.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Belakangan Munarman ditangkap polisi.
Polisi juga menangkap Habib Rizieq Syihab dari Front Pembela Islam dengan
tuduhan menghasut dan menyebarkan kebencian. Oktober 2008, pengadilan Jakarta
Pusat menghukum Munarman 1.5 tahun penjara karena tindakan kekerasan. Rizieq
Syihab juga dihukum 1.5 tahun dan mengajukan banding. Pengacaranya, Mirza
Zulkarnaen, mengatakan Rizieq Shihab tak pernah menganjurkan kepada anak
buahnya untuk melakukan tindakan rusuh di Monumen Nasional. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Sebagai penasihat presiden, Buyung
bertemu langsung dengan Presiden Yudhoyono. Buyung menjelaskan bahaya kalau
Ahmadiyah dibubarkan. “Ahmadiyah ini satu keyakinan orang, walaupun mereka
berbeda akidah dengan Islam lainnya, tapi itu urusan internal teologi Islam.
Bukan bidang pemerintah. Tiap agama secara teologis di dalamnya ada perbedaan.
Lihat di Katolik berapa banyak sekte di Katolik? Lihat di Protestan, berapa
banyak sekte-sekte? Jadi tidak bisa kita mengadili, mengatakan ini yang paling
benar. Karena itu saya bilang tidak boleh ini terjadi.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">“Alhamdulillah Presiden memahami. Jika
satu ini diizinkan, besok mereka menuntut lebih hebat lagi. Habis semua
dibabat.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Yudhoyono sepakat, “Oke, Bang Buyung,
saya setuju tidak boleh keluar larangan.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Namun Yudhoyono minta Buyung bicara
dengan ketiga menteri itu. Pertemuan pun diselenggarakan oleh Menteri
Sekretaris Negara Hatta Radjasa, sebagai moderator. Maka berdebatlah Buyung
dengan tiga menteri, selama tiga atau empat jam. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">“Kita kan mendirikan satu negara, satu
tanah air, satu bahasa, tidak negara Islam. Dan itu mesti baca di Konstituante,
perdebatan yang paling lengkap. Tapi periode 1956-1959 itu oleh Soekarno
dianggap jelek kan? Periode zaman demokrasi liberal. Jadi nggak ada yang bagus,
semua buruk, termasuk Konstituante. Saya memberi perhatian Konstituante sebagai
topik perdebatan. Jadi kalau baca di situ penolakan terhadap negara Islam itu
kuat sekali. Pada waktu voting, partai Islam yang mendukung itu kalah terhadap
yang lain-lainnya: Islam, Kristen, nasionalis, apapun semua menolak. Dan
penolakan itu terjadi juga kemarin pada waktu amandemen UUD 1945. Ada lagi usaha
yang mau masukkan Piagam Jakarta, ditolak lagi.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Buyung mengacu pada perdebatan dalam
sidang-sidang Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan Republik Indonesia, atau
Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai, pada Mei-Agustus 1945 dimana ada diskusi soal
pilihan dasar negara Indonesia: Islam atau sekulerisme atau Pancasila. Pada 18
Agustus 1945, dicapai kompromi dengan menghilangkan tujuh kata soal syariah
Islam pada pembukaan UUD 1945. Komprominya, Pancasila. Kompromi sementara
karena diskusi tak bisa tuntas berhubung sedang masa gawat, pasca Perang Dunia
II, kerajaan Belanda ingin mengambil alih Hindia Belanda dari tangan Jepang.
Padahal Soekarno dan Moh. Hatta sudah menyatakan kemerdekaan Indonesia. Pada
1949, Belanda menyerahkan kedaulatan Hindia Belanda kepada Republik Indonesia
Serikat. Debat ini dilanjutkan pada sidang-sidang Konstituante 1956-1959. Ia
juga tak tuntas karena Presiden Soekarno membubarkan Konstituante. Buyung
menulis soal perdebatan ini pada thesis di Universitas Uthrect. Pada 1999, saat
sidang umum MPR, sekali lagi isu syariah Islam ini muncul. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Singkatnya, ketiga menteri itu
menerima pendirian Buyung. Persoalannya, keputusan kabinet sudah terlanjur
keluar. Surat keputusan tetap harus keluar. Maka mereka sepakat bikin surat
keputusan tapi tidak membubarkan Ahmadiyah. Namun Ahmadiyah tak boleh
menyebarkan siar ajaran mereka di luar masyarakat Ahmadiyah. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Saya ingat apa yang dikatakan Syaeful
Uyun. Menurut Uyun, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sebenarnya toleran
terhadap Ahmadiyah. “Amien Rais sangat toleran terhadap Ahmadiyah. Syafii
Maarif juga begitu,” katanya. “Nahdlatul Ulama, secara kelembagaan juga begitu,
tapi ada person-person NU, termasuk Ma’ruf Amin, yang anti-Ahmadiyah. Sahal
Mahfudz, ketua MUI, tidak begitu. NU sangat toleran. Gus Dur bahkan membela
Ahmadiyah.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Menurut analisis Uyun, organisasi yang
paling anti Ahmadiyah adalah Hizbut Tahrir. Uyun berpendapat Hizbut Tahrir
ingin menggiring warga Muslim di Indonesia untuk mendirikan negara Islam. Isu
Ahmadiyah hanya dijadikan kendaraan Hizbut Tahrir untuk membuat “umat Islam” di
Pulau Jawa dan sekitarnya lebih radikal. “Kalau pemerintah Yudhoyono tak
waspada, sekarang eksistensi Indonesia sebagai negara-bangsa riskan. Konsep
khilafah HTI sama dengan yang di Turki.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">“Indonesia sejak awal berdiri telah
sepakat didirikan sebagai negara-bangsa dan didirikan di atas segala macam
perbedaan –suku, agama, kepercayaan, adat istiadat. Oleh karena itu Indonesia
punya filsafah, Bhinneka Tunggal Ika.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">“Orang Turki sendiri tidak
mengharapkan khilafah. Kok orang Indonesia yang gegap gempita!” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">SK Ahmadiyah muncul pada 9 Juni 2008,
seminggu sesudah penyerangan di Monumen Nasional. Menteri Dalam Negeri
Mardiyanto, Menteri Agama Maftuh Basyuni dan Jaksa Agung Hendarman Supanji
mengumumkan SK No. 3 Tahun 2008 tentang “Peringatan dan Perintah kepada
Penganut, Anggota dan/atau Pengurus Jemaah Ahmadiyah Indonesia.” Isinya,
memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga Ahmadiyah untuk menghentikan
“penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran
agama Islam.” Hukuman penjara maksimal lima tahun diberikan kepada orang yang
melanggar SK tersebut. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Human Rights Watch dari New York
protes. Mereka mengingatkan bahwa Indonesia sudah meratifikasi International
Covenant on Civil and Political Rights pada Februari 2006. Artinya, Indonesia
setuju dengan semua isi traktat internasional itu. Pasal 18 dari traktat itu
menyebut, “<i>No one shall be subject to coercion which would impair his
freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice</i>.” Pasal 27
menyebut, “… <i>persons belonging to ... minorities shall not be denied the
right, in community with the other members of their group, to enjoy their own
culture, to profess and practice their own religion</i>.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">SK No. 3 Tahun 2008 secara tersurat
melanggar International Covenant on Civil and Political Rights. Ia juga
melanggar Undang-undang Dasar 1945 pasal 28E. Bunyinya, "Setiap orang
bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya .... Setiap orang berhak
atas kebebasan menyakini kepercayaan ... sesuai hati nuraninya." <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Sidney Jones dari International Crisis
Group menyatakan, “<i>The Yudhoyono government made a serious error in 2005 by
inviting MUI to help shape policy. It opened the door for hardline groups to
press for greater state intervention to define orthodoxy and legislate morality</i>.”
<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Adnan Buyung Nasution mengatakan dia
sudah berusaha maksimal dari dalam sistem pemerintahan Yudhoyono guna mencegah
makin merendahnya tembok antara agama dan negara. Dia berpendapat bila SK
Ahmadiyah dianggap melanggar traktat internasional dan UUD 1945, dia melihat
ada dua jalan hukum: warga sendiri bisa bertindak, melakukan class-action, <i>citizen
lawsuit</i>, menggugat Menteri Dalam Negeri atau langsung ke Mahkamah Agung. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">“Mudah-mudahan pemerintah yang baru
lebih tegas,” katanya.<o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;">
<span lang="IN"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEilJ-9syXHn5Ri6ISB7Tf6GClgdQkpeqJVJX1NHfwbHbvlOLUiLLCpDYWknFGiXoHa9eTMTQSH1RVSeR_JMEsgaeAK-fZaIDB7z-2UYYlvyGeHZYu5xZTmL_z6Y3NFf6R69-mHAhUF0NJs/s1600-h/Ahmadiyah_dua_perempuan_di_Transito_Mataram%5B1%5D"><span lang="EN-US" style="color: blue; font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; text-decoration: none; text-underline: none;"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="BLOGGER_PHOTO_ID_5440327632961126194"
o:spid="_x0000_i1028" type="#_x0000_t75" alt="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEilJ-9syXHn5Ri6ISB7Tf6GClgdQkpeqJVJX1NHfwbHbvlOLUiLLCpDYWknFGiXoHa9eTMTQSH1RVSeR_JMEsgaeAK-fZaIDB7z-2UYYlvyGeHZYu5xZTmL_z6Y3NFf6R69-mHAhUF0NJs/s400/Ahmadiyah_dua_perempuan_di_Transito_Mataram%5B1%5D"
style='width:300pt;height:247.5pt;visibility:visible' o:button="t">
<v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\ADMINI~1\LOCALS~1\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image004.jpg"
o:title="Ahmadiyah_dua_perempuan_di_Transito_Mataram%5B1%5D"/>
</v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img alt="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEilJ-9syXHn5Ri6ISB7Tf6GClgdQkpeqJVJX1NHfwbHbvlOLUiLLCpDYWknFGiXoHa9eTMTQSH1RVSeR_JMEsgaeAK-fZaIDB7z-2UYYlvyGeHZYu5xZTmL_z6Y3NFf6R69-mHAhUF0NJs/s400/Ahmadiyah_dua_perempuan_di_Transito_Mataram%5B1%5D" border="0" height="330" src="file:///C:/DOCUME~1/ADMINI~1/LOCALS~1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image004.jpg" v:shapes="BLOGGER_PHOTO_ID_5440327632961126194" width="400" /><!--[endif]--></span></a></span><i><span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;"><o:p></o:p></span></i></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;">
<i><span style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Para pengungsi
Ahmadiyah di Transito, satu bangunan pemerintah di Mataram. Ukuran tempat
tinggal mereka adalah dua meja per keluarga. Dapur ada di luar ruang. Mereka
punya tanah dan rumah di Gegerung namun tak bisa menempati hak tersebut </span></i><span style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">IV<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;"><br />
<b>PADA MARET 2009,</b> selama dua minggu, saya mengunjungi para pengungsi
Ahmadiyah di Transito, satu bangunan pemerintah di Mataram. Ia terletak di
sebuah jalanan sepi. Depan Transito ada warung kecil, jualan kopi, teh, soda,
biskuit, sabun, minyak kayu putih, pisau cukur, kacang goreng. Cidomo terlihat
hilir mudik. Namanya, Jalan Transmigrasi. Di depan Transito ada perusahaan
percetakan Agil Akbar Grafindo merangkap kantor harian umum Warta NTB. Juga ada
papan nama PT Windu Sarana Development: mengirim TKI ke Hong Kong, Singapura,
Malaysia. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Nama daerah ini adalah Majeluk.
Asalnya, dari kata Sasak “jeluk” atau “jemur.” Zaman Jepang, Majeluk adalah
tempat tahanan-tahanan mati disiksa dan dijemur. Ada pohon waru, pohon akasia,
pohon ketapang yang mekar, tempat berteduh. Asrama Transito dibangun pada 1974
untuk calon transmigran Sasak, guna dikirim ke Kalimantan, Papua, Sulawesi dan
Sumbawa. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">“Daerah Majeluk ini aman. Dulu ada
yang mau bikin kisruh tapi kita itu sama-sama manusia. Apapun tingkah laku, itu
urusan dia. Kampung Majeluk ini tidak mau rusuh apapun,” kata Mohammad Achir,
warga Majeluk, seorang sopir truk. “Orang-orang Ahmadiyah paling aman disini.
Tidak ada yang mau mengusir,” katanya. Di Majeluk juga ada beberapa rumah orang
Hindu. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Di dalam, saya bertemu Nur Hidayati.
Dia menunjukkan saya tempat tinggalnya. Kamar hanya untuk orang dewasa,
anak-anak dan gadis. Kamar mereka masing-masing hanya seukuran dua bangku.
Sekat kamar dari kain sarung, yang dibuka jahitannya. Anak lelaki yang sudah
besar, tidur di musholla. Dapur terletak di luar bangunan. Ada sebuah ruang
dipakai sebagai musholla. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Nur Hidayati sendiri seorang perempuan
muda, umur 20 tahun. Dia baru menikah tujuh bulan, dengan Abdullah, sesama
pengungsi dan tukang cukur rambut. Ketika remaja, rumah Nur di Selong, Lombok
Timur, dibakar. Mereka diusir. Pengurus Ahmadiyah memutuskan memindahkan semua
anak-anak Ahmadiyah ke tanah Priangan di Pulau Jawa. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Pertimbangannya, sekolah mereka tetap
jalan sementara orang tua mereka mengatur kehidupan yang porak-poranda. Nur
mengatakan sebuah bus Safari Dharma Raya, penuh dengan anak, membawa mereka ke
Priangan. “Kami ditempatkan di keluarga-keluarga Ahmadiyah di Tasikmalaya,”
katanya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Namun, banyak anak yang tak kerasan.
Ada yang tidak naik kelas. Jauh dari orang tua dan perbedaan budaya, bahasa
Sunda dan bahasa Sasak, membuat mereka perlu waktu guna adaptasi. Nur dijemput
orang tua dan kembali ke Mataram. Dia melanjutkan sekolah di SMP dan SMA
Muhammadiyah, Mataram. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">“Kami tidak eksklusif. Buktinya? Saya
sekolah di Muhammadiyah. Dibilang selalu menyendiri, itu karena mereka tidak
lihat kesini. Kami selalu terbuka. Tuan Guru Anwar … Maulud Nabi kemarin beliau
kesini,” katanya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Khairuddin, pengungsi asal Selong,
cerita bahwa dua dari tiga anaknya lahir di pengungsian. Isterinya hamil muda
saat mereka diusir dari Selong. Anak pertama, Hafiz Qudratullah, mengalami
trauma. Pelajaran turun drastis. Hafiz sempat tak naik kelas. Dia sering
melamun, kadang teriak, “Orang jahat. Orang jahat. Mengapa rumah dibakar?” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Anak kedua, Rafiq Wahyu Ahmadi, sering
bermimpi, “Orang jahat dobrak pintu dan teriak, ‘Serbu, serbu.’ Kalau tidak
cerita, Rafiq menangis, tapi kalau sudah cerita, dia jadi tenang,” kata
Khairuddin. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Saya sedih melihat anak-anak Ahmadiyah
yang sudah 5-10 tahun hidup dalam pengungsian. Syahidin dari Bayan mengatakan
ada 10 bayi lahir di Transito sejak pengusiran dari Gegerung, “Anak bungsu saya
diberi nama Muhammad Khatamann Nabiyin … juga lahir di Transito.” Syahidin
menerangkan bahwa dalam bahasa Arab, khatam artinya pemungkas. Nabiyin artinya
nabi. Muhammad Khatamann Nabiyin berarti Muhammad adalah nabi pamungkas. Ini
menegaskan bahwa kaum Ahmadiyah mengganggap Nabi Muhammad sebagai nabi
pamungkas. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">Ketika hendak meninggalkan Transito,
saya tanya pada Nur Hidayati bagaimana rasanya hidup delapan tahun di
pengungsian, tumbuh besar dalam ketakutan. Dia terdiam. Kami melihat anak-anak
lelaki riuh main sepak bola di halaman Transito. Nur lantas menjawab lirih,
“Apa yang dirintis orang tua memang hilang: harta, rumah, tanah. Tapi ini tidak
menggoyahkan iman kami.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">“Iman kami tidak goyah.”<o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;">***<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<i><span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: no;"><a href="http://www.icfj.org/News/tabid/210/ctl/Details/mid/9050/ItemID/1704/Default.aspx"><span style="color: blue;">Jamila Trindle</span></a>, seorang wartawan televisi
Philadelphia, Lexy Rambadeta dari Offstream, serta Andreas Harsono, pergi ke
Pulau Lombok guna meliput para pengungsi Ahmadiyah pada Maret 2009. Liputan
diadakan oleh International Center for Journalists serta disponsori Carnegie
Corporation. Naskah ini, dalam bentuk lebih singkat, dimuat majalah Gatra
"<a href="http://gatra.com/2010-02-15/majalah/beli.php?pil=23&id=135074"><span style="color: blue;">Mereka Yang Teraniaya dan Terusir</span></a>" pada
Februari 2010. Andreas Harsono ikut menandatangani petisi Aliansi Kebangsaan
untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan.<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<br /></div>
<!--EndFragment-->
� /-e b �
bersenjata yang serius. Penduduk Papua juga menuntut kemerdekaan. Selain itu
Habibie masih harus menghadapi tuduhan sebagai orang yang melindungi Suharto
dari tangan hukum. <o:p></o:p><br />
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Pada Oktober 1999 Habibie kalah suara dari Abdurrahman Wahid dalam
pemilihan presiden. Indonesia memasuki masa demokratisasi yang jauh lebih
kompleks. Wahid berupaya keras mendorong program demokratisasi. Ia memecat
jenderal-jenderal nakal bahkan menjanjikan referendum di Aceh. Ia bicara dengan
para pemberontak melalui telepon dan mendengarkan keluhan mereka. Wahid
bertahan 20 bulan sebelum ia diberhentikan dari kursi kepresidenan pada Juli
2001. Wahid seorang cendekiawan liberal dan aktivis pro-demokrasi, tapi bukan
seorang manajer yang baik. Wakilnya, Megawati Soekarnoputri, mengambil alih
kendali. Hamzah Haz, ketika itu menjabat menteri, menjadi wakil presiden. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Apa yang bermula sebagai protes terhadap privatisasi kemudian
mengerucut menjadi persoalan gaji. Presiden Wahid memutuskan kenaikan gaji pegawai
negeri saat ia menjabat. Karyawan PAM Jaya memandang diri mereka “pegawai
negeri.” Tapi setelah mereka bekerja untuk RWE Thames Water dan Ondeo Service,
mereka sadar bahwa penghasilan mereka sekitar 30 persen lebih rendah
dibandingkan dengan gaji kolega mereka yang masih bekerja untuk PAM Jaya. “Kami
baru sadar itu ada sekitar 200 yang masih kerja di PAM Jaya lebih enak mereka,”
ujar Napitupulu. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Demonstrasi yang terus-menerus bagaimana pun juga mengganggu manajemen
konsorsium. Pada periode tersebut, kalau Anda mengunjungi kantor PAM Jaya di
mana pun, Anda akan melihat suasana kerjanya mencemaskan. Ada karyawan yang mau
bekerja dengan manajemen baru namun lebih banyak lagi yang bekerja sejauh
mereka tak melanggar hukum. Sutiyoso belakangan memecat Rama Boedi. Alasannya
tak jelas. Banyakyang menduga lantaran Rama tak mendukung privatisasi dan
diam-diam memberi angin pada para demonstran. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Pihak konsorsium juga mendapat masalah baru dengan munculnya DPRD yang
lebih bertaring. Bulan Desember 1999, Edy Waluyo, ketua DPRD Jakarta,
melayangkan surat pada Sutiyoso, menyampaikan bahwa perundingan ulang dengan
konsorsium hanya bisa dilaksanakan sampai Februari 2000, “Jika negosiasi tak
bisa selesai per 1 Februari 2000, kerja sama harus dibatalkan.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Buru-buru Sutiyoso mendesak orang-orangnya untuk mempercepat proses
perundingan. Tim baru bergerak lebih cepat sekaligus membujuk DPRD untuk
meredam tuntutannya. Di sisi lain, Sutiyoso juga menolak permintaan konsorsium
agar ia mengusulkan kenaikan tarif air. Air adalah isu politik yang peka. Orang
bisa hidup tanpa listrik, tanpa telepon, atau tanpa jalanan mulus, tapi tanpa
air mereka akan menderita sekali. Sutiyoso enggan memancing kemarahan rakyat
selagi dirinya, sebagai kaki tangan Suharto, masih digugat banyak orang. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Pada 28 Februari 2000, ketika sudah jelas bahwa perundingan tak mungkin
tuntas, Edy Waluyo melayangkan surat lagi, memberi Sutiyoso tambahan waktu.
Ternyata perundingan berjalan jauh lebih lambat. Sutiyoso terpaksa setuju
menaikkan tarif air sebesar 35 persen pada April 2001. Perundingan kedua
ternyata sama panjangnya seperti yang pertama. Baru pada 22 Oktober 2001
kontrak kedua, ditandatangani oleh PAM Jaya dan pihak swasta. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Kedua perusahaan internasional pun berganti nama. Sembilan puluh lima
persen saham PT Thames PAM Jaya maupun PT PAM Lyonnaise Jaya dimiliki
perusahaan induk mereka di London dan Paris. Dua perusahaan Indonesia,
masing-masing PT Terra Metta Phora dan PT Bangun Cipta Sarana, hanya punya hak
saham lima persen. Kedua pemegang saham minoritas asal Indonesia ini adalah
sub-kontraktor dari kedua konsorsium. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Kontrak kedua mencakup 13 perubahan besar. Semula masing-masing
konsorsium swasta memiliki kontrol atas rekening escrow. Mereka dapat menarik
uang dari rekening tersebut tanpa persetujuan PAM Jaya. Prioritas penggunaan
rekening adalah untuk biaya operasi pihak swasta. Mulanya, PAM Jaya juga tak
dapat menelaah laporan keuangan pihak swasta. Kini semua itu berubah. Sebuah
badan regulator dibentuk. Ketuanya tak lain adalah Achmad Lanti, pensiunan
pegawai negeri, yang dulunya terlibat dalam perundingan pertama. <o:p></o:p></span></div>
<div style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 0in;">
<strong><span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Perbedaan antara kontrak tahun 1997 dan 2001</span></strong><span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;"> <o:p></o:p></span></div>
<table border="1" cellpadding="0" cellspacing="0" class="MsoNormalTable" style="mso-cellspacing: 0in; mso-padding-alt: 0in 0in 0in 0in;">
<tbody>
<tr style="mso-yfti-firstrow: yes; mso-yfti-irow: 0;">
<td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 83.25pt;" valign="top" width="111">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<br /></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 166.5pt;" valign="top" width="222">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Juni 1997<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 162.75pt;" valign="top" width="217">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Oktober 2001<o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 1;">
<td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 83.25pt;" valign="top" width="111">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Sumur dalam<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 166.5pt;" valign="top" width="222">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">PAM Jaya bertanggung jawab menutup sumur dalam yang
banyak dipakai oleh hotel dan pabrik di Jakarta. <o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 162.75pt;" valign="top" width="217">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Konsorsium menutup sumur dalam bekerja sama dengan
dinas pertambangan dan energi.<o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 2;">
<td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 83.25pt;" valign="top" width="111">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Pembelian<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 166.5pt;" valign="top" width="222">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Tender terbuka untuk pembelian di atas US$ 5 juta.
Kontraktor kecil dan mengenah PAM Jaya merasa dirugikan.<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 162.75pt;" valign="top" width="217">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Tender terbuka di atas Rp 500 juta (sekitar $50,000
dengan nilai tukar saat itu).<o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 3;">
<td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 83.25pt;" valign="top" width="111">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Pasokan air baku<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 166.5pt;" valign="top" width="222">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">PAM Jaya bertindak sebagai pemasok air baku ke
konsorsium, jika PAM Jaya tak mampu melakukannya, pihak konsorsium bisa
mencari air baku dari sumber lain dan PAM Jaya harus membayar selisih harga.<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 162.75pt;" valign="top" width="217">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Pihak swasta berurusan langsung dengan Perum Jasa
Tirta, PDAM, Tangerang, dan PDAM Bogor, yang biasa memasok air baku ke
Jakarta. Pihak swasta harus membayar PAM Jaya selisih harga yang dulu dibayar
PAM Jaya ke pihak swasta antara 1 Februari 1998 dan penandatanganan kontrak
baru (Oktober 2001).<o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 4;">
<td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 83.25pt;" valign="top" width="111">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Karyawan <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<br /></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 166.5pt;" valign="top" width="222">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Karyawan PAM Jaya tetap berstatus pegawai negeri
namun dipinjamkan ke konsorsium <o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 162.75pt;" valign="top" width="217">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Karyawan PAM Jaya jadi karyawan konsorsium .Sebuah
panel untuk mengurus sengketa perburuhan akan dibuat. <o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 5;">
<td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 83.25pt;" valign="top" width="111">
<h2 style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 0in;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-fareast-language: EN-US;">Supervisi</span><span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;"><o:p></o:p></span></h2>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 166.5pt;" valign="top" width="222">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">PAM Jaya tak bisa mengambil data dari pihak swasta,
tak ada sanksi yang jelas bila pihak swasta tak memenuhi target, juga tak
jelas siap yang melakukan supervisi terhadap konsorsium, hanya auditor
independen yang bisa memeriksa keuangan konsorsium <o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 162.75pt;" valign="top" width="217">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Supervisi PAM Jaya tak bisa mengambil data dari
pihak swasta, tak ada sanksi yang jelas bila pihak swasta tak memenuhi
target, juga tak jelas siap yang melakukan supervisi terhadap konsorsium,
hanya auditor independen yang bisa memeriksa keuangan konsorsium Sebuah badan
regulator dibentuk dan bersama PAM Jaya, mereka bisa memeriksa keuangan pihak
swasta, ada sanksi dan penalti bila pihak swasta tak memenuhi atau terlambat
memenuhi berbagai ketentuan.<o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 6;">
<td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 83.25pt;" valign="top" width="111">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<i><span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Escrow account</span></i><span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;"><o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 166.5pt;" valign="top" width="222">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Pihak swasta bisa mengambil uang dari rekening
bersama tanpa persetujuan PAM Jaya. Prioritas penggunaan escrow account ada
pada biaya operasi konsorsium <o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 162.75pt;" valign="top" width="217">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Pihak swasta bisa mencairkan uang dengan persetujuan
PAM Jaya dan prioritas adalah membayar utang PAM Jaya <o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 7;">
<td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 83.25pt;" valign="top" width="111">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Imbalan air (water charge) <o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 166.5pt;" valign="top" width="222">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Harga imbalan air naik otomatis tiap enam bulan
dengan persetujuan DPRD Jakarta, dan jika ada keterlambatan, selisihnya harus
dibayar PAM Jaya, dan tak ada sistem untuk mengingatkan PAM Jaya bila bakal
ada selisih <o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 162.75pt;" valign="top" width="217">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Tarif air direkomendasikan oleh PAM Jaya maupun
pihak swasta kepada Badan Regulator. Badan Regulator inilah yang akan
berurusan dengan DPRD Jakarta dalam menaikkan tarif air. Selisih sebelumnya
akan diaudit oleh BPKP dan pihak swasta harus membayar PAM Jaya <o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 8;">
<td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 83.25pt;" valign="top" width="111">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Perselisihan <o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 166.5pt;" valign="top" width="222">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Mekanisme tiga tingkat: musyawarah, mediasi oleh pakar,
dan pengadilan internasional di Singapura <o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 162.75pt;" valign="top" width="217">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Mekanisme empat tingkat: musyawarah, mediasi oleh
Badan Regulator, mediasi oleh para pakar, dan pengadilan baik di Jakarta atau
Singapura <o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 9; mso-yfti-lastrow: yes;">
<td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 83.25pt;" valign="top" width="111">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;"> Badan Regulator <o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 166.5pt;" valign="top" width="222">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">PAM Jaya melakukan supervisi terhadap pihak swasta <o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 162.75pt;" valign="top" width="217">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">PAM Jaya dan Badan Regulator melakukan supervisi <o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Sumber: Kontrak tahun 1997 dan 2001 antara PAM Jaya dan konsorsium
swasta.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Namun bagi karyawan PAM Jaya, kontrak kedua lebih merugikan mereka.
Kontrak ini menyatakan bahwa hanya ada “status tunggal” bagi karyawan. Mereka
harus memilih: jadi pegawai konsorsium atau menerima “golden hand shake”
–istilah halus untuk pemecatan. Dengan kata lain, kontrak kedua ini bisa
menjadi dasar pemecatan besar-besaran. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">“Saya mulai curiga ketika melihat status kerja,” kata Efendy
Napitupulu. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Bernard Lafrogne mengatakan bahwa pada 1998 mereka mulai beroperasi
dengan nisbah 7,72 pekerja per 1.000 sambungan air. Pada 2001 nisbah tersebut
turun jadi 4,71 pekerja. “Jika kita lihat pada Malaysia atau Manila, sekitar
tiga orang saja sudah cukup, perusahaan akan lebih efisien.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Taufik Sandjaja menjelaskan, jumlah pegawai telah turun dari 3.000
menjadi 2.200 pada Desember 2003, seraya menambahkan bahwa setengah dari mereka
yang memilih meninggalkan PAM Jaya terpaksa mengambil uang pesangon. Namun
1.110 dari 2.200 yang tertinggal itulah yang mengajukan gugatan hukum melawan
PAM Jaya dan konsorsium. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Dalam wawancara dengan para aktivis di kantor kecil mereka di Buaran,
saya bertanya, “Mana dari kedua operator tersebut yang lebih baik?” Ini memang
bukan pertanyaan mudah karena kedua perusahaan bekerja sama dengan erat dan
berkomunikasi secara rutin. Tapi para aktivis itu rata-rata menyatakan PT PAM
Lyonnaise Jaya lebih memahami budaya lokal daripada PT Thames PAM Jaya milik
RWE Thames Water. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Saya bertanya apa beda Thames Water dulu dengan manajemen RWE Thames
Water sesudah merger? “Ada kemajuan sejak mereka dengan RWE. Masih pola lama,
tapi mereka berusaha membentuk satu komunitas di karyawan, dikondisikan agar
mau bekerja sama dalam menunjang policy kepegawaian. Misalnya, alih status dari
karyawan PAM menjadi karyawan mereka. Buntutnya rasionalisasi. Ujung-ujungnya
rasionalisasi,” kata Taufik, yang berstatus tenaga pemasaran PT PAM Lyonnaise
Jaya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Ponimin, aktivis SPAI yang lain, mengatakan bahwa tak banyak kebijakan
yang berubah. Itulah alasan mereka melancarkan gugatan hukum. “Ini ide kita
semua. Semua sudah kita lewati, Departemen Tenaga Kerja, Gubernur dan
sebagainya. Untuk mencari keadilan, kami masuk ke pengadilan, untuk dapat
kekuatan hukum. Dulu ada Foska PAM Jaya tapi sifatnya lobby-lobby saja. Ada
jawaban, tapi ya cuma omongan. Lalu kita bikin SPAI,” kata Ponimin. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Persoalan tak berpusar pada tarik urat leher semata. Ada juga tawaran
yang menggiurkan. Taufik menyodorkan sebuah contoh. Satu kali ia “ditawari”
memimpin bagian perburuhan PT Thames PAM Jaya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">“Saya tolak tentu,” katanya, “Itu khan namanya berkhianat?” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Dari Buaran, saya punya kesan yang campur aduk tentang Napitupulu dan
rekan-rekannya. Bagaimana pun mereka berjuang untuk sebuah cita-cita, yang
mungkin tak sepenuhnya bisa dimengerti orang, terutama mereka yang berada di
Bank Dunia atau perusahaan air, tapi saya melihat mereka banyak berkorban untuk
cita-cita mereka. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">RHAMSES </span></b><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US;">SIMANJUNTAK BEKERJA</span></b><span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US;"> </span><span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">dari sebuah ruang yang
lapang di lantai 29 gedung Danamon Aetna di Jalan Sudirman, kawasan bisnis
paling mahal di Jakarta. Ia seorang lelaki paruh baya dengan rambut keperakan
dan badan besar. Ketika saya menemuinya Desember lalu, ia sedang bekerja dengan
laptop mungilnya di meja kerja yang tertata rapi. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">“Duduk dulu. Saya selesaikan pekerjaan sedikit,” katanya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Simanjuntak adalah salah seorang tokoh yang paling berpengaruh untuk
urusan air bersih di Jakarta. Ia direktur PT Thames PAM Jaya yang mengurusi
“external relations and communication”. Artinya, ia orang Thames Water yang
bertugas menghadapi DPRD Jakarta, pejabat PAM Jaya, orang Badan Regulator, para
aktivis, juga wartawan seperti saya. Ia satu-satunya orang Indonesia yang duduk
di dewan direksi konsorsium tersebut. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Dulu Simanjuntak seorang akuntan. Pada Agustus 1996 ia memutar haluan
yang mengubah seluruh jalan hidupnya. Ia memutuskan bergabung dengan PT
Kekarpola Thames Airindo. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">“Ya, saya cuma cari pekerjaan dan bergabung di sini. Biasa saja,” kata
Simanjuntak, seraya menambahkan bahwa ia serta merta ikut mempersiapkan
privatisasi PAM Jaya. Simanjuntak banyak membantu Fachry Thaib, orang
kepercayaan Sigit, dalam melakukan perhitungan privatisasi. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Ia juga saksi mata pengambilalihan PAM Jaya pada Februari 1998, juga
saksi krisis ekonomi yang kemudian memuncak seiring kejatuhan Presiden Suharto.
Namun, Simanjuntak bisa tetap bercokol di posisinya saat orang Indonesia lain,
termasuk Fachry dan Iwa Kartiwa, harus angkat kaki dari bisnis air ini. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Efendy Napitupulu mengatakan bahwa Simanjutak menanjak dari yang
tadinya “naik Mikrolet” menjadi naik “Land Cruiser” yang mahal. Menurut Budi
Saroso, mantan rekan Simanjuntak di PT Kekar Thames Airindo, yang ikut
terpental dari perusahaan itu sesudah jatuhnya Suharto, “Rhamses tidak join
(proyek) dari awal. Dia gabung di tengah-tengah perundingan. Keahliannya
finance. Tapi dia kerja untuk Thames, tidak pada kita, karena masalah keuangan
ada pada Thames.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Simanjuntak menerangkan panjang lebar pada saya bahwa RWE Thames Water
punya komitmen jangka panjang di Indonesia, dengan mengatakan bahwa proyek air
bersih di Jakarta ini adalah satu-satunya proyek Thames Water di Indonesia.
Mereka ingin bisnis ini berhasil. “Bahkan saat krisis ekonomi dan politik,
komitmen Thames Water tetap terjaga,” katanya. Thames Water terus
mempertahankan komitmen mereka di Jakarta sejak kontrak 1997. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Simanjuntak mengatakan, RWE Thames Water punya bisnis lain di kawasan
ini, yang dikendalikan baik dari Singapura maupun Australia, tapi nilainya
relatif kecil dibandingkan dengan modal pada PT Thames PAM Jaya. Sejak 1997
perusahaannya telah menanamkan modal sebesar Rp 434 milyar dan berencana untuk
menanamkan lebih banyak lagi sampai di atas Rp 1 trilyun pada 2007 nanti. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Ketika saya bertanya mengapa Thames Water awalnya bekerja sama dengan
Sigit Harjojudanto dan memanfaatkan pengaruh Sigit dalam perundingan, ia
langsung menepis dugaan adanya permainan. Ia mengatakan perundingan pertama itu
memang alot, “Kalau memang ada kemudahan, mengapa kita negosiasi hingga satu
tahun lebih?” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Lantas bagaimana menilai kinerja konsorsium ini? Hingga Desember 2003
atau bulan terakhir dari lima tahun pertama kontrak 25 tahun yang mereka
dapatkan, baik PT Thames PAM Jaya maupun PT PAM Lyonnainse Jaya, berhasil
melakukan konsolidasi terhadap sebagian besar jaringan PAM Jaya. Mereka secara
drastis memangkas jumlah karyawan. Mereka juga bekerja sama dengan BCA, bank
swasta terbesar Indonesia, untuk memberikan fasilitas pembayaran air pada para
pelanggan lewat ATM. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">RWE Thames Water sempat menghadapi masalah yang memalukan ketika proyek
bantuan Bank Dunia mereka di kawasan kumuh, Marunda, sebelah utara Jakarta,
berantakan. Pada Juli dan Agustus 2003, sejumlah warga Marunda mengadakan
demonstrasi atas buruknya layanan air di sana. Perusahaan Inggris-Jerman ini
awalnya berniat membangun jaringan distribusi pipa ke Marunda. Namun tekanan
air yang rendah dan kurangnya daya tekan pompa membuat air mengalir pelan ke
Marunda. Buntutnya, warga Marunda protes. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Menurut data Badan Regulator, baik RWE Thames Water dan Ondeo telah
meningkatkan sambungan air dari sekitar 428,764 pada 1997 ke hampir 650,000
pada Desember 2003. Cakupan layanan air bersih pun meningkat dari 43 persen
pada 1997 menjadi 53 persen pada 2003. Penjualannya juga meningkat dari 191
juta ke 255 juta meter kubik air. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Simanjuntak mengatakan PT Thames PAM Jaya secara khusus meningkatkan
sambungan di sebelah timur Jakarta dari 268,000 pada 1997 menjadi 320,000 pada
2001 dan kemudian 336,550 pada 2003. Artinya, terjadi peningkatan sebesar 26
persen dalam waktu lima tahun pertama. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Secara umum layanan jelas lebih baik, terutama untuk daerah-daerah
kelas menengah dan elit di Jakarta seperti Pondok Indah dan Kemang, tapi
perusahaan internasional tersebut gagal memenuhi target-target teknis
sebagaimana tertera dalam kontrak tahun 1997. Volume yang terjual pada bulan
Desember 2003 adalah 255 juta meter kubik air. Padahal targetnya 342 juta.
Mereka bisa melayani 53 persen penduduk Jakarta sementara targetnya adalah 70
persen. Mereka berhasil menekan tingkat air tak tertagih menjadi 47 persen,
sedang targetnya adalah 35 persen. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Achmad Lanti dari Badan Regulator mengatakan bahwa sekitar 40.000
sampai 45.000 dari total sambungan sekitar 650.000 memiliki layanan buruk,
mulai dari tak setetes pun air mengalir sampai tekanan air yang rendah seperti
di Marunda. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">“Kami dapat banyak laporan, air hanya mengalir dua atau tiga jam
sehari,” kata Lanti. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Pendek kata, dalam hal kualitas dan kuantitas, konsorsium gagal
memenuhi target. “Saya bilang pada mereka namun mereka membantah. Mereka tidak
percaya pada temuan Badan Regulator sehingga harus diundang tim pakar untuk
melakukan evaluasi,” lanjutnya. <o:p></o:p></span></div>
<div style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 0in;">
<strong><span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Perbandingan antara Target dan Pencapaian
(2003)</span></strong><span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;"> <o:p></o:p></span></div>
<table border="1" cellpadding="0" cellspacing="0" class="MsoNormalTable" style="mso-cellspacing: 0in; mso-padding-alt: 0in 0in 0in 0in;">
<tbody>
<tr style="mso-yfti-firstrow: yes; mso-yfti-irow: 0;">
<td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 96.0pt;" valign="top" width="128">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<br /></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 61.5pt;" valign="top" width="82">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Target<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 63.75pt;" valign="top" width="85">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">RWE Thames Water<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 63.75pt;" valign="top" width="85">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Ondeo Service<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 70.5pt;" valign="top" width="94">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Pencapaian<o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 1;">
<td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 96.0pt;" valign="top" width="128">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Jumlah sambungan<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 61.5pt;" valign="top" width="82">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">757,129<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 63.75pt;" valign="top" width="85">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">336,550<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 63.75pt;" valign="top" width="85">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">312,879<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 70.5pt;" valign="top" width="94">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">649,429<o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 2;">
<td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 96.0pt;" valign="top" width="128">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Cakupan pelayanan air bersih<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 61.5pt;" valign="top" width="82">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">70%<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 63.75pt;" valign="top" width="85">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">62.17%<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 63.75pt;" valign="top" width="85">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">44.17%<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 70.5pt;" valign="top" width="94">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">53.17%<o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 3;">
<td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 96.0pt;" valign="top" width="128">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Air tak tertagih (non revenue water)<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 61.5pt;" valign="top" width="82">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">35%<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 63.75pt;" valign="top" width="85">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">48.28%<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 63.75pt;" valign="top" width="85">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">45.3%<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 70.5pt;" valign="top" width="94">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">46.79%<o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 4; mso-yfti-lastrow: yes;">
<td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 96.0pt;" valign="top" width="128">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Volume terjual (juta m3)<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 61.5pt;" valign="top" width="82">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">342<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 63.75pt;" valign="top" width="85">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">128.96<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 63.75pt;" valign="top" width="85">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">126.2<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 70.5pt;" valign="top" width="94">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">255.16<o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Sumber: Kontrak 1997 dan data dari Badan Regulator pada 2003<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Pengeluaran mereka juga memicu kritik. Atjeng Sastrawidjaja dari Badan
Pemeriksa Keuangan Publik (BPKP) Jakarta menulis dalam sebuah laporan pada Mei
2000 bahwa biaya operasional dari perusahaan internasional tersebut terlalu
tinggi. Mereka menyewa kantor-kantor baru di dua gedung di kawasan bisnis
Jakarta, termasuk kantor Simanjuntak, ketimbang memanfaatkan aset PAM Jaya yang
ada. Gaji para ekspatriat pun relatif tinggi. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Sejumlah ekspartriat digaji sekitar US$100,000 atau sekitar Rp 800 juta
per tahun di luar fasilitas penunjang lainnya, termasuk mobil dan tunjangan
keluarga. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">“Kita tak tahu persis jumlahnya satu per satu tapi angka $100,000 bisa
dilihat dari anggaran mereka,” kata Alizar Anwar, direktur eksekutif Badan
Regulator. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Simanjuntak membela diri dengan mengatakan bahwa sewa gedung Danamon
Aetna tersebut relatif murah akibat devaluasi rupiah, “Orang bilang kita bayar
terlalu mahal atau mobilnya terlalu mewah. Tapi kita toh harus tahu mereka ini
expatriates harus hidup sesuai dengan standar hidup mereka di negeri asalnya.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Ketika saya menanyakan pertemuan Duta Besar Richard Gozney dengan Wakil
Presiden Hamzah Haz, Simanjuntak mengatakan bahwa ia tak banyak tahu ide
awalnya. Pertemuan itu kemungkinan besar gagasan John Trew, atasannya. Tapi
Simanjuntak menekankan logika kenaikan tersebut, “Penyesuaian itu diperlukan
untuk menutup inflasi yang membuat harga listrik, bahan kimia, dan gaji
karyawan naik, maupun investasi.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Achmad Lanti juga mendukung kenaikan tarif karena consumer price index
(CPI) naik sebesar 156 persen dari Februari 1998 sampai Januari 2004.
Sementara, total kenaikan tarif air sebelumnya sebesar 18, 25 dan 40 persen,
masih lebih rendah dibandingkan indeks tadi. CPI adalah sebuah indeks untuk
mengukur kenaikan harga barang-barang dan layanan jasa. Angka ini juga mengukur
laju inflasi. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Walau setuju kenaikan tarif air, Lanti mempertanyakan biaya operasi
konsorsium itu. Apa benar-benar masuk akal? Ia menyebutkan bahwa sangat sulit
membangun kepercayaan dalam kerja sama yang sudah berlangsung sejak 1997 ini.
Baik PAM Jaya maupun pihak swasta saling tak percaya, bahkan untuk data dasar
sekalipun mereka sering berbeda pendapat. Lebih buruk lagi, kedua pihak,
terutama pihak konsorsium, juga tidak memercayai Badan Regulator, sampai pada
titik keduanya sepakat mengundang pihak ketiga, “tim pakar internasional” untuk
datang ke Indonesia dan menghitung semuanya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Satu dari sejumlah pertikaian adalah soal hitung-hitungan. PAM Jaya
menyatakan total utangnya pada konsorsium sekitar Rp 600 milyar, sedangkan
Thames Water dan Ondeo mematok angka total Rp 900 milyar. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Dalam kontrak 2001, kedua pihak sepakat bila terjadi pertikaian, mereka
akan menggunakan mekanisme empat tingkat: (1) musyawarah; (2) mediasi lewat
Badan Regulator; (3) pakar internasional; (4) peradilan baik di Jakarta atau
Singapura. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Ternyata mereka tak bisa bermusyawarah. Perbedaan pendapat dengan Badan
Regulator muncul setelah lembaga itu mempertanyakan efisiensi pemakaian uang
oleh pihak swasta. Tapi laporan tersebut disanggah konsorsium. “Ya tidak
apa-apa bukan? Kita punya alasan kita sendiri,” kata Simanjuntak. Akhirnya,
mereka sepakat mengundang sebuah perusahaan Amerika untuk mengadakan penelitian
selama setahun. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Sutiyoso jarang mengungkapkan pendapatnya tentang kontroversi PAM Jaya
ini, tapi satu kali ia mengatakan pada wartawan bahwa ia menyewa konsultan dari
Singapura untuk mempelajari kontrak tersebut. Para konsultan mengatakan ada 11
butir dari kontrak tahun 2001 yang jelas-jelas menguntungkan pihak konsorsium,
“Salah satunya adalah ketentuan bahwa tarif air harus naik setiap enam bulan
sekali.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Rama Boedi mengatakan, ia tak menentang privatisasi. Tapi seharusnya
privatisasi dipersiapkan dengan lebih baik. Menurutnya, Presiden Suharto
terlalu tergesa-gesa dan mengambil jalan pintas. Dalam perenungannya, Rama juga
menyesali mengapa kedua perusahaan raksasa itu mengambil cara bekerja sama
dengan kroni-kroni Suharto. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">“Mereka perusahaan besar, mereka tak perlu menggunakan cara-cara kotor
dalam negosiasi awal itu,” kata Rama. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Namun susah juga menilai orang macam Bernard Lafrogne sebagai karakter
yang jahat. Lafrogne akrab dengan Indonesia. Ia meyakini bahwa keterlibatan
orang Indonesia adalah metode penting untuk mengelola bisnis air. Ondeo membawa
pengetahuan dan ketrampilan, sementara mitra Indonesia mereka memberikan
sentuhan lokal. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Sekarang keadaan makin sulit. Kalau mekanisme “pakar internasional” tak
bisa menyelesaikan sengketa, langkah selanjutnya adalah pengadilan. Achmad
Lanti menjelaskan kalau sampai pihak swasta angkat kaki dari Jakarta, maka
pemerintah harus mengeluarkan uang sekitar Rp 3 triliun untuk mengganti
keseluruhan biaya investasi dan kerugian para investor, plus membayar 50 persen
dari keuntungan yang diproyeksikan pihak swasta sepanjang sisa masa berlakunya
kontrak. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Angka tersebut hanya perkiraan dan harus disetujui kedua pihak, PAM
Jaya dan pihak swasta, kalau memang pihak swasta harus angkat kaki. Namun
berapa pun angkanya, kelihatannya tak ada jalan keluar yang mulus untuk
sengketa air ini, dan apa pun yang terjadi, tak sulit untuk meramal bahwa yang
paling bakal dirugikan adalah seluruh warga Jakarta. Mereka akan rugi karena
pelayanan air bisa terganggu dan lebih rugi lagi karena uang merekalah yang
akan dipakai membayar petualangan ini. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Sebelum meninggalkan kantornya, saya bertanya pada Rhamses Simanjuntak,
apa yang ia senangi dari bisnis air ini. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">“Semua orang butuh air. Ini komoditi yang dibutuhkan semua orang. Ini
adalah komitmen hidup saya. Saya mau pensiun di sini,” kata Simanjuntak. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Saya hanya diam, tapi setuju pada ucapannya. Bisnis air, bila dikelola
dengan modal besar dan didukung kekuatan politik yang kuat, adalah bisnis yang
menjanjikan. Tak heran kalau Simanjuntak merasa aman.* <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;">Catatan: <o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;">Naskah ini pada awalnya adalah
liputan investigasi Andreas Harsono untuk International Consortium of
Investigative Journalists, sebuah proyek konsorsium para wartawan investigasi
sedunia yang didirikan oleh Center for Public Integrity, pada 1997. Harsono
memang salah satu dari dua orang warga Indonesia, yang jadi anggota konsorsium
tersebut. Naskah ini, yang dikerjakannya selama setahun penuh, diturunkan
bersama naskah-naskah lain yang memantau aktivitas privatisasi air di seluruh
muka bumi, mulai Amerika Latin, Eropa sampai Afrika. Liputan ICIJ ini
memenangkan sejumlah penghargaan internasional. Tahun 2003, Harsono membawanya
ke sidang Asien Haus di Jerman dan mempresentasikannya dalam judul "Water
Privatization". Beberapa bulan kemudian, pada awal 2004, ICIJ mengizinkan
majalah </span></i><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;">Pantau<i style="mso-bidi-font-style: normal;"> untuk memuatnya dalam versi bahasa
Indonesia. </i>Pantau<i style="mso-bidi-font-style: normal;"> meminta bantuan
Gita Widya Laksmini untuk menerjemahkannya. Rencananya, naskah ini akan
diterbitkan pada Maret 2004 dalam judul "Diplomasi Air Kotor, Investasi
Air Besar". Sungguh sayang, majalah </i>Pantau<i style="mso-bidi-font-style: normal;"> keburu berhenti terbit. Oleh Harsono, naskah kemudian dialihkan ke
majalah </i>Gatra<i style="mso-bidi-font-style: normal;"> dan dimuat dalam salah
satu edisi bulan Mei 2004 dengan judul "Dari Thames ke Ciliwung" yang
dipecah-pecah ke dalam beberapa naskah sidebar.<o:p></o:p></i></span></div>niyajurnalismhttp://www.blogger.com/profile/06954668729158334229noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3557989725118876812.post-29407521095224854672012-01-17T00:32:00.001-08:002012-01-17T00:33:19.893-08:00Fifty Writing Tools: Quick List<br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-size: 26pt;">Fifty Writing Tools: Quick List<o:p></o:p></span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-size: 11pt;">By Roy Peter
Clark<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 12.0pt;">
<span style="font-size: 11pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 12.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 12.0pt;">
<span style="font-size: 11pt;">Clark berpendapat tidak ada hukum
dalam penulisan namun ada perkakas yang bisa dipakai untuk membuat suatu karya
tulis jadi bermutu.<o:p></o:p></span></div>
<ul style="margin-top: 0in;" type="square">
<li class="MsoNormal" style="margin-bottom: 12.0pt; mso-list: l0 level1 lfo1;"><span style="font-size: 11pt;">Nuts and
Bolts (10 perkakas) <o:p></o:p></span></li>
<li class="MsoNormal" style="margin-bottom: 12.0pt; mso-list: l0 level1 lfo1;"><span style="font-size: 11pt;">Special
Effects (13 perkakas)<o:p></o:p></span></li>
<li class="MsoNormal" style="margin-bottom: 12.0pt; mso-list: l0 level1 lfo1;"><span style="font-size: 11pt;">Blueprints
(16 perkakas) <o:p></o:p></span></li>
<li class="MsoNormal" style="margin-bottom: 12.0pt; mso-list: l0 level1 lfo1;"><span style="font-size: 11pt;">Useful
Habits (11 perkakas)<o:p></o:p></span></li>
</ul>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 12.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 12.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 12.0pt;">
<b><span style="font-size: 11pt;">I. Nuts and Bolts</span></b><span style="font-size: 11pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 11pt;">1. Begin sentences with subjects and verbs.<br />
<i>Make meaning early, then let weaker elements branch to the right.</i><br />
<br />
2. Order words for emphasis. <br />
<i>Place strong words at the beginning and at the end.</i><br style="mso-special-character: line-break;" />
<br style="mso-special-character: line-break;" />
<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 11pt;">3. Activate your verbs.<br />
<i>Strong verbs create action, save words, and reveal the players.</i><br />
Pakai kata keterangan (adverbs) untuk mengubah makna kata kerja. “Killing me
softly” mengubah makna membunuh. Pemakaian yang keliru, “Killing me fiercely.”
Tapi berhati-hatilah dengan penggunaan kata keterangan. Hilangkan kata
keterangan untuk mengecek apakah ia berlebihan atau tidak.<br style="mso-special-character: line-break;" />
<br style="mso-special-character: line-break;" />
<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 11pt;">4. Be passive-aggressive.<br />
<i>Use passive verbs to showcase the "victim" of action.<o:p></o:p></i></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 11pt;">Bila pakai kalimat pasif, gunakan passive verbs to showcase
the “victim” of action. George Orwell dalam esai “Politics and the English
Language” mengkritik penggunaan kalimat pasif untuk sembunyi dari tanggungjawab.<br style="mso-special-character: line-break;" />
<br style="mso-special-character: line-break;" />
<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 11pt;">5. Watch those adverbs.<br />
<i>Use them to change the meaning of the verb.</i><br />
<br />
6. Take it easy on the -ings.<br />
<i>Prefer the simple present or past.</i><br />
<br />
7. Fear not the long sentence.<br />
<i>Take the reader on a journey of language and meaning.</i><br />
<br />
8. Establish a pattern, then give it a twist.<br />
<i>Build parallel constructions, but cut across the grain.</i><br />
<br />
9. Let punctuation control pace and space.<br />
<i>Learn the rules, but realize you have more options than you think.</i><br />
Apakah pakai koma di dalam (Strunk and White) atau di luar tanda petik? Atau
pakai tanda hubung? Tanda kurung? Titik dua? Titik koma? Hakekat tanda baca:
(1) Menentukan laju bacaan; (2) Membagi kata, frasa dan ide dalam pembagian
yang nyaman. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 11pt;"><br />
10. Cut big, then small.<br />
<i>Prune the big limbs, then shake out the dead leaves.</i><br style="mso-special-character: line-break;" />
<br style="mso-special-character: line-break;" />
<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 12.0pt;">
<span style="font-size: 11pt;"><br />
<b>II. Special Effects</b><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="tab-stops: 139.5pt;">
<span style="font-size: 11pt;">11. Prefer the simple over the
technical.<br />
<i>Use shorter words, sentences and paragraphs at points of complexity.</i><br />
<br />
12. Give key words their space.<br />
<i>Do not repeat a distinctive word unless you intend a specific effect.<br />
</i><br />
13. Play with words, even in serious stories.<br />
<i>Choose words the average writer avoids but the average reader understands.</i><br style="mso-special-character: line-break;" />
<br style="mso-special-character: line-break;" />
<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 12.0pt;">
<span style="font-size: 11pt;">14. Get the name of the dog.<br />
<i>Dig for the concrete and specific, details that appeal to the senses.</i><br />
St. Petersburg Times selalu mengingatkan wartawan untuk mendapatkan nama
anjing! Ini tak berarti semua detail dipakai dalam cerita tapi seorang wartawan
harus ingat untuk buka mata, buka telinga.<br style="mso-special-character: line-break;" />
<br style="mso-special-character: line-break;" />
<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 12.0pt;">
<span style="font-size: 11pt;">15. Pay attention to names. <br />
<i>Interesting names attract the writer � and the reader.</i><br />
<br />
16. Seek original images.<br />
<i>Reject clich�s and first-level creativity.</i><br />
<br />
17. Riff on the creative language of others.<br />
<i>Make word lists, free-associate, be surprised by language.</i><br />
<br />
18. Set the pace with sentence length.<br />
<i>Vary sentences to influence the reader's speed.</i><br />
<br />
19. Vary the lengths of paragraphs.<br />
<i>Go short or long -- or make a "turn"-- to match your intent.</i><br />
H.W. Fowler mengatakan, “The paragraph is essentially a unit of thought, not of
length.” Pakai alinea pendek, terutama sesudah alinea panjang, untuk
menciptakan efek drama tiba-tiba.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 12.0pt;">
<span style="font-size: 11pt;">20. Choose the number of elements with
a purpose in mind.<br />
<i>One, two, three, or four: Each sends a secret message to the reader.</i><br />
<br />
21. Know when to back off and when to show off.<br />
<i>When the topic is most serious, understate; when least serious, exaggerate.<br />
</i><br />
22. Climb up and down the ladder of abstraction.<br />
<i>Learn when to show, when to tell, and when to do both.<br />
</i><br />
23. Tune your voice.<br />
<i>Read drafts aloud.<br style="mso-special-character: line-break;" />
<br style="mso-special-character: line-break;" />
</i><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<b><span style="font-size: 11pt;">III. Blueprints </span></b><span style="font-size: 11pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 11pt;">24. Work from a plan.<br />
<i>Index the big parts of your work.</i><br />
<br />
25. Learn the difference between reports and stories.<br />
<i>Use one to render information, the other to render experience.</i><br />
<br />
26. Use dialogue as a form of action.<br />
<i>Dialogue advances narrative; quotes delay it.<br />
</i><br />
27. Reveal traits of character.<br />
<i>Show characteristics through scenes, details, and dialogue.<br style="mso-special-character: line-break;" />
<br style="mso-special-character: line-break;" />
</i><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 11pt;">28. Put odd and interesting things next to each other.<br />
<i>Help the reader learn from contrast.<br />
</i><br />
29. Foreshadow dramatic events or powerful conclusions.<br />
<i>Plant important clues early.</i><br />
<br />
30. To generate suspense, use internal cliffhangers.<br />
<i>To propel readers, make them wait.<br />
</i><br />
31. Build your work around a key question.<br />
<i>Good stories need an engine, a question the action answers for the reader.<br />
</i><br />
32. Place gold coins along the path.<br />
<i>Reward the reader with high points, especially in the middle.</i><br />
<br />
33. Repeat, repeat, repeat.<br />
<i>Purposeful repetition links the parts.</i><br />
<br />
34. Write from different cinematic angles.<br />
<i>Turn your notebook into a "camera."</i><br />
Kerja kamera standard: aerial view (dilihat dari udara), establishing shot
(dilihat dari kejauhan), middle distance, close up, extreme close up. Sebuah
deskripsi dibuat dengan pendekatan kamera, dari udara atau dari kejauhan, lalu
jarak menengah, lalu close up dan extreme close up.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 11pt;"><br />
35. Report and write for scenes.<br />
<i>Then align them in a meaningful sequence.</i><br />
<br />
36. Mix narrative modes.<br />
<i>Combine story forms using the "broken line."</i><br />
<br />
37. In short pieces of writing, don�t waste a syllable.<br />
<i>Shape shorter works with wit and polish.</i><br />
<br />
38. Prefer archetypes to stereotypes.<br />
<i>Use subtle symbols, not crashing cymbals.</i><br />
<br />
39. Write toward an ending.<br />
<i>Help readers close the circle of meaning.</i><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 12.0pt;">
<span style="font-size: 11pt;">Dalam cerita fiksi, orang suka dengan
ending klasik. Si pangeran menikah dengan putri. Si kodok jadi pangeran. Si
jagoan naik kuda meninggalkan kota. Dalam kehidupan nyata, ending tak seindah
fiksi. Ini dilemma semua penulis non-fiksi. J.K. Rowling, ketika menulis
outline Harry Potter, sudah rencana bab paling akhir. Bahkan kata yang
digunakan paling bontot: “scar.”<br style="mso-special-character: line-break;" />
<br style="mso-special-character: line-break;" />
<b><o:p></o:p></b></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 12.0pt;">
<b><span style="font-size: 11pt;">IV. Useful Habits</span></b><span style="font-size: 11pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 11pt;">40. Draft a mission statement for your work.<br />
<i>To sharpen your learning, write about your writing.</i><br />
<br />
41. Turn procrastination into rehearsal.<br />
<i>Plan and write it first in your head.</i><br />
Procrastinate artinya menunda suatu kerja, menyingkirkan dulu. Kata Latin
“cras” artinya “besok”. Semua penulis suka menunda. “Never write today what you
can put off until tomorrow.” Penundaan harus diubah menjadi latihan: tuliskan
semua, pakai rutinitas harian, build in rewards, draft sooner, discount nothing
etc.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 11pt;"><br />
42. Do your homework well in advance.<br />
<i>Prepare for the expected -- and unexpected.</i><br />
<br />
43. Read for both form and content.<br />
<i>Examine the machinery beneath the text.</i><br />
<br />
44. Save string.<br />
<i>For big projects, save scraps others would toss.</i><br />
<br />
45. Break long projects into parts.<br />
<i>Then assemble the pieces into something whole.</i><br />
<br />
46. Take interest in all crafts that support your work.<br />
<i>To do your best, help others do their best.</i><br />
<br />
47. Recruit your own support group.<br />
<i>Create a corps of helpers for feedback.</i><br />
<br />
48. Limit self-criticism in early drafts.<br />
<i>Turn it loose during revision.</i><br />
<br />
49. Learn from your critics.<br />
<i>Tolerate even unreasonable criticism.</i><br />
<br />
50. Own the tools of your craft.<br />
<i>Build a writing workbench to store your tools.</i><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 11pt;"><br />
To purchase a copy of "Writing Tools: 50 Essential Strategies for Every
Writer," visit your local or online bookstore or <a href="http://www.amazon.com/gp/redirect.html?link_code=ur2&tag=poynterorg-20&camp=1789&creative=9325&location=http://www.amazon.com/gp/product/0316014982/ref=pd_rvi_gw_1?_encoding=UTF8&v=glance&n=283155"><span style="color: blue;">click here</span></a> (as an Amazon affiliate, Poynter will
receive a small cut of the profit). You can contact the author at: <a href="mailto:rclark@poynter.org?subject=Note%20from%20Quick%20List"><span style="color: blue;">rclark@poynter.org</span></a>.</span><span lang="IN" style="font-size: 11pt;"><o:p></o:p></span></div>
styl� l s - �� �j� -style:normal'>The
Price of Freedoms: The Unfinished Diary of Tengku Hasan di Tiro. <o:p></o:p><br />
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11pt;">Kalau liputan politik di <st1:place w:st="on"><st1:country-region w:st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place>,
rasanya, seorang wartawan harus belajar soal pemikiran di bidang nasionalisme
lewat Benedict Anderson, Ernest Renan dan lain-lain. Saya juga ingin wartawan
belajar sejarah—bukan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">sejarah-sejarahan</i>
karya “pakar sejarah <st1:place w:st="on"><st1:country-region w:st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place>”—dan
hasil riset bermutu. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11pt;">Narasi
biasa dipakai untuk naskah panjang, mulai dari 5.000-7.500 kata. Roy Peter
Clark dari Poynter Institute, <st1:place w:st="on"><st1:state w:st="on">Florida</st1:state></st1:place>,
mengembangkan pedoman standar 5W 1H menjadi pendekatan baru. Pada narasi, “who”
berubah menjadi siapa, “what” menjadi plot atau alur narasi, “where” menjadi <i style="mso-bidi-font-style: normal;">setting</i>, “when” menjadi kronologi, “why”
menjadi motivasi, dan “how” menjadi narasi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11pt;">Struktur
naskah juga makin hari makin bertambah ragamnya. Seorang wartawan harus
senantiasa membaca, termasuk karya-karya rujukan, agar mampu mengikuti
perkembangan dalam teknik penulisan. <o:p></o:p></span></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt; text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt; text-align: right;">
<st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-size: 11pt;">Jakarta</span></i></st1:place></st1:city><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-size: 11pt;">, 2009<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>niyajurnalismhttp://www.blogger.com/profile/06954668729158334229noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3557989725118876812.post-25078850094283238982012-01-17T00:31:00.001-08:002012-01-17T00:31:20.843-08:00Dari Thames ke Ciliwung<br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;">
<b><span lang="IN" style="font-size: 26.0pt;">Dari Thames ke Ciliwung<o:p></o:p></span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;">
<i><span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Diplomasi air kotor, investasi air besar<o:p></o:p></span></i></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Oleh Andreas Harsono<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">WAKIL </span></b><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US;">PRESIDEN HAMZAH HAZ </span></b><span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">adalah
politikus kawakan yang tahu cara memanfaatkan media, dan lebih penting lagi,
menggunakan media untuk mencapai tujuan politisnya. Ia menunjukkan ketrampilan
itu sekali lagi pada 3 November lalu, ketika bertemu duta besar Inggris untuk
Indonesia, Richard Gozney. Tentu saja, pertemuan mereka tertutup, tapi setelah
mengantar tamunya ke luar istana Wakil Presiden di bilangan Kebon Sirih Jakarta,
Hamzah membiarkan dirinya dikerubuti wartawan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Hamzah memasang senyum di depan kamera, kemudian mengatakan bahwa ia
dan Gozney baru saja membicarakan soal PT Thames PAM Jaya, anak perusahaan
Inggris Thames Water. Gozney minta Hamzah membantunya menaikkan tarif air di
Jakarta dalam upaya penyelamatan PT Thames PAM Jaya, yang menderita kerugian
finansial sebesar US$58 juta selama tiga tahun terakhir. Per bulannya
perusahaan itu merugi rata-rata $1.5 juta dan sangat mungkin angkat kaki dari
Jakarta. Kenaikan tarif yang dibutuhkan untuk mengatasinya sekitar 20 persen. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Petang itu, ketika Gozney masih dalam perjalanan pulang, program berita
malam di televisi sudah menyiarkan pertemuan mereka. Pagi berikutnya pernyataan
Hamzah jadi berita utama di sejumlah surat kabar Jakarta. The Jakarta Post
memasang tajuk, “Gozney Wants Water Rates Hiked.” Di London, tempat markas
Thames Water berada, surat kabar Guardian memberitakan pertemuan tersebut dari
sudut berbeda, “Jakarta Unit Drains Thames Cash.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Thames Water adalah satu dari sejumlah pengelola air terbesar di dunia.
Sejarah konglomerat ini berawal di London pada abad ke-17. Namun bentuk
modernnya baru terwujud pada 1989, di masa pemerintahan Perdana Menteri
Margareth Thatcher, ketika Thatcher menswastakan sejumlah badan usaha milik
negara termasuk Water Authority. Thames Water, hasil privatisasi Water
Authority, kemudian melebarkan sayap dan beroperasi di berbagai tempat di
dunia. Pada 2001 sebagian besar saham Thames Water dibeli konglomerat Jerman,
RWE Group, yang bermarkas di Essen. Nama perusahaan tersebut kemudian diubah
jadi RWE Thames Water. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Satu dari banyak proyek Thames Water ada di Jakarta. Pada Juni 1997,
atau empat tahun sebelum merger Jerman-Inggris itu terjadi, Thames Water
mendapat kontrak selama 25 tahun untuk membentuk usaha modal bersama dengan
perusahaan air milik negara di Jakarta, Perusahaan Air Minum Jakarta Raya (PAM
Jaya). Saat itu Thames Water menggandeng Sigit Harjojudanto, putra sulung
Presiden Suharto. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Tapi Jakarta terlalu besar untuk dikelola satu perusahaan saja.
Presiden Suharto kemudian membagi Jakarta dengan mengikuti aliran Sungai
Ciliwung. Thames Water mendapat bagian timur Ciliwung. Lyonnaise des Eaux milik
konglomerat Prancis Suez (belakangan ganti nama menjadi Ondeo Service) kebagian
jatah di sebelah barat. Suez bekerjasama dengan Salim Group, yang ketika itu
adalah konglomerat terbesar di Indonesia. Konsorsium ini mulai bekerja pada
Februari 1998 dengan tanggung jawab utama menjaga pasokan, distribusi, dan
pembayaran air bersih buat penduduk Jakarta. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Sialnya, tiga bulan kemudian, pada Mei 1998, Presiden Suharto jatuh di
tengah-tengah krisis ekonomi di sejumlah negara Asia. Kerusuhan pecah di
berbagai tempat di Indonesia. Sejumlah organisasi politik menuntut Suharto
diadili karena korupsi. Banyak orang percaya bahwa anak-anak dan kroni Suharto
juga terlibat dalam sederet kerja sama bisnis yang dilakukan secara kotor. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Alhasil, baik Thames Water dan Suez, dua dari sekian perusahaan
internasional yang terkait dengan bisnis keluarga Suharto, terpaksa
membicarakan ulang kesepakatan mereka dengan PAM Jaya. Ekonomi Indonesia
terpuruk akibat krisis ekonomi. Rupiah terdevaluasi terhadap dollar Amerika
dari Rp 2.300 pada Juli 1997 ke lebih dari Rp 10.000 di pertengahan 1998. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Kedua konsorsium berusaha mempertahankan operasi mereka, tapi tak
seorang pun menyangka bahwa devaluasi bisa terjadi begitu liar. Pemerintah
Jakarta dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jakarta terus-menerus
terlibat dalam perundingan dengan konsorsium tersebut untuk membahas kenaikan
tarif air. Singkat kata, sejak mulai beroperasi pada Februari 1998 hingga
pertemuan Hamzah dan Gozney, sudah terjadi tiga kali kenaikan tarif. Kenaikan
pertama sebesar 18 persen, disusul 25 persen pada April 2001, dan menjadi 40
persen pada terjadi April 2003. Namun tarif (water tariff) itu terhitung
rendah, secara rata-rata, bila dibanding imbalan air (water charge) yang harus
PAM Jaya bayarkan pada para pengelola air internasional tersebut. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Saat Gozney berkunjung menemui Hamzah Haz, gagasan untuk sekali lagi
menaikkan tarif air mendapatkan kecaman dari berbagai aktivis organisasi
konsumen, beberapa lembaga swadaya masyarakat, dan sejumlah partai politik.
Mereka berpendapat, baik RWE Thames Water maupun Suez gagal memperbaiki layanan
dan efisiensi, yang ditandai dengan adanya gangguan pasokan air, kualitas air
yang buruk, dan angka kebocoran air yang mencapai 45 persen. Organisasi
konsumen air, Komparta, bahkan mengajukan gugatan ke pengadilan, dengan alasan
layanan yang disediakan konsorsium ini jauh dari memuaskan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Bagaimana situasi rumit ini bisa melibatkan Richard Gozney? Apakah ini
lantaran kedekatannya dengan sejumlah pemimpin Indonesia? Seberapa jauh
kelancarannya berbahasa Indonesia, lengkap dengan sebersit aksen ala Jakarta, dapat
membuka jalan sehingga dirinya bisa menembus struktur kekuasaan Jakarta yang
sedemikian kompleks? <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Said Budiary, salah seorang asisten Hamzah Haz, dalam wawancara dengan
saya mengatakan bahwa Gozney sebelumnya telah berbicara dengan Gubernur Jakarta
Sutiyoso. Gozney minta Sutiyoso menaikkan tarif air. Namun Sutiyoso berkata
bahwa ia perlu dukungan kuat agar bisa menaikkan tarif, dengan menyebut bahwa
dukungan tersebut haruslah datang dari “yang di atas” (Said juga kolumnis
majalah Pantau). <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Gozney, dengan dukungan John Trew, presiden direktur PT Thames PAM
Jaya, semula bermaksud mendekati Presiden Megawati Sukarnoputri. Namun, jadwal
Megawati agak padat. “Beliau juga sering kurang cepat bergerak,” kata Budairy.
Gozney akhirnya mendekati Hamzah. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Menurut Budiary, Hamzah sepakat mendukung kenaikan harga, tapi minta
perusahaan Inggris-Jerman itu menerapkan mekanisme subsidi silang antar mereka
yang miskin dan yang kaya. Hamzah khawatir bila kenaikan tak terjadi, RWE
Thames Water hengkang dari Indonesia. Ini tak hanya menimbulkan masalah air di
Jakarta, melainkan membuat gentar pemodal asing lain di Indonesia. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Tekanan tak cuma datang dari kubu Jerman-Inggris. Suez mengirimkan Eric
de Muyinck, presiden Ondeo untuk urusan internasional, menemui Gubernur Sutiyoso.
De Muyinck dan Michele Tay, presiden Ondeo untuk kawasan Asia, mendatangi
kantor Sutiyoso 21 Oktober lalu. Menurut Bernard Lafrogne, wakil Ondeo di
Jakarta, pesan mereka singkat saja: naikkan tarif air atau Ondeo Service angkat
kaki! <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Tekanan dua arah itu berhasil. Gubernur Sutiyoso mendapat dukungan
Hamzah Haz. Ia pun mengajukan usul kenaikan air ke DPRD Jakarta pada 10
November 2003 atau seminggu setelah pertemuan Gozney-Hamzah, dengan memasang
angka 30 persen, 10 persen lebih tinggi dari angka yang diusulkan Gozney. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Proposal tersebut menjelaskan bahwa 17 persen dari kenaikan tadi akan
digunakan untuk melunasi utang PAM Jaya sebesar Rp 900 milyar ($105,88 juta)
pada konsorsium swasta, sedang sisanya yang 13 persen dipakai untuk menutupi
ongkos inflasi dan biaya operasi pihak swasta. Utang itu hasil kumulatif dari
perbedaan antara tarif air yang dibayar pelanggan dan imbalan air yang
dibayarkan PAM Jaya kepada perusahaan-perusahaan air internasional tersebut
sejak Februari 1998. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Tanpa banyak cingcong, DPRD Jakarta, yang anggotanya juga terdiri dari
politisi Partai Persatuan Pembangunan pimpinan Hamzah Haz, menyetujui proposal
tersebut pada Desember 2003. Tarif baru yang naik sebesar 30 persen akan
berlaku mulai 1 Januari 2004. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Gozney tentu saja senang. Ketika masa kerjanya selesai pada akhir
Januari lalu, ia dirayakan dengan sebuah pesta perpisahan yang amat
mengesankan! The Jakarta Post menurunkan editorial yang manis untuk Gozney.
Gozney tak hanya mampu menjelaskan duduk persoalan Perang Irak pada publik
Indonesia, antara lain dengan muncul di layar televisi, tapi juga membela
kepentingan usaha dagang Inggris di Indonesia. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">KANTOR </span></b><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US;">PUSAT </span></b><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">PAM </span></b><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US;">JAYA</span></b><span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US;"> </span><span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">terletak di daerah Pejompongan, sebuah permukiman yang
lumayan sejuk di tengah hiruk-pikuk Jalan Penjernihan, Jakarta Pusat, yang
menuju daerah Tanah Abang. Gedungnya dua lantai dan di salah satu ruang, saya
menemui Achmad Lanti. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Lanti seorang birokrat yang piawai bicara tentang pekerjaannya. Ia suka
membumbui isi pembicaraan dengan aneka peraturan, angka-angka, tanggal,
nama-nama dan data-data lain. Ia berkulit gelap dan sahaja dalam berbusana.
Ketika saya mengunjunginya akhir Desember lalu, Lanti kelihatan santai dan
seperti biasa menyodorkan bermacam tabel, data, dan angka, yang ia ambil dari
sejumlah laci. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Lanti adalah kepala Badan Regulator Pelayanan Air Minum Provinsi DKI
Jakarta. Nama lembaga ini cukup panjang, toh tugas utamanya sederhana saja
yakni menjadi “wasit” antara pihak swasta dan PAM Jaya. Lanti mulai menjabat
pekerjaan ini pada November 2001, beberapa bulan setelah ia pensiun dari
Departemen Pekerjaan Umum. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Saat itu Badan Regulator baru saja dibentuk. Ia harus menyeimbangkan
kepentingan publik, yang membutuhkan air bersih dengan harga murah, dan
konsorsium swasta, yang membutuhkan keuntungan finansial atas investasi mereka.
<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">“Ini soal kepercayaan, harus membangun kepercayaan baik dari mitra
swasta maupun dari PAM Jaya,” ujarnya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Lanti bukan wajah baru di bisnis air. Ia datang ke Jakarta pada 1968,
setelah lulus dari Institut Teknologi Bandung, lalu merintis karir sebagai
birokrat di Departemen Pekerjaan Umum, sebuah departemen yang juga menangani
masalah air di Indonesia. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">“Saya sendiri tak pernah berlangganan air bersih. Jadi air sumur bagus.
Sumur pompa. Jadinya, saya tidak pernah jadi pelanggan air PAM di Jakarta.
Sekarang di rumah sendiri di (Jalan) Radio Dalam, air tanah masih bagus. Bagus
banget. Saya selalu tinggal di Kebayoran Baru.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Lanti adalah satu dari segelintir warga Jakarta yang beruntung karena
punya sumur bagus. Sebagian besar warga kota ini tak seberuntung Lanti. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Pada 1928 pemerintah kolonial Belanda membangun sistem air bersih yang
pertama di Jakarta dengan kapasitas 600 liter per detik. Sistem ini bertujuan
melayani kebutuhan 300.000 penduduk yang sebagian besar warga Belanda. Mereka
berdiam di lingkaran elit di sebelah utara dan pusat Jakarta. Sesudah Indonesia
meraih kemerdekaan pada 1945, sistem ini pelan-pelan diperluas pada 1950-an,
meski tak dimaksudkan untuk melayani ekspansi yang terjadi begitu cepat pada
1970-an. Kualitas air menurun tajam akibat industrialisasi besar-besaran,
urbanisasi, dan ketiadaan aturan main soal polusi air. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Menurut catatan statistik, pada tahun 1991, populasi penduduk Jakarta
nyaris mencapai angka tujuh juta, tapi hanya 45 persen yang bisa menikmati air
keran. Jakarta berhasil mendirikan begitu banyak pencakar langit, tapi masih
banyak warganya yang menikmati kucuran air keran hanya di malam hari. Banyak
dari mereka, terutama yang tinggal di selatan Jakarta, memilih menggali sumur
seperti halnya keluarga Lanti, dan menggunakan pompa air berkekuatan tinggi. Di
wilayah selatan ini, seperti Kemang, Pondok Indah, atau Lebak Bulus,
pengembangan relatif lebih lambat. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Cerita tentang keterlibatan Lanti dengan privatisasi PAM Jaya berawal
tanpa rencana. Pada pertengahan 1995 ia diminta mewakili atasannya menghadiri
pertemuan dengan Menteri Pekerjaan Umum Radinal Moochtar pada saat Moochtar
memaparkan maksud pemerintah menswastakan PAM Jaya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Paparan tersebut tak muncul sekonyong-konyong. Pada 12 Juni 1995,
Presiden Suharto mengemukakan isu privatisasi ini ke Radinal Moochtar. Suharto
menginstruksikan Moochtar agar membentuk satu tim untuk menyiapkan privatisasi
PAM Jaya dan mengikutsertakan pihak swasta. Suharto menyuruh Moochtar
menghubungi PT Kekarpola Airindo, milik Sigit Harjojudanto, dan Salim Group,
juga mitra internasional mereka, masing-masing Thames Water dan Lyonnaise des
Eaux. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Suharto memiliki kekuasaan amat besar dan ia suka bergerak cepat.
Radinal Moochtar paham hal itu. Tiga hari kemudian, Moochtar menyelenggarakan
rapat di departemennya dan menyampaikan pada rekan-rekan kerjanya perihal
instruksi Suharto. Rapat memutuskan membagi Jakarta menjadi dua zona air dengan
garis pembatas Sungai Ciliwung. Bagian barat diberikan pada Salim Group, sedang
yang di sebelah timur jadi jatah Sigit. Mereka sepakat membentuk dua tim untuk
mengurusi privatisasi ini. Tim pertama menangani peraturan tingkat nasional,
termasuk menelurkan peraturan menteri tentang privatisasi air. Tim kedua
bertugas melakukan perundingan dengan para penanam modal swasta. Lanti
tergabung dalam tim kedua. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Sigit Harjojudanto dikenal berkantong tebal dan punya reputasi sebagai
penjudi. Kerjanya kebanyakan menjadi perantara bisnis, dengan memanfaatkan
pengaruh ayahnya. Sasarannya tak lain perusahaan multinasional yang hendak
beroperasi di Indonesia. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Namun gagasan privatisasi PAM Jaya bukan murni ide Sigit maupun sang
ayah. Gagasan ini kemungkinan sudah bergulir pada awal 1990-an. Ketika itu
Jakarta tumbuh menjadi salah satu kota yang paling cepat perkembangannya di
Asia. Pada Juni 1991, pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian utang
sebesar US$92 juta dengan Bank Dunia untuk membiayai proyek perbaikan sistem
PAM Jaya selama 20 tahun dengan bunga 9.5 persen per tahun. Utang ini digabungkan
dengan pinjaman lain dari Overseas Economic Cooperation Fund (Jepang) yang
dialokasi untuk membangun instalasi air di Pulogadung, di timur Jakarta. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Thames Water memutuskan bekerja sama dengan Sigit Harjojudanto pada
1993. Sigit minta rekannya, Fachry Thaib, pengusaha asal Aceh, menangani segala
urusan dengan Thames Water. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Di Paris, gebrakan Thames Water di Jakarta memicu Lyonnaise des Eaux
milik Suez, salah satu konglomerat konstruksi terbesar di dunia, bergerak
cepat. Lyonnaise des Eaux minta Bernard Lafrogne, warga Perancis yang bekerja
di Jakarta, membuka kantor perwakilan. Lafrogne seorang insinyur kelahiran
Vietnam, yang sekolah rekayasa air di Toulouse, Perancis Selatan. Ia pertama
kali datang ke Indonesia pada 1977, sewaktu bekerja untuk sebuah proyek Bank
Dunia. Ia lancar berbahasa Indonesia dan menikahi perempuan Indonesia. Ia tahu
betul isi perut PAM Jaya, karena ia sendiri pernah bekerja sebagai konsultan di
sana. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">“I was born in water and will die in the water,” kata Lafrogne pada
saya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Lyonnaise des Eaux mendekati CEO Salim Group, Anthony Salim. Salim
tertarik tapi ingin tahu lebih dulu cara mengatasi Sigit dan Thames Water.
Lafrogne menyarankan untuk membagi kue bisnis. “Jakarta is big enough for two
companies,” katanya, seraya menambahkan bahwa layanan air di Manila dan Paris
juga dijalankan oleh dua perusahaan. Anthony Salim sepakat dan menunjuk
koleganya, Iwa Kartiwa, untuk memimpin perundingan tersebut. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Kubu Inggris dan Perancis berharap instruksi Suharto dapat melancarkan
semua proses. Kenyataannya, instruksi itu memang membuka jalan, tapi juga
menjadi titik awal sederet perundingan rumit antara konsorsium swasta itu dan
PAM Jaya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">PAM Jaya secara teknis berada di bawah Departemen Pekerjaan Umum. Namun
PAM Jaya resminya dimiliki pemerintah Jakarta, sehingga para direkturnya juga
diangkat dan harus bertanggungjawab kepada gubernur. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Letnan Jenderal Surjadi Soedirdja, yang ketika itu menjabat gubernur
Jakarta, dikenal anak buahnya sebagai birokrat yang tegas dan bersih. Ia tak
pernah secara terbuka menyatakan opininya terhadap gagasan privatisasi PAM
Jaya. Meski terkesan mempertanyakan keputusan Suharto, ia justru menggunakan
segala peraturan agar privatisasi tersebut berlangsung sebaik mungkin. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Toh Surjadi harus bertanggungjawab pada atasannya, Menteri Dalam Negeri
Moh. Yogie S.M., yang lebih tunduk pada Suharto. Persoalan jadi lebih rumit,
karena utang luar negeri PAM Jaya, kebanyakan dengan Bank Dunia, ditandatangani
menteri keuangan. Alhasil PAM Jaya juga harus bertanggungjawab pada menteri
keuangan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Bank Dunia, mendukung, bahkan lebih tepat lagi mendesak, privatisasi
PAM Jaya. Namun Akira Nishigaki, presiden Overseas Economic Cooperation Fund,
secara pribadi pernah berbicara pada Rama Boedi, yang ketika itu menjabat
presiden direktur PAM Jaya, bahwa privatisasi itu “masih terlalu pagi.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Kebanyakan manajer PAM Jaya, termasuk Rama, juga bersikap kritis
terhadap rencana tersebut. PAM Jaya mempekerjakan sekitar 3.000 pegawai yang
cukup terorganisasi. Mereka mendesak konsorsium swasta untuk memberi fasilitas,
yang paling tidak setara dengan, yang mereka dapatkan dari PAM Jaya. Pendek
kata, perundingannya lumayan alot. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">“Saya ikut rapat pertama di Hotel Sahid Jaya,” kata Achmad Lanti,
mengacu pada pertemuan antara konsorsium dan tim pemerintah pada 12-15 Juni
1996. Masing-masing delegasi membawa lima anggota. Tim pemerintah
mengikutsertakan birokrat seperti Prawoto Danoemihardjo, Lanti dan Rama Boedi.
Sementara tim dari PT Garuda Dipta Semesta membawa Iwa Kartiwa serta Christian
Michelon dan Bernard Lafrogne dari Lyonnaise des Eaux. Tim PT Kekarpola Airindo
mengirimkan Fachry Thaib serta John Blair, Lindsey Dawes, dan Les Crowther dari
Thames Water. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Enam puluh persen saham PT Garuda Dipta Semesta dikuasai Salim Group
dan 40 persen sisanya dimiliki Lyonnaise des Eaux. Thames Water Overseas Ltd.
Memiliki 80 persen saham PT Kekar Thames Airindo, sedang 20 persen saham
menjadi milik perusahaan Sigit, PT Kekarpola Airindo. Menurut notulensi rapat
yang saya dapatkan, pertemuan tersebut menyimpulkan: <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">• Mereka bersepakat bahwa penanam modal swastalah yang bertanggung
jawab menyediakan dana dan memenuhi target-target teknis; <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">• PAM Jaya akan memantau pencapaian target-target teknis, tujuan dan
standar pelayanan, serta membuat rekomendasi seputar penentuan tarif air; <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">• PAM Jaya akan berdiskusi dengan lembaga pemerintahan terkait guna
menegakkan aturan untuk menutup sumur dalam yang ada di tempat-tempat yang
terdapat saluran pipa air bersih; <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">• Mereka akan membagi keuntungan; <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">• Pemilik modal akan menggunakan aset yang ada pada PAM Jaya namun
diskusi lebih jauh perlu dilakukan untuk membahas soal pemilikan aset baru dan
sebagainya; <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">• Para penanam modal sepakat bahwa 100 persen pegawai operasional PAM
Jaya akan dialihkan ke tangan penanam modal, dan di akhir tahun pertama, paling
tidak 80 persen dari pegawai pihak swasta adalah pegawai yang dialihkan
tersebut. PAM Jaya saat itu memiliki 3.053 pegawai dan hanya 250 orang yang
bekerja di kantor pusat (bukan staf operasional); <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">• PAM Jaya akan menyediakan daftar inventarisasi barang untuk
dipertimbangkan lebih lanjut oleh penanam modal; <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">• Mereka belum mencapai kata sepakat seputar tempat penyelesaian kalau
timbul pertikaian. PAM Jaya memilih Jakarta sementara para penanam modal
memilih negara ketiga; <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Kedua pihak menghabiskan lebih dari satu tahun untuk melakukan
perundingan. Pemerintah Jakarta mengirimkan sejumlah pejabat, termasuk di
antaranya Lanti, Danoemihardjo, juga Rama Boedi, untuk ikut serta dalam
perundingan lanjutan. Pengacara, akuntan, konsultan, insinyur, manajer dan
birokrat terlibat di dalam perundingan tersebut. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">“Kita itu rapat banyak sekali sampai saya lupa jumlahnya. Pindah itu
dari hotel ke hotel,” kata Lanti. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Kontrak tersebut akhirnya ditandatangani pada 6 Juni 1997.
Masing-masing pihak membubuhkan tanda tangannya di atas dokumen setebal 600
halaman yang terdiri dari sederet bagan, rumus-rumus penghitungan uang, dan
tabel-tabel. Gubernur Surjadi Soedirdja menandatangani sendiri kontrak-kontrak
tersebut. Sigit Harjojudanto juga hadir. Menurut Bernard Lafrogne dan Iwa
Kartiwa, ini kali pertama dan terakhir mereka melihat Sigit setelah tahun demi
tahun berlalu dalam proses perundingan ini. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Kontrak itu pada dasarnya berisi kesepakatan membagi laba selama 25
tahun. Pihak swasta wajib mengelola pasokan air baku sampai mengumpulkan uang
dari pelanggan PAM Jaya di seluruh Jakarta. Pihak swasta dapat memanfaatkan
aset milik PAM Jaya, mulai dari instalasi air sampai gedung perkantoran. Tapi
konsorsium swasta mesti membayar utang luar negeri PAM Jaya. Mereka juga harus
mempekerjakan 3.000 karyawan PAM Jaya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Tanggung jawab PAM Jaya adalah memantau kinerja konsorsium swasta. PAM
Jaya memantau target teknis dan standar pelayanan, serta menyusun rekomendasi
untuk menentukan kenaikan tarif air. Bila muncul pertikaian, mereka sepakat
membawanya ke pengadilan Singapura. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Kontrak ini menekankan bahwa lima tahun pertama adalah masa paling
penting. Kontrak tersebut dapat dikaji ulang bila konsorsium swasta tak
berhasil memenuhi target mereka, terutama seputar persyaratan teknis. Pada 1997
PAM Jaya memiliki 428,764 sambungan air dan menjual 191 juta meter kubik air.
Perusahaan ini melayani sekitar 43 persen populasi penduduk Jakarta, tapi 57
persen dari air tersebut dianggap air yang tak tertagih atau kebocoran (non
revenue water). <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Kontrak tersebut menggariskan bahwa selama lima tahun pertama,
konsorsium swasta harus bisa membangun 757.129 sambungan dan menjual 342 juta
meter kubik air. Cakupan pelayanan air bersih harus mencapai 70 persen dan air
yang tak tertagih harus turun ke angka 35 persen. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 0in;">
<strong><span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Target Teknis dalam Kontrak tahun 1997</span></strong><span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;"> <o:p></o:p></span></div>
<table border="1" cellpadding="0" cellspacing="0" class="MsoNormalTable" style="mso-cellspacing: 0in; mso-padding-alt: 0in 0in 0in 0in;">
<tbody>
<tr style="mso-yfti-firstrow: yes; mso-yfti-irow: 0;">
<td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 128.25pt;" valign="top" width="171">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<br /></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 56.25pt;" valign="top" width="75">
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">1998<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 57.0pt;" valign="top" width="76">
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">1999<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 57.0pt;" valign="top" width="76">
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">2000<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 57.0pt;" valign="top" width="76">
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">2001<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 57.0pt;" valign="top" width="76">
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">2002<o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 1;">
<td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 128.25pt;" valign="top" width="171">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Jumlah Sambungan <o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 56.25pt;" valign="top" width="75">
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">470.674<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 57.0pt;" valign="top" width="76">
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">571.776<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 57.0pt;" valign="top" width="76">
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">653.885<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 57.0pt;" valign="top" width="76">
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">711.003<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 57.0pt;" valign="top" width="76">
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">757.129<o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 2;">
<td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 128.25pt;" valign="top" width="171">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Cakupan pelayanan air bersih <o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 56.25pt;" valign="top" width="75">
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">49%<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 57.0pt;" valign="top" width="76">
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">57%<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 57.0pt;" valign="top" width="76">
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">63%<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 57.0pt;" valign="top" width="76">
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">67%<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 57.0pt;" valign="top" width="76">
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">70%<o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 3;">
<td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 128.25pt;" valign="top" width="171">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Air yang tak tertagih (non revenue water) <o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 56.25pt;" valign="top" width="75">
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">50%<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 57.0pt;" valign="top" width="76">
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">47%<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 57.0pt;" valign="top" width="76">
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">42%<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 57.0pt;" valign="top" width="76">
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">38%<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 57.0pt;" valign="top" width="76">
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">35%<o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 4; mso-yfti-lastrow: yes;">
<td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 128.25pt;" valign="top" width="171">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Volume penjualan (juta m3)<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 56.25pt;" valign="top" width="75">
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">210<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 57.0pt;" valign="top" width="76">
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">244<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 57.0pt;" valign="top" width="76">
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">281<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 57.0pt;" valign="top" width="76">
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">317<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 57.0pt;" valign="top" width="76">
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: center;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">342<o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Sumber: kontrak antara PAM Jaya dan konsorsium swasta<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Kontrak juga menegaskan bahwa penanaman modal swasta selama lima tahun
pertama harus mencapai Rp 732 miliar (US$318 juta dengan nilai tukar Rp 2.300
untuk satu dollar). Tarif air ditentukan DPRD Jakarta. Namun penyesuaian tarif
otomatis bisa juga terjadi setiap enam bulan, berdasarkan sebuah rumus
penghitungan yang kompleks, apabila DPRD Jakarta butuh waktu lebih lama lagi
untuk menaikkan tarif. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Bagaimana menilai kontrak yang rumit ini? <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Nila Ardhianie dari Indonesian Forum on Globalization menulis makalah
yang disampaikan dalam World Water Forum di Jepang pada Maret 2003, yang
menyebutkan bahwa privatisasi tersebut tanpa tender dan menuduh Bank Dunia
berperan penting. Nila mengatakan Bank Dunia telah mengucurkan sejumlah
pinjaman untuk penanganan air di Indonesia sejak 1968, termasuk di antaranya
$92 juta pinjaman untuk PAM Jaya pada 1991. Ironisnya, ketika pinjaman tersebut
usai pada 1998, yang terjadi justru privatisasi. Manajemen aset dan manajemen
operasional dialihkan ke kedua perusahaan tersebut. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">“Ini artinya PAM Jaya tak diberi kesempatan untuk menggunakan aset yang
dibangun berdasarkan pinjaman tersebut,” kata Nila. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Argumentasi Nila ada benarnya. Pada Oktober 1997 sebuah tim dari Bank
Dunia yang dipimpin ekonom Alain Locussol menerbitkan sebuah laporan berjudul
Indonesia Urban Water Supply Sector Policy Framework. Locussol merekomendasikan
sejumlah kebijakan untuk memprivatisasi sekitar 300 perusahaan air di seluruh
Indonesia. Ia mengusulkan agar pemerintah Indonesia memisahkan “pemilikan aset
dari manajemen mereka,” agar pemerintah daerah bisa memiliki aset seputar
pengelolaan air tapi tidak mengelola distribusi air. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Locussol berpendapat pemisahan semacam ini dapat mencegah “campur
tangan politik lokal” dalam manajemen air. Pemisahan juga membuka peluang bagi
swastanisasi. Ini juga memungkinkan “perusahaan pengelola” untuk membentuk
sinergi dengan perusahaan lain yang mengelola air di daerah yang berdekatan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Laporan Locussol mengundang kritik Stephanie Fried dari Environmental
Defense Fund yang berbasis di Washington DC. Fried menulis makalah yang
mempertanyakan laporan Lucossol. “Tidak satu pun dari analisis sepanjang 54
halaman itu yang menyebut nama-nama dari pemilik konsorsium swasta tersebut,”
tulis Fried. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Locussol tak menyebutkan kenyataan bahwa PAM Jaya telah diswastakan
dengan Sigit dan Salim. “Siapa yang memiliki kedua konsorsium swasta yang
disebut-sebut terus dalam laporan Bank Dunia ini?” Fried bertanya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Fried memaparkan bahwa PAM Jaya telah menerima pinjaman sebesar $92
juta dari Bank Dunia tapi Locussol tidak menyebut satu pun konsekuensi
finansial dan legal yang mengiringi privatisasi itu. “Kalau mengingat upaya-upaya
Bank Dunia untuk memerangi korupsi di Indonesia, mengapa tak ada analisis yang
detail tentang implikasi dari pengambilalihan sistem pasokan air bersih di
Jakarta ini dalam Implementation Completion Report –selain pernyataan bahwa
swastanisasi ini difasilitasi oleh proyek Bank Dunia dan lebih lanjut akan
merupakan pengembangan dari upaya penyediaan air bersih?” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Dari beberapa orang yang terlibat perundingan dengan pihak swasta, saya
mengetahui bahwa mereka rata-rata setuju dengan analisis Nila Ardhianie dan
Stephanie Fried. Mereka mengatakan saat perundingan berlangsung, pihak swasta
pernah minta, baik pada Sigit Harjojudanto atau Anthony Salim, untuk campur
tangan apabila ada butir-butir perundingan yang terhambat. Masalah manajemen
rekening escrow, misalnya, secara teoritis dimiliki bersama oleh konsorsium dan
PAM Jaya, tapi rekening ini justru dibuat agar sepenuhnya ada di bawah kendali
konsorsium swasta. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Achmad Lanti mengatakan Gubernur Surjadi bahkan mengancam undur diri
jika perusahaan-perusahaan internasional itu bersikeras memungut imbalan air
dari PAM Jaya dalam mata uang dollar Amerika, bukannya rupiah. Pihak konsorsium
swasta khawatir terhadap ancaman ini dan belakangan sepakat menggunakan rupiah.
<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Namun Surjadi ternyata setuju pencantuman klausul yang menyebutkan
bahwa bila terjadi kekurangan antara jumlah yang dibayar pelanggan (water
tariff) dan yang dikeluarkan konsorsium swasta (water charge), dan DPRD masih
membutuhkan waktu untuk membahas kenaikan tarif air yang baru, maka tarif tersebut
dapat naik secara otomatis. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Nila Andrianie memperkirakan privatisasi tersebut akan menimbulkan
banyak masalah, mulai dari isu-isu tenaga kerja sampai kepemilikan, “Saya
kuatir ketika masa konsesi ini berakhir, PAM Jaya tidak akan punya aset lagi karena
semua aset mereka akan habis untuk dipakai membayar utang.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">DESA </span></b><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US;">KEMUSUK MUNGKIN</span></b><span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US;"> </span><span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">tergolong desa kecil di
Pulau Jawa yang tak mempunyai masalah tentang air bersih serumit dan semahal
metropolitan macam Jakarta. Tapi di desa inilah, pada Juni 1921, lahir bayi
laki-laki, yang kelak akan menentukan masalah air bersih di kota Jakarta. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Suharto kecil dibesarkan dalam keluarga petani. Riwayat awal hidupnya
biasa-biasa saja. Pada awal 1940-an ia bergabung dengan sebuah organisasi
milisi sokongan Jepang. Namun Jepang kalah dalam Perang Dunia II dan Suharto
jadi gerilyawan melawan tentara kolonial Belanda, yang hendak merebut kembali
Hindia Belanda. Pada 1949 para pejuang kemerdekaan ini mendapatkan pengakuan
dunia internasional sebagai negara merdeka. Mereka mengumumkan berdirinya
Republik Indonesia di bawah kepemimpinan Sukarno. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Namun Sukarno bukanlah seorang manajer yang efisien. Sukarno juga
cenderung memberi angin pada gerakan kiri. Pada tahun 1965, di puncak Perang
Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, Mayor Jenderal Suharto merebut
kekuasaan dari tangan Sukarno. Rezim militer Suharto membantai lebih dari
500.000 pendukung Sukarno. Suharto memusatkan kekuasaan di tangannya. Ia
mengundang Bank Dunia untuk membantu pembangunan Indonesia dan membuka pasar
Indonesia serta sumber daya alamnya ke tangan perusahaan-perusahaan
internasional. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Pada 1970-an Suharto menunjuk kroni-kroninya, kebanyakan pengusaha
Indonesia keturunan Tionghoa seperti Sudono Salim, pendiri Salim Group, ayah
Anthony Salim, untuk merintis pembangunan ekonomi Indonesia. Bisnis mereka
meroket seiring dengan eksploitasi cadangan minyak bumi Indonesia. Ekonomi
Indonesia tumbuh sekitar tujuh sampai delapan persen per tahun. Di akhir
1980-an, saat keenam anaknya dewasa, Suharto mulai meletakkan sederet bisnis
besar Indonesia ke tangan anak-anaknya, termasuk Sigit. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Pada zaman Suharto, perusahaan-perusahaan internasional biasanya
mengalami kesulitan menanam modal dalam jumlah besar bila belum membangun
kemitraan dengan kroni-kroni Suharto. Rekanan macam itu dibutuhkan untuk
mengatasi hambatan birokrasi. Keluarga Suharto sendiri jadi rekanan diam.
Mereka semata-mata meminjamkan pengaruh. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Suharto menjalankan pemerintahan dengan efisien. Mereka yang ada di
pihak oposisi ditekan. Pers dikontrol lewat berbagai macam perizinan. Serikat
buruh dan petani dikendalikan negara. Militer dan organisasi politik disatukan
di bawah Suharto. Tak seorang pun mampu menantang Suharto selama nyaris tiga
dekade. Sejumlah akademisi Barat menyebut Suharto memimpin Indonesia layaknya
seorang sultan Jawa. Ia pendiam, sulit ditebak, dan ahli dalam menjalankan
politik dan intrik. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Tak ada benteng yang selamanya kokoh, begitu pula pemerintah Suharto.
Pada Juli 1997, atau sebulan setelah Thames Water dan Lyonnainse des Eaux
menandatangani kontrak air, spekulan valuta asing menghajar bath Thailand
kemudian rupiah. Krisis di Asia mulai bergulir dan krisis politik merebak di
Indonesia. Huru-hara pecah di berbagai daerah seiring naiknya harga beras,
minyak goreng, gula, susu dan sebagainya. Beberapa bulan kemudian, Suharto
mengundang International Monetary Fund (IMF) untuk membantu pemerintahannya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Tetapi anak-anak dan sanak saudaranya menampik sederetan rekomendasi
IMF, termasuk di antaranya menutup bank-bank milik mereka yang tak sehat.
Langkah ini justru memperkeruh krisis. Bambang Trihatmodjo, adik kandung Sigit,
menyilahkan Bank Andromeda miliknya ditutup tapi ia segera mendirikan Bank
Alfa. Probosutedjo, adik tiri Suharto, yang banknya juga ditutup, bersama-sama
Bambang menggugat pemerintah ke pengadilan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Pada Oktober 1997, Suharto menunjuk Sutiyoso, mantan komandan militer
Jakarta, untuk menggantikan Gubernur Surjadi Soerdirdja. Langkah ini mencipta
suasana baru dalam lingkaran urusan air. Berbeda dengan Surjadi yang hati-hati,
Sutiyoso yang kurang berpengalaman, bersedia mengawal kepentingan keluarga
Suharto tanpa ragu. Tak lama kemudian, Menteri Dalam Negeri Yogie S.M.
meresmikan kontrak tersebut sehingga langkah pengambilalihan PAM Jaya tinggal
soal waktu. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Pada 1 Februari 1998, di tengah menajamnya tekanan politik dalam negeri
dan krisis ekonomi, kontrak air ini pun praktis dimulai. Dini hari itu, belasan
eksekutif PT Kekar Thames Airindo, baik ekspatriat maupun lokal, mendatangi
kantor-kantor PAM Jaya dan instalasi air di sebelah timur Jakarta yang ada
dalam kontrol mereka. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">“Saya senang sekali. John Hurcom berkeliling hingga pagi,” kata Rhamses
Simanjuntak, seorang eksekutif PT Kekar Thames Airindo, mengacu pada atasannya
yang asal Inggris. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Sementara itu krisis ekonomi makin lama makin parah. Suharto mencoba
segala cara untuk mempertahankan diri. Menantunya yang temperamental, Letnan
Jenderal Prabowo Subianto, memerintahkan anak buahnya untuk menculik, menyiksa,
dan diduga juga membunuh sejumlah aktivis. Anak-anak Suharto menggenjot
kampanye lewat media dengan “Aku Cinta Rupiah.” Di awal Mei 1998, empat
mahasiswa Jakarta ditembak mati dalam sebuah demonstrasi di Jakarta. Peristiwa
tersebut memicu gelombang anti Suharto di seluruh negeri. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Para mahasiswa pun mulai menduduki gedung parlemen. Sejumlah politisi
menunjukkan sikap menentang Suharto. Para jurnalis pun menentukan sikap.
Beberapa petinggi di sejumlah stasiun televisi, yang dimiliki keluarga Suharto,
mengabaikan instruksi para pemilik mereka. Televisi ikut mengobarkan semangat
melawan Suharto. Karyawan PAM Jaya ikut serta dalam gelombang protes tersebut.
Parlemen minta Suharto untuk mundur. Suharto terpojok. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Akhirnya, Kamis 21 Mei 1998 di Istana Merdeka di jantung kota Jakarta,
Suharto membaca sebuah pernyataan pendek di depan kamera televisi. Ia
menyatakan bahwa dirinya mengalihkan kekuasaannya ke Wakil Presiden B.J.
Habibie. Dengan suara bersalut duka, pemimpin yang kini pucat pasi menyatakan
diri mundur saat itu juga. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Banyak orang Indonesia terkesima menyaksikan pidato Suharto. Bocah
Kemusuk yang saat itu berusia 77 tahun, telah berkuasa atas negara berpenduduk
nomor empat terbesar di dunia selama 33 tahun. B.J. Habibie, insinyur pesawat
terbang didikan Jerman, secepatnya diambil sumpah dan Suharto diam-diam undur
diri ke dalam limusin bersama Siti Hardiyanti Rukmana, putri sulungnya,
meninggalkan istana. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Di luar euforia mulai meledak. Ribuan mahasiswa, yang tengah menduduki
gedung parlemen, mencucurkan air mata gembira. Ada yang menceburkan diri ke
dalam kolam air mancur, merayakan kemenangan mereka. Peristiwa ini kemudian
bergema ke seluruh negeri kepulauan ini. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Di kantor pusat PAM Jaya, para manajernya ikut senang tapi juga cemas.
Kebakaran melalap sejumlah gedung di Jakarta. Ribuan pusat perbelanjaan, rumah,
dan bangunan kantor, terutama yang dimiliki warga Indonesia keturunan Cina,
dijarah dan dibakar. Lebih dari 2.500 orang meninggal dunia, kebanyakan para
penjarah yang terperangkap dalam bangunan yang terbakar. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">“Apa yang akan terjadi bila kerusuhan jalan terus? Bayangkan kota
Jakarta tanpa air?” kenang presiden direktur PAM Jaya Rama Boedi, yang tidur di
kantor selama seminggu di tengah kerusuhan berlangsung. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Saya beberapa kali mewawancarai Rama Boedi. Dia seorang insinyur
lulusan ITB. Ia pecinta ilmu bela diri. Tubuhnya berotot dan mendapat julukan
“Rambo” –plesetan dari karakter film Hollywood yang diperankan Sylvester
Stallone. Kata “rambo” juga gabungan dari dua suku kata pertama namanya
“Ra(ma)-Boe(di).” Rambo yang satu ini mendapat telepon bertubi-tubi dari
sejumlah manajer PAM Jaya, menanyakan apa yang seharusnya mereka lakukan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">“Stok bahan kimia ini cuma cukup tiga hari. Apa harus berhenti dulu
nih?” tanya Djoni Heryanto, manajer instalasi air di Buaran, Jakarta Timur. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">“Pak ini gimana?” tanya yang lain. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Tak mudah bagi Rama untuk menjawab. Kedua tangannya terbelenggu. Baru
tiga bulan yang lalu, operasi PAM Jaya dialihkan ke tangan konsorsium swasta. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Jajaran manajer PAM Jaya ini juga cemas, karena orang Prancis dan
Inggris telah melarikan diri dari Jakarta. Sejumlah kedutaan besar
negara-negara Barat, termasuk Perancis dan Inggris, sebelumnya telah mendesak
warganya untuk meninggalkan Jakarta. Bos-bos Lyonnaise des Eaux dan Thames
Water juga tergopoh-gopoh kabur dari Jakarta, yakin bahwa mitra lokal mereka
dapat menangani pengelolaan tersebut selama mereka tidak ada. “Mereka bahkan
tidak menelepon saya,” kata Rama. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Rama memutuskan untuk mengirimkan laporan ke Gubernur Sutiyoso, pada
hari Jumat, atau sehari sesudah pengunduran diri Suharto. Sutiyoso langsung
mengeluarkan instruksi tertulis, minta Rama Boedi untuk mengambil
langkah-langkah guna mengamankan layanan air dan “apabila perlu mengambil alih
pengelolaan tersebut sepenuhnya guna mengisi kekosongan.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Keesokan harinya Rama mengundang Iwa Kartiwa dan Fachry Thaib,
masing-masing presiden direktur PT Garuda Dipta Semesta dan PT Kekar Thames
Airindo, bersama beberapa pembantu mereka, agar datang ke markas besar PAM
Jaya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Pertemuan tersebut mulai sekitar pukul 10 pagi dan berlangsung di
sekeliling meja bundar dalam ruang rapat PAM Jaya. Belasan petinggi dan manajer
PAM Jaya datang dalam pertemuan tersebut. Di luar ruang pertemuan, para
karyawan menggelar demonstrasi. “Situasinya tegang sekali,” kenang Efendy
Napitupulu, seorang manajer PAM Jaya, seraya berkata bahwa sejumlah orang di
dalam dan di luar ruang pertemuan diduganya membawa pistol di balik jaket
mereka. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Rama Boedi mengatakan bahwa ia memulai rapat itu dengan menyampaikan
secara singkat pada Iwa dan Fachry tentang instruksi Sutiyoso dan meminta
mereka menandatangani dokumen penyerahan kembali pengelolaan air ke tangan PAM
Jaya. Ia tak bisa menyembunyikan kekecewaannya terhadap para ekspatriat Inggris
dan Perancis. Fachry dan Iwa keberatan. Terjadi perdebatan antara Rama dan
Fachry Thaib. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">“Gila ya? Mana orang-orang Anda?” tanya Rama. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">“Di Singapore.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Iwa dan Fachry mencoba sebisa mungkin agar tetap tenang. Fachry sendiri
sudah pindah sementara ke sebuah hotel bintang lima demi menghindar dari
penjarahan di bilangan tempat tinggalnya. Euforia anti-Suharto masih memanas.
Jelas bahwa Iwa dan Fachry paham posisi mereka saat itu. Merekalah kroni
Suharto yang kini jadi sasaran tembak. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Rama Boedi mencoba meredakan ketegangan dengan membawa Iwa dan Fachry
ke kantornya yang ada di sebelah ruang pertemuan. Beberapa staf inti mengikuti
Rama. Fachry dan Iwa akhirnya sepakat untuk menandatangani selembar dokumen,
yang secara resmi menyerahkan kembali pengelolaan air ke tangan PAM Jaya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Pukul 03.05 mereka meninggalkan ruangan. Iwa, Fachry dan rekan-rekan mereka
keluar lewat pintu belakang menghindari para karyawan yang sedang
berdemonstrasi. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">“Terhitung sejak Sabtu pengelolaan sudah ada di tangan saya,” kenang
Rama Boedi. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Pada hari Senin, lebih dari 3.000 karyawan PAM Jaya berkumpul di kantor
pusat PAM Jaya, mengelu-elukan Rama Boedi dan meneriakkan, “Hidup Rambo, hidup
Rambo.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Di depan karyawannya Rama berbicara. “Lebih baik bagi kita untuk
menghentikan kerja sama dengan pihak swasta karena tak menguntungkan PAM Jaya.
Saya dengan ini membatalkan kerja sama!” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">“Hidup Rambo, hidup Rambo,” seru para karyawan. Sebagian dari mereka
memandu Rama di atas pundak mereka. Mereka larut dalam suasana jatuhnya Suharto
sekaligus hilangnya perusahaan internasional yang selama ini membuat PAM Jaya
tak berdaya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Namun euphoria ini tidak bertahan lama. Para ekspatriat Inggris dan
Prancis menganggap pengambilalihan tersebut ilegal. Dalam sebuah memo internal
Lyonnaise des Eaux, yang diberikan Lafrogne kepada saya, mereka menyebut
peristiwa tersebut sebagai “kudeta.” Para ekspatriat tersebut kembali ke
Jakarta dan menuntut PAM Jaya menaati kontrak hukum. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">John Hurcom dan Bernard Lafrogne menanggap tanda tangan Iwa dan Fachry
dibuat di bawah tekanan. Artinya, pengambilalihan itu harus dibatalkan. Tapi
Hurcom dan Lafrogne juga sadar bahwa mereka harus lebih realistis. Mereka
melihat gelombang sentimen anti-Suharto muncul di mana-mana. Orang
berlomba-lomba melucuti apa pun yang ada kaitannya dengan keluarga Suharto.
Selama Suharto berkuasa, koneksi dengan Suharto dipandang sebagai aset. Kini
aset tersebut tak lagi menguntungkan. Sutiyoso menyatakan bahwa
perusahaan-perusahaan internasional itu dapat mempertahankan kontrak-kontrak
mereka asalkan lepas dari Salim Group dan Sigit Harjojudanto. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Rambo terjepit di antara bosnya dan dua raksasa internasional itu. Pada
1 Juni 1998, tepat satu minggu setelah pidato kemenangannya, Rambo tak berdaya
menandatangani sebuah dokumen yang menyatakan bahwa kedua perusahaan
internasional tersebut akan membeli saham dari kroni Suharto. Kedua perusahaan
internasional itu kemudian memang melepaskan Salim Group dan PT Kekar Pola
Airindo. Mereka juga sepakat merundingkan ulang kontrak tersebut, dengan
mengakui bahwa kontrak pertama dibuat secara tak adil. Rambo tak bisa berbuat
apa-apa. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Zainal Abidin, seorang aktivis serikat pekerja di PAM Jaya, mengatakan
pada saya bahwa para karyawan seketika itu juga kehilangan rasa hormat mereka
pada Rama. “Minggu sebelumnya kita pikir dia pahlawan. Pidatonya keras sekali,
bilang kita harus bela PAM Jaya. Banyak yang menggotong dia. Sekarang dia
kembali ke orang asing itu.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">“Pak Rama Boedi pasti frustasi sekali. Dia orang PAM Jaya sejak lulus
sekolah. Mimpinya memang jadi direktur PAM Jaya. Dia pikir dia bisa
mengembangkan PAM Jaya dan mengubahnya jadi perusahaan yang baik. Ketika
akhirnya dia jadi direktur, perusahaan diprivatisasi. Secara psikologis dia
tidak senang,” kata Lafrogne. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Lafrogne mengatakan pada saya bahwa Iwa Kartiwa orang jujur, sederhana,
dan sangat profesional. “Dia sedih sekali ketika proyek ini diambil,” kata
Lafrogne, menambahkan bahwa Salim Group pada awalnya, lepas dari segala
keuntungan berlimpah yang datang dari perusahaan-perusahaan mereka,
berkeinginan untuk memberikan sesuatu untuk masyarakat Jakarta. Anthony Salim
berpendapat layanan air bersih adalah pilihan yang ideal. Tapi kini Suharto
sudah lengser dan hidup harus jalan terus tanpa Suharto maupun ...
kroni-kroninya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">KALAU </span></b><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US;">ANDA BERKENDARA</span></b><span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US;"> </span><span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">sepanjang sebuah ruas
jalan Jakarta menuju batas sebelah timur, Anda harus siap berjuang menghadapi
pengemudi bis yang ugal-ugalan, metro mini yang berisik, kemacetan lalu lintas,
pengemudi motor yang seenaknya sendiri, dan perempatan jalan yang kacau balau,
agar bisa sampai ke sebuah jalan yang membentang di sepanjang sungai Kali
Malang. Perjalanan ini akan membawa Anda menuju satu dari instalasi air bersih
terbesar di Jakarta. Penduduk setempat menamainya instalasi air Buaran yang
merupakan sebuah kompeks yang luas dengan bangunan-bangunan mirip barak
militer, tanki-tanki air besar, pipa berbagai ukuran dan penjagaan keamanan.
Saya mengujungi Buaran akhir Desember lalu untuk bertemu dengan Efendy
Napitupulu dan Taufik Sandjaja, dua aktivis Serikat Pekerja Air Minum (SPAI),
bersama dengan sejumlah rekan kerjanya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">SPAI adalah yang terbesar dari empat serikat pekerja yang ada di PAM
Jaya. Mereka berkumpul di satu kantor kecil dengan dua kamar, terletak di
sebelah kios kecil yang menjajakan minuman ringan, makanan kecil, aspirin, dan
rokok. Perempuan yang menjaga kios menyajikan sebotol teh botol dingin untuk
saya. Sementara itu, para aktivis itu merokok tak putus-putus sepanjang
wawancara berlangsung. “Ini makin susah berhenti! Ada banyak masalah khan!”
keluh Napitupulu. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Napitupulu termasuk pentolan SPAI. Dia dan empat aktivis lainnya
dipecat manajemen PT Thames PAM Jaya, nama baru PT Kekar Thames Airindo,
agaknya gara-gara aktivisme mereka. Menariknya, mereka cukup berpendidikan.
Napitupulu sendiri bergelar MBA. Mereka berlima mengadukan pemecatan lewat
prosedur hukum ketenagakerjaan dan mereka menang. Mereka pun “ditransfer” dari
PT Thames PAM Jaya kembali ke PAM Jaya untuk menjalani “program pembinaan”
--artinya mereka tak diberi pekerjaan yang jelas. Masih banyak yang bernasib
serupa. Sebagian besar aktivis ini mengatakan tertunda gaji bulanannya. Di Buaran,
seorang aktivis mengatakan gajinya baru dibayar setelah 16 bulan. Salah satu
pemimpin mereka bahkan meninggal dan seorang lagi kena stroke. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Aktivis-aktivis macam inilah, Napitupulu, Taufik, dan sebagainya, yang
mengorganisasi sebagian besar aktivitas serikat pekerja sejak jatuhnya Suharto
pada Mei 1998. Mereka menggerakkan demonstrasi di jalan-jalan, bahkan
kadang-kadang sampai mengelas pintu gudang-gudang PAM Jaya, demi memprotes
konsorsium swasta. Mereka juga mendesak manajemen PAM Jaya untuk bersikap keras
dengan konsorsium. Tahun lalu lebih dari 1.000 karyawan PAM Jaya mengajukan
gugatan hukum terhadap PAM Jaya dan kedua perusahaan swasta, gara-gara
pekerjaan mereka terancam. Kasus tersebut masih ada di tangan pengadilan negeri
Jakarta Pusat. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">“Sampai lupa jumlah demonya … banyak sekali,” kata Taufik. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Aksi-aksi mereka menarik perhatian media. Taufik juga berkunjung ke
berbagai kantor media untuk memberi informasi kepada para editor. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">“Saya ketemu Pak Bambang dan cerita soal PAM Jaya,” ujar Feri Watna,
seorang insinyur Buaran, mengacu pada Bambang Harymurti, pemimpin redaksi
majalah Tempo, yang pernah dua kali menurunkan laporan panjang dalam rubrik
bernama “Investigasi” tentang privatisasi PAM Jaya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Seorang pemimpin serikat pekerja yang merasa geram bahkan pernah
mengancam Lafrogne dengan sebilah pisau. Lafrogne melaporkannya kepada polisi.
Idris Mansuri membantah bahwa ia serius melakukan tindakan tersebut. Indri
mengatakan pada saya bahwa “normal” bagi orang Betawi untuk membawa-bawa pisau
ke mana-mana. Polisi menutup kasus ini setelah Idris minta maaf. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Situasi macam inilah, yang mungkin tak nyaman, yang dihadapi RWE Thames
Water dan Ondeo Service setelah Suharto lengser. Indonesia mungkin sudah jadi
sebuah demokrasi walau chaos. Anthony Salim dan Sigit Harjojudanto tersingkir
dan serikat buruk makin punya gigi. RWE Thames Water dan Ondeo tak punya
pilihan selain merundingkan ulang kontrak pertama yang dibuat pada 1997. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Presiden B.J. Habibie sendiri tak banyak menaruh perhatian pada PAM
Jaya. Perhatian Habibie tersita oleh isu lain, termasuk Timor Timur dan
penyelenggaraan pemilihan umum. Pada 1999 Habibie mengijinkan PBB melangsungkan
referendum di bekas jajahan Portugis yang diduduki rezim Suharto sejak 1975.
Warga Timor Timur memilih merdeka. Sementara di Aceh meletus pemberontakan
bersenjata yang serius. Penduduk Papua juga menuntut kemerdekaan. Selain itu
Habibie masih harus menghadapi tuduhan sebagai orang yang melindungi Suharto
dari tangan hukum. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Pada Oktober 1999 Habibie kalah suara dari Abdurrahman Wahid dalam
pemilihan presiden. Indonesia memasuki masa demokratisasi yang jauh lebih
kompleks. Wahid berupaya keras mendorong program demokratisasi. Ia memecat
jenderal-jenderal nakal bahkan menjanjikan referendum di Aceh. Ia bicara dengan
para pemberontak melalui telepon dan mendengarkan keluhan mereka. Wahid
bertahan 20 bulan sebelum ia diberhentikan dari kursi kepresidenan pada Juli
2001. Wahid seorang cendekiawan liberal dan aktivis pro-demokrasi, tapi bukan
seorang manajer yang baik. Wakilnya, Megawati Soekarnoputri, mengambil alih
kendali. Hamzah Haz, ketika itu menjabat menteri, menjadi wakil presiden. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Apa yang bermula sebagai protes terhadap privatisasi kemudian
mengerucut menjadi persoalan gaji. Presiden Wahid memutuskan kenaikan gaji pegawai
negeri saat ia menjabat. Karyawan PAM Jaya memandang diri mereka “pegawai
negeri.” Tapi setelah mereka bekerja untuk RWE Thames Water dan Ondeo Service,
mereka sadar bahwa penghasilan mereka sekitar 30 persen lebih rendah
dibandingkan dengan gaji kolega mereka yang masih bekerja untuk PAM Jaya. “Kami
baru sadar itu ada sekitar 200 yang masih kerja di PAM Jaya lebih enak mereka,”
ujar Napitupulu. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Demonstrasi yang terus-menerus bagaimana pun juga mengganggu manajemen
konsorsium. Pada periode tersebut, kalau Anda mengunjungi kantor PAM Jaya di
mana pun, Anda akan melihat suasana kerjanya mencemaskan. Ada karyawan yang mau
bekerja dengan manajemen baru namun lebih banyak lagi yang bekerja sejauh
mereka tak melanggar hukum. Sutiyoso belakangan memecat Rama Boedi. Alasannya
tak jelas. Banyakyang menduga lantaran Rama tak mendukung privatisasi dan
diam-diam memberi angin pada para demonstran. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Pihak konsorsium juga mendapat masalah baru dengan munculnya DPRD yang
lebih bertaring. Bulan Desember 1999, Edy Waluyo, ketua DPRD Jakarta,
melayangkan surat pada Sutiyoso, menyampaikan bahwa perundingan ulang dengan
konsorsium hanya bisa dilaksanakan sampai Februari 2000, “Jika negosiasi tak
bisa selesai per 1 Februari 2000, kerja sama harus dibatalkan.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Buru-buru Sutiyoso mendesak orang-orangnya untuk mempercepat proses
perundingan. Tim baru bergerak lebih cepat sekaligus membujuk DPRD untuk
meredam tuntutannya. Di sisi lain, Sutiyoso juga menolak permintaan konsorsium
agar ia mengusulkan kenaikan tarif air. Air adalah isu politik yang peka. Orang
bisa hidup tanpa listrik, tanpa telepon, atau tanpa jalanan mulus, tapi tanpa
air mereka akan menderita sekali. Sutiyoso enggan memancing kemarahan rakyat
selagi dirinya, sebagai kaki tangan Suharto, masih digugat banyak orang. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Pada 28 Februari 2000, ketika sudah jelas bahwa perundingan tak mungkin
tuntas, Edy Waluyo melayangkan surat lagi, memberi Sutiyoso tambahan waktu.
Ternyata perundingan berjalan jauh lebih lambat. Sutiyoso terpaksa setuju
menaikkan tarif air sebesar 35 persen pada April 2001. Perundingan kedua
ternyata sama panjangnya seperti yang pertama. Baru pada 22 Oktober 2001
kontrak kedua, ditandatangani oleh PAM Jaya dan pihak swasta. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Kedua perusahaan internasional pun berganti nama. Sembilan puluh lima
persen saham PT Thames PAM Jaya maupun PT PAM Lyonnaise Jaya dimiliki
perusahaan induk mereka di London dan Paris. Dua perusahaan Indonesia,
masing-masing PT Terra Metta Phora dan PT Bangun Cipta Sarana, hanya punya hak
saham lima persen. Kedua pemegang saham minoritas asal Indonesia ini adalah
sub-kontraktor dari kedua konsorsium. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Kontrak kedua mencakup 13 perubahan besar. Semula masing-masing
konsorsium swasta memiliki kontrol atas rekening escrow. Mereka dapat menarik
uang dari rekening tersebut tanpa persetujuan PAM Jaya. Prioritas penggunaan
rekening adalah untuk biaya operasi pihak swasta. Mulanya, PAM Jaya juga tak
dapat menelaah laporan keuangan pihak swasta. Kini semua itu berubah. Sebuah
badan regulator dibentuk. Ketuanya tak lain adalah Achmad Lanti, pensiunan
pegawai negeri, yang dulunya terlibat dalam perundingan pertama. <o:p></o:p></span></div>
<div style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 0in;">
<strong><span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Perbedaan antara kontrak tahun 1997 dan 2001</span></strong><span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;"> <o:p></o:p></span></div>
<table border="1" cellpadding="0" cellspacing="0" class="MsoNormalTable" style="mso-cellspacing: 0in; mso-padding-alt: 0in 0in 0in 0in;">
<tbody>
<tr style="mso-yfti-firstrow: yes; mso-yfti-irow: 0;">
<td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 83.25pt;" valign="top" width="111">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<br /></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 166.5pt;" valign="top" width="222">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Juni 1997<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 162.75pt;" valign="top" width="217">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Oktober 2001<o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 1;">
<td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 83.25pt;" valign="top" width="111">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Sumur dalam<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 166.5pt;" valign="top" width="222">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">PAM Jaya bertanggung jawab menutup sumur dalam yang
banyak dipakai oleh hotel dan pabrik di Jakarta. <o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 162.75pt;" valign="top" width="217">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Konsorsium menutup sumur dalam bekerja sama dengan
dinas pertambangan dan energi.<o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 2;">
<td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 83.25pt;" valign="top" width="111">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Pembelian<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 166.5pt;" valign="top" width="222">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Tender terbuka untuk pembelian di atas US$ 5 juta.
Kontraktor kecil dan mengenah PAM Jaya merasa dirugikan.<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 162.75pt;" valign="top" width="217">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Tender terbuka di atas Rp 500 juta (sekitar $50,000
dengan nilai tukar saat itu).<o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 3;">
<td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 83.25pt;" valign="top" width="111">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Pasokan air baku<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 166.5pt;" valign="top" width="222">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">PAM Jaya bertindak sebagai pemasok air baku ke
konsorsium, jika PAM Jaya tak mampu melakukannya, pihak konsorsium bisa
mencari air baku dari sumber lain dan PAM Jaya harus membayar selisih harga.<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 162.75pt;" valign="top" width="217">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Pihak swasta berurusan langsung dengan Perum Jasa
Tirta, PDAM, Tangerang, dan PDAM Bogor, yang biasa memasok air baku ke
Jakarta. Pihak swasta harus membayar PAM Jaya selisih harga yang dulu dibayar
PAM Jaya ke pihak swasta antara 1 Februari 1998 dan penandatanganan kontrak
baru (Oktober 2001).<o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 4;">
<td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 83.25pt;" valign="top" width="111">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Karyawan <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<br /></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 166.5pt;" valign="top" width="222">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Karyawan PAM Jaya tetap berstatus pegawai negeri
namun dipinjamkan ke konsorsium <o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 162.75pt;" valign="top" width="217">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Karyawan PAM Jaya jadi karyawan konsorsium .Sebuah
panel untuk mengurus sengketa perburuhan akan dibuat. <o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 5;">
<td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 83.25pt;" valign="top" width="111">
<h2 style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 0in;">
<span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-fareast-language: EN-US;">Supervisi</span><span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;"><o:p></o:p></span></h2>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 166.5pt;" valign="top" width="222">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">PAM Jaya tak bisa mengambil data dari pihak swasta,
tak ada sanksi yang jelas bila pihak swasta tak memenuhi target, juga tak
jelas siap yang melakukan supervisi terhadap konsorsium, hanya auditor
independen yang bisa memeriksa keuangan konsorsium <o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 162.75pt;" valign="top" width="217">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Supervisi PAM Jaya tak bisa mengambil data dari
pihak swasta, tak ada sanksi yang jelas bila pihak swasta tak memenuhi
target, juga tak jelas siap yang melakukan supervisi terhadap konsorsium,
hanya auditor independen yang bisa memeriksa keuangan konsorsium Sebuah badan
regulator dibentuk dan bersama PAM Jaya, mereka bisa memeriksa keuangan pihak
swasta, ada sanksi dan penalti bila pihak swasta tak memenuhi atau terlambat
memenuhi berbagai ketentuan.<o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 6;">
<td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 83.25pt;" valign="top" width="111">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<i><span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Escrow account</span></i><span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;"><o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 166.5pt;" valign="top" width="222">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Pihak swasta bisa mengambil uang dari rekening
bersama tanpa persetujuan PAM Jaya. Prioritas penggunaan escrow account ada
pada biaya operasi konsorsium <o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 162.75pt;" valign="top" width="217">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Pihak swasta bisa mencairkan uang dengan persetujuan
PAM Jaya dan prioritas adalah membayar utang PAM Jaya <o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 7;">
<td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 83.25pt;" valign="top" width="111">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Imbalan air (water charge) <o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 166.5pt;" valign="top" width="222">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Harga imbalan air naik otomatis tiap enam bulan
dengan persetujuan DPRD Jakarta, dan jika ada keterlambatan, selisihnya harus
dibayar PAM Jaya, dan tak ada sistem untuk mengingatkan PAM Jaya bila bakal
ada selisih <o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 162.75pt;" valign="top" width="217">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Tarif air direkomendasikan oleh PAM Jaya maupun
pihak swasta kepada Badan Regulator. Badan Regulator inilah yang akan
berurusan dengan DPRD Jakarta dalam menaikkan tarif air. Selisih sebelumnya
akan diaudit oleh BPKP dan pihak swasta harus membayar PAM Jaya <o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 8;">
<td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 83.25pt;" valign="top" width="111">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Perselisihan <o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 166.5pt;" valign="top" width="222">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Mekanisme tiga tingkat: musyawarah, mediasi oleh pakar,
dan pengadilan internasional di Singapura <o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 162.75pt;" valign="top" width="217">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Mekanisme empat tingkat: musyawarah, mediasi oleh
Badan Regulator, mediasi oleh para pakar, dan pengadilan baik di Jakarta atau
Singapura <o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 9; mso-yfti-lastrow: yes;">
<td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 83.25pt;" valign="top" width="111">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;"> Badan Regulator <o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 166.5pt;" valign="top" width="222">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">PAM Jaya melakukan supervisi terhadap pihak swasta <o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 162.75pt;" valign="top" width="217">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">PAM Jaya dan Badan Regulator melakukan supervisi <o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Sumber: Kontrak tahun 1997 dan 2001 antara PAM Jaya dan konsorsium
swasta.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Namun bagi karyawan PAM Jaya, kontrak kedua lebih merugikan mereka.
Kontrak ini menyatakan bahwa hanya ada “status tunggal” bagi karyawan. Mereka
harus memilih: jadi pegawai konsorsium atau menerima “golden hand shake”
–istilah halus untuk pemecatan. Dengan kata lain, kontrak kedua ini bisa
menjadi dasar pemecatan besar-besaran. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">“Saya mulai curiga ketika melihat status kerja,” kata Efendy
Napitupulu. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Bernard Lafrogne mengatakan bahwa pada 1998 mereka mulai beroperasi
dengan nisbah 7,72 pekerja per 1.000 sambungan air. Pada 2001 nisbah tersebut
turun jadi 4,71 pekerja. “Jika kita lihat pada Malaysia atau Manila, sekitar
tiga orang saja sudah cukup, perusahaan akan lebih efisien.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Taufik Sandjaja menjelaskan, jumlah pegawai telah turun dari 3.000
menjadi 2.200 pada Desember 2003, seraya menambahkan bahwa setengah dari mereka
yang memilih meninggalkan PAM Jaya terpaksa mengambil uang pesangon. Namun
1.110 dari 2.200 yang tertinggal itulah yang mengajukan gugatan hukum melawan
PAM Jaya dan konsorsium. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Dalam wawancara dengan para aktivis di kantor kecil mereka di Buaran,
saya bertanya, “Mana dari kedua operator tersebut yang lebih baik?” Ini memang
bukan pertanyaan mudah karena kedua perusahaan bekerja sama dengan erat dan
berkomunikasi secara rutin. Tapi para aktivis itu rata-rata menyatakan PT PAM
Lyonnaise Jaya lebih memahami budaya lokal daripada PT Thames PAM Jaya milik
RWE Thames Water. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Saya bertanya apa beda Thames Water dulu dengan manajemen RWE Thames
Water sesudah merger? “Ada kemajuan sejak mereka dengan RWE. Masih pola lama,
tapi mereka berusaha membentuk satu komunitas di karyawan, dikondisikan agar
mau bekerja sama dalam menunjang policy kepegawaian. Misalnya, alih status dari
karyawan PAM menjadi karyawan mereka. Buntutnya rasionalisasi. Ujung-ujungnya
rasionalisasi,” kata Taufik, yang berstatus tenaga pemasaran PT PAM Lyonnaise
Jaya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Ponimin, aktivis SPAI yang lain, mengatakan bahwa tak banyak kebijakan
yang berubah. Itulah alasan mereka melancarkan gugatan hukum. “Ini ide kita
semua. Semua sudah kita lewati, Departemen Tenaga Kerja, Gubernur dan
sebagainya. Untuk mencari keadilan, kami masuk ke pengadilan, untuk dapat
kekuatan hukum. Dulu ada Foska PAM Jaya tapi sifatnya lobby-lobby saja. Ada
jawaban, tapi ya cuma omongan. Lalu kita bikin SPAI,” kata Ponimin. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Persoalan tak berpusar pada tarik urat leher semata. Ada juga tawaran
yang menggiurkan. Taufik menyodorkan sebuah contoh. Satu kali ia “ditawari”
memimpin bagian perburuhan PT Thames PAM Jaya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">“Saya tolak tentu,” katanya, “Itu khan namanya berkhianat?” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Dari Buaran, saya punya kesan yang campur aduk tentang Napitupulu dan
rekan-rekannya. Bagaimana pun mereka berjuang untuk sebuah cita-cita, yang
mungkin tak sepenuhnya bisa dimengerti orang, terutama mereka yang berada di
Bank Dunia atau perusahaan air, tapi saya melihat mereka banyak berkorban untuk
cita-cita mereka. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">RHAMSES </span></b><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US;">SIMANJUNTAK BEKERJA</span></b><span style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US;"> </span><span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">dari sebuah ruang yang
lapang di lantai 29 gedung Danamon Aetna di Jalan Sudirman, kawasan bisnis
paling mahal di Jakarta. Ia seorang lelaki paruh baya dengan rambut keperakan
dan badan besar. Ketika saya menemuinya Desember lalu, ia sedang bekerja dengan
laptop mungilnya di meja kerja yang tertata rapi. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">“Duduk dulu. Saya selesaikan pekerjaan sedikit,” katanya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Simanjuntak adalah salah seorang tokoh yang paling berpengaruh untuk
urusan air bersih di Jakarta. Ia direktur PT Thames PAM Jaya yang mengurusi
“external relations and communication”. Artinya, ia orang Thames Water yang
bertugas menghadapi DPRD Jakarta, pejabat PAM Jaya, orang Badan Regulator, para
aktivis, juga wartawan seperti saya. Ia satu-satunya orang Indonesia yang duduk
di dewan direksi konsorsium tersebut. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Dulu Simanjuntak seorang akuntan. Pada Agustus 1996 ia memutar haluan
yang mengubah seluruh jalan hidupnya. Ia memutuskan bergabung dengan PT
Kekarpola Thames Airindo. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">“Ya, saya cuma cari pekerjaan dan bergabung di sini. Biasa saja,” kata
Simanjuntak, seraya menambahkan bahwa ia serta merta ikut mempersiapkan
privatisasi PAM Jaya. Simanjuntak banyak membantu Fachry Thaib, orang
kepercayaan Sigit, dalam melakukan perhitungan privatisasi. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Ia juga saksi mata pengambilalihan PAM Jaya pada Februari 1998, juga
saksi krisis ekonomi yang kemudian memuncak seiring kejatuhan Presiden Suharto.
Namun, Simanjuntak bisa tetap bercokol di posisinya saat orang Indonesia lain,
termasuk Fachry dan Iwa Kartiwa, harus angkat kaki dari bisnis air ini. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Efendy Napitupulu mengatakan bahwa Simanjutak menanjak dari yang
tadinya “naik Mikrolet” menjadi naik “Land Cruiser” yang mahal. Menurut Budi
Saroso, mantan rekan Simanjuntak di PT Kekar Thames Airindo, yang ikut
terpental dari perusahaan itu sesudah jatuhnya Suharto, “Rhamses tidak join
(proyek) dari awal. Dia gabung di tengah-tengah perundingan. Keahliannya
finance. Tapi dia kerja untuk Thames, tidak pada kita, karena masalah keuangan
ada pada Thames.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Simanjuntak menerangkan panjang lebar pada saya bahwa RWE Thames Water
punya komitmen jangka panjang di Indonesia, dengan mengatakan bahwa proyek air
bersih di Jakarta ini adalah satu-satunya proyek Thames Water di Indonesia.
Mereka ingin bisnis ini berhasil. “Bahkan saat krisis ekonomi dan politik,
komitmen Thames Water tetap terjaga,” katanya. Thames Water terus
mempertahankan komitmen mereka di Jakarta sejak kontrak 1997. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Simanjuntak mengatakan, RWE Thames Water punya bisnis lain di kawasan
ini, yang dikendalikan baik dari Singapura maupun Australia, tapi nilainya
relatif kecil dibandingkan dengan modal pada PT Thames PAM Jaya. Sejak 1997
perusahaannya telah menanamkan modal sebesar Rp 434 milyar dan berencana untuk
menanamkan lebih banyak lagi sampai di atas Rp 1 trilyun pada 2007 nanti. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Ketika saya bertanya mengapa Thames Water awalnya bekerja sama dengan
Sigit Harjojudanto dan memanfaatkan pengaruh Sigit dalam perundingan, ia
langsung menepis dugaan adanya permainan. Ia mengatakan perundingan pertama itu
memang alot, “Kalau memang ada kemudahan, mengapa kita negosiasi hingga satu
tahun lebih?” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Lantas bagaimana menilai kinerja konsorsium ini? Hingga Desember 2003
atau bulan terakhir dari lima tahun pertama kontrak 25 tahun yang mereka
dapatkan, baik PT Thames PAM Jaya maupun PT PAM Lyonnainse Jaya, berhasil
melakukan konsolidasi terhadap sebagian besar jaringan PAM Jaya. Mereka secara
drastis memangkas jumlah karyawan. Mereka juga bekerja sama dengan BCA, bank
swasta terbesar Indonesia, untuk memberikan fasilitas pembayaran air pada para
pelanggan lewat ATM. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">RWE Thames Water sempat menghadapi masalah yang memalukan ketika proyek
bantuan Bank Dunia mereka di kawasan kumuh, Marunda, sebelah utara Jakarta,
berantakan. Pada Juli dan Agustus 2003, sejumlah warga Marunda mengadakan
demonstrasi atas buruknya layanan air di sana. Perusahaan Inggris-Jerman ini
awalnya berniat membangun jaringan distribusi pipa ke Marunda. Namun tekanan
air yang rendah dan kurangnya daya tekan pompa membuat air mengalir pelan ke
Marunda. Buntutnya, warga Marunda protes. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Menurut data Badan Regulator, baik RWE Thames Water dan Ondeo telah
meningkatkan sambungan air dari sekitar 428,764 pada 1997 ke hampir 650,000
pada Desember 2003. Cakupan layanan air bersih pun meningkat dari 43 persen
pada 1997 menjadi 53 persen pada 2003. Penjualannya juga meningkat dari 191
juta ke 255 juta meter kubik air. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Simanjuntak mengatakan PT Thames PAM Jaya secara khusus meningkatkan
sambungan di sebelah timur Jakarta dari 268,000 pada 1997 menjadi 320,000 pada
2001 dan kemudian 336,550 pada 2003. Artinya, terjadi peningkatan sebesar 26
persen dalam waktu lima tahun pertama. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Secara umum layanan jelas lebih baik, terutama untuk daerah-daerah
kelas menengah dan elit di Jakarta seperti Pondok Indah dan Kemang, tapi
perusahaan internasional tersebut gagal memenuhi target-target teknis
sebagaimana tertera dalam kontrak tahun 1997. Volume yang terjual pada bulan
Desember 2003 adalah 255 juta meter kubik air. Padahal targetnya 342 juta.
Mereka bisa melayani 53 persen penduduk Jakarta sementara targetnya adalah 70
persen. Mereka berhasil menekan tingkat air tak tertagih menjadi 47 persen,
sedang targetnya adalah 35 persen. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Achmad Lanti dari Badan Regulator mengatakan bahwa sekitar 40.000
sampai 45.000 dari total sambungan sekitar 650.000 memiliki layanan buruk,
mulai dari tak setetes pun air mengalir sampai tekanan air yang rendah seperti
di Marunda. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">“Kami dapat banyak laporan, air hanya mengalir dua atau tiga jam
sehari,” kata Lanti. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Pendek kata, dalam hal kualitas dan kuantitas, konsorsium gagal
memenuhi target. “Saya bilang pada mereka namun mereka membantah. Mereka tidak
percaya pada temuan Badan Regulator sehingga harus diundang tim pakar untuk
melakukan evaluasi,” lanjutnya. <o:p></o:p></span></div>
<div style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 0in;">
<strong><span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Perbandingan antara Target dan Pencapaian
(2003)</span></strong><span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;"> <o:p></o:p></span></div>
<table border="1" cellpadding="0" cellspacing="0" class="MsoNormalTable" style="mso-cellspacing: 0in; mso-padding-alt: 0in 0in 0in 0in;">
<tbody>
<tr style="mso-yfti-firstrow: yes; mso-yfti-irow: 0;">
<td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 96.0pt;" valign="top" width="128">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<br /></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 61.5pt;" valign="top" width="82">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Target<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 63.75pt;" valign="top" width="85">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">RWE Thames Water<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 63.75pt;" valign="top" width="85">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Ondeo Service<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 70.5pt;" valign="top" width="94">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Pencapaian<o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 1;">
<td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 96.0pt;" valign="top" width="128">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Jumlah sambungan<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 61.5pt;" valign="top" width="82">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">757,129<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 63.75pt;" valign="top" width="85">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">336,550<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 63.75pt;" valign="top" width="85">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">312,879<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 70.5pt;" valign="top" width="94">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">649,429<o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 2;">
<td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 96.0pt;" valign="top" width="128">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Cakupan pelayanan air bersih<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 61.5pt;" valign="top" width="82">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">70%<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 63.75pt;" valign="top" width="85">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">62.17%<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 63.75pt;" valign="top" width="85">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">44.17%<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 70.5pt;" valign="top" width="94">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">53.17%<o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 3;">
<td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 96.0pt;" valign="top" width="128">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Air tak tertagih (non revenue water)<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 61.5pt;" valign="top" width="82">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">35%<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 63.75pt;" valign="top" width="85">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">48.28%<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 63.75pt;" valign="top" width="85">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">45.3%<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 70.5pt;" valign="top" width="94">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">46.79%<o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 4; mso-yfti-lastrow: yes;">
<td style="border-left: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-right-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 96.0pt;" valign="top" width="128">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Volume terjual (juta m3)<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 61.5pt;" valign="top" width="82">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">342<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 63.75pt;" valign="top" width="85">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">128.96<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="padding: 0in 0in 0in 0in; width: 63.75pt;" valign="top" width="85">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">126.2<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-right: none; border: inset 1.0pt; mso-border-bottom-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-left-alt: inset windowtext .75pt; mso-border-top-alt: inset windowtext .75pt; padding: 0in 0in 0in 0in; width: 70.5pt;" valign="top" width="94">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">255.16<o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Sumber: Kontrak 1997 dan data dari Badan Regulator pada 2003<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Pengeluaran mereka juga memicu kritik. Atjeng Sastrawidjaja dari Badan
Pemeriksa Keuangan Publik (BPKP) Jakarta menulis dalam sebuah laporan pada Mei
2000 bahwa biaya operasional dari perusahaan internasional tersebut terlalu
tinggi. Mereka menyewa kantor-kantor baru di dua gedung di kawasan bisnis
Jakarta, termasuk kantor Simanjuntak, ketimbang memanfaatkan aset PAM Jaya yang
ada. Gaji para ekspatriat pun relatif tinggi. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Sejumlah ekspartriat digaji sekitar US$100,000 atau sekitar Rp 800 juta
per tahun di luar fasilitas penunjang lainnya, termasuk mobil dan tunjangan
keluarga. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">“Kita tak tahu persis jumlahnya satu per satu tapi angka $100,000 bisa
dilihat dari anggaran mereka,” kata Alizar Anwar, direktur eksekutif Badan
Regulator. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Simanjuntak membela diri dengan mengatakan bahwa sewa gedung Danamon
Aetna tersebut relatif murah akibat devaluasi rupiah, “Orang bilang kita bayar
terlalu mahal atau mobilnya terlalu mewah. Tapi kita toh harus tahu mereka ini
expatriates harus hidup sesuai dengan standar hidup mereka di negeri asalnya.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Ketika saya menanyakan pertemuan Duta Besar Richard Gozney dengan Wakil
Presiden Hamzah Haz, Simanjuntak mengatakan bahwa ia tak banyak tahu ide
awalnya. Pertemuan itu kemungkinan besar gagasan John Trew, atasannya. Tapi
Simanjuntak menekankan logika kenaikan tersebut, “Penyesuaian itu diperlukan
untuk menutup inflasi yang membuat harga listrik, bahan kimia, dan gaji
karyawan naik, maupun investasi.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Achmad Lanti juga mendukung kenaikan tarif karena consumer price index
(CPI) naik sebesar 156 persen dari Februari 1998 sampai Januari 2004.
Sementara, total kenaikan tarif air sebelumnya sebesar 18, 25 dan 40 persen,
masih lebih rendah dibandingkan indeks tadi. CPI adalah sebuah indeks untuk
mengukur kenaikan harga barang-barang dan layanan jasa. Angka ini juga mengukur
laju inflasi. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Walau setuju kenaikan tarif air, Lanti mempertanyakan biaya operasi
konsorsium itu. Apa benar-benar masuk akal? Ia menyebutkan bahwa sangat sulit
membangun kepercayaan dalam kerja sama yang sudah berlangsung sejak 1997 ini.
Baik PAM Jaya maupun pihak swasta saling tak percaya, bahkan untuk data dasar
sekalipun mereka sering berbeda pendapat. Lebih buruk lagi, kedua pihak,
terutama pihak konsorsium, juga tidak memercayai Badan Regulator, sampai pada
titik keduanya sepakat mengundang pihak ketiga, “tim pakar internasional” untuk
datang ke Indonesia dan menghitung semuanya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Satu dari sejumlah pertikaian adalah soal hitung-hitungan. PAM Jaya
menyatakan total utangnya pada konsorsium sekitar Rp 600 milyar, sedangkan
Thames Water dan Ondeo mematok angka total Rp 900 milyar. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Dalam kontrak 2001, kedua pihak sepakat bila terjadi pertikaian, mereka
akan menggunakan mekanisme empat tingkat: (1) musyawarah; (2) mediasi lewat
Badan Regulator; (3) pakar internasional; (4) peradilan baik di Jakarta atau
Singapura. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Ternyata mereka tak bisa bermusyawarah. Perbedaan pendapat dengan Badan
Regulator muncul setelah lembaga itu mempertanyakan efisiensi pemakaian uang
oleh pihak swasta. Tapi laporan tersebut disanggah konsorsium. “Ya tidak
apa-apa bukan? Kita punya alasan kita sendiri,” kata Simanjuntak. Akhirnya,
mereka sepakat mengundang sebuah perusahaan Amerika untuk mengadakan penelitian
selama setahun. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Sutiyoso jarang mengungkapkan pendapatnya tentang kontroversi PAM Jaya
ini, tapi satu kali ia mengatakan pada wartawan bahwa ia menyewa konsultan dari
Singapura untuk mempelajari kontrak tersebut. Para konsultan mengatakan ada 11
butir dari kontrak tahun 2001 yang jelas-jelas menguntungkan pihak konsorsium,
“Salah satunya adalah ketentuan bahwa tarif air harus naik setiap enam bulan
sekali.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Rama Boedi mengatakan, ia tak menentang privatisasi. Tapi seharusnya
privatisasi dipersiapkan dengan lebih baik. Menurutnya, Presiden Suharto
terlalu tergesa-gesa dan mengambil jalan pintas. Dalam perenungannya, Rama juga
menyesali mengapa kedua perusahaan raksasa itu mengambil cara bekerja sama
dengan kroni-kroni Suharto. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">“Mereka perusahaan besar, mereka tak perlu menggunakan cara-cara kotor
dalam negosiasi awal itu,” kata Rama. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Namun susah juga menilai orang macam Bernard Lafrogne sebagai karakter
yang jahat. Lafrogne akrab dengan Indonesia. Ia meyakini bahwa keterlibatan
orang Indonesia adalah metode penting untuk mengelola bisnis air. Ondeo membawa
pengetahuan dan ketrampilan, sementara mitra Indonesia mereka memberikan
sentuhan lokal. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Sekarang keadaan makin sulit. Kalau mekanisme “pakar internasional” tak
bisa menyelesaikan sengketa, langkah selanjutnya adalah pengadilan. Achmad
Lanti menjelaskan kalau sampai pihak swasta angkat kaki dari Jakarta, maka
pemerintah harus mengeluarkan uang sekitar Rp 3 triliun untuk mengganti
keseluruhan biaya investasi dan kerugian para investor, plus membayar 50 persen
dari keuntungan yang diproyeksikan pihak swasta sepanjang sisa masa berlakunya
kontrak. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Angka tersebut hanya perkiraan dan harus disetujui kedua pihak, PAM
Jaya dan pihak swasta, kalau memang pihak swasta harus angkat kaki. Namun
berapa pun angkanya, kelihatannya tak ada jalan keluar yang mulus untuk
sengketa air ini, dan apa pun yang terjadi, tak sulit untuk meramal bahwa yang
paling bakal dirugikan adalah seluruh warga Jakarta. Mereka akan rugi karena
pelayanan air bisa terganggu dan lebih rugi lagi karena uang merekalah yang
akan dipakai membayar petualangan ini. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Sebelum meninggalkan kantornya, saya bertanya pada Rhamses Simanjuntak,
apa yang ia senangi dari bisnis air ini. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">“Semua orang butuh air. Ini komoditi yang dibutuhkan semua orang. Ini
adalah komitmen hidup saya. Saya mau pensiun di sini,” kata Simanjuntak. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">Saya hanya diam, tapi setuju pada ucapannya. Bisnis air, bila dikelola
dengan modal besar dan didukung kekuatan politik yang kuat, adalah bisnis yang
menjanjikan. Tak heran kalau Simanjuntak merasa aman.* <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;">Catatan: <o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;">Naskah ini pada awalnya adalah
liputan investigasi Andreas Harsono untuk International Consortium of
Investigative Journalists, sebuah proyek konsorsium para wartawan investigasi
sedunia yang didirikan oleh Center for Public Integrity, pada 1997. Harsono
memang salah satu dari dua orang warga Indonesia, yang jadi anggota konsorsium
tersebut. Naskah ini, yang dikerjakannya selama setahun penuh, diturunkan
bersama naskah-naskah lain yang memantau aktivitas privatisasi air di seluruh
muka bumi, mulai Amerika Latin, Eropa sampai Afrika. Liputan ICIJ ini
memenangkan sejumlah penghargaan internasional. Tahun 2003, Harsono membawanya
ke sidang Asien Haus di Jerman dan mempresentasikannya dalam judul "Water
Privatization". Beberapa bulan kemudian, pada awal 2004, ICIJ mengizinkan
majalah </span></i><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;">Pantau<i style="mso-bidi-font-style: normal;"> untuk memuatnya dalam versi bahasa
Indonesia. </i>Pantau<i style="mso-bidi-font-style: normal;"> meminta bantuan
Gita Widya Laksmini untuk menerjemahkannya. Rencananya, naskah ini akan
diterbitkan pada Maret 2004 dalam judul "Diplomasi Air Kotor, Investasi
Air Besar". Sungguh sayang, majalah </i>Pantau<i style="mso-bidi-font-style: normal;"> keburu berhenti terbit. Oleh Harsono, naskah kemudian dialihkan ke
majalah </i>Gatra<i style="mso-bidi-font-style: normal;"> dan dimuat dalam salah
satu edisi bulan Mei 2004 dengan judul "Dari Thames ke Ciliwung" yang
dipecah-pecah ke dalam beberapa naskah sidebar.<o:p></o:p></i></span></div>niyajurnalismhttp://www.blogger.com/profile/06954668729158334229noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-3557989725118876812.post-45216814068321323072012-01-17T00:30:00.001-08:002012-01-17T00:30:34.288-08:00cara mempersiapkan naskah<br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt; text-align: center;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-size: 11.0pt;">Bagaimana
Mempersiapkan Suatu Naskah?<o:p></o:p></span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt; text-align: center;">
<span style="font-size: 11.0pt;">Oleh Andreas Harsono<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-size: 11.0pt;">ARITA</span></b><span style="font-size: 11.0pt;"> Soenarjono, mantan wartawan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">TVRI</i>
dan kini ibu rumahtangga di <st1:place w:st="on"><st1:state w:st="on">New York</st1:state></st1:place>,
pernah<i style="mso-bidi-font-style: normal;"> chatting</i> dengan saya. Dia
mengatakan paling sulit menulis berita. Ini lebih sulit dari menulis esai,
katanya. Terutama bikin <i style="mso-bidi-font-style: normal;">lead</i>, susah <i style="mso-bidi-font-style: normal;">banget.</i> <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt;">Keluhan
Arita, saya kira, keluhan banyak orang. Bagaimana sih mempersiapkan sebuah
naskah? Bagaimana caranya bikin naskah <i style="mso-bidi-font-style: normal;">hard-news</i>?
Feature? Bagaimana menulis kolom opini? Atau bagaimana cara menulis buku?<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt;">Menulis
bisa diibaratkan membangun rumah. <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Ada</st1:city></st1:place>
rumah bambu, dibuat sehari selesai. <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Ada</st1:city></st1:place>
rumah dari batu bata dan genteng, mungkin perlu waktu sebulan. <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Ada</st1:city></st1:place> juga rumah bertingkat
dari beton, butuh waktu setahun. Naskah mana yang hendak Anda bangun? Naskah
rumah bambu? Naskah rumah beton? Atau naskah gedung pencakar langit? <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt;">Banyak
naskah hanya memerlukan satu atau dua jam. Sekarang, lewat <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Blackberry</i>, saya sering lihat reporter mengetik naskah dan
mengirimkan ke ruang redaksi ketika peristiwa sedang berlangsung. Mungkin hanya
15-30 menit. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Wooossssshhh.</i> Dan <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">lima</st1:city></st1:place> menit kemudian sudah
online. Namun, ada juga naskah yang perlu waktu lama. Wartawan Neil Shehan
menulis buku <i style="mso-bidi-font-style: normal;">A Bright Shining Lie: John
Paul Vann and America in Vietnam</i> (1988) selama 16 tahun!<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt;">Lantas
daerahnya di mana? Bikin apartemen di Manhattan, New York, yang penuh sesak, tempat
Arita tinggal, tentu memerlukan sikap berbeda dari bikin rumah di Namlea, yang
penduduknya cuma 109.000 orang di seluruh Pulau Buru. Jumlah penduduk <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Manhattan</st1:city></st1:place> 1,6 juta orang
dengan kepadatan 27,500 orang per kilometer persegi. Logikanya, orang tak
perlu-perlu amat membangun gedung bertingkat di Namlea karena harga tanah
murah. Sebaliknya, Anda bisa dibilang gila bila membangun rumah satu tingkat di
Times Square, <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Manhattan</st1:place></st1:city>!
<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt;">Artinya,
Anda tak perlu bikin buku untuk suatu subjek yang tak begitu penting. Anda
cukup bikin berita pendek, bukan sebuah buku, untuk melaporkan sebuah pertemuan
pers.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt;">Namun
mau bikin naskah apapun, entah berita pendek 30 menit atau
buku-16-tahun-pembuatannya, saya kira, seorang wartawan lebih dulu perlu bikin
riset dan perlu melakukan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">interview. <o:p></o:p></i></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt;">Riset
diperlukan agar Anda tahu apa yang sudah dikerjakan orang terhadap isu yang
hendak dikerjakan. Jangan bikin sesuatu tanpa sadar bahwa ada wartawan lain
yang sudah mengerjakannya. Apalagi sekarang sudah ada google. Minimal bisa
google dengan cepat. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt;">Tergantung
perlu seberapa dalam, riset bisa memerlukan banyak buku, menghabiskan banyak
waktu dan membutuhkan pengendapan. Saya pribadi menghabiskan waktu tiga tahun untuk
membaca buku-buku dan dokumen-dokumen penting tentang Acheh sebelum akhirnya
merasa mengerti cukup soal Gerakan Acheh Merdeka dan Hasan di Tiro,
walinanggroe Acheh. Memahami Papua ternyata perlu waktu lebih lama lagi. Saya
perlu pengendapan enam tahun. Papua jauh berbeda—secara sejarah, kebudayaan,
politik, pergerakan, botani, zoologi dan sebagainya—dari Aceh maupun Jawa.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt;">Sebaliknya,
suatu berita cepat juga tak memerlukan riset panjang. Tapi selalu lakukan riset
sebelum pergi liputan. Berhati-hatilah dengan pertemuan pers. Pertemuan pers
selalu dirancang agar mereka bisa membuat wartawan mengikuti arah pemberitaan
mereka. Pertemuan pers ibaratnya <i style="mso-bidi-font-style: normal;">menyuapi</i>
alias <i style="mso-bidi-font-style: normal;">spoon feeding</i> wartawan. Jangan
mau disuapi. Usahkan untuk makan sendiri. Berpikirlah secara kritis dalam pertemuan
pers. Berpikir kritis memerlukan riset awal. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;">
<i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-size: 11.0pt;">Interview</span></i><span style="font-size: 11.0pt;">
sangat vital dalam pembuatan naskah. Interview akan membuat seorang wartawan
tahu aspek-aspek kebaruan dalam suatu isu. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Interview
</i>bukan pekerjaan mudah. Saya suka dengan “Ten Tips For Better Interview”
dari <st1:place w:st="on"><st1:placename w:st="on">International</st1:placename>
<st1:placetype w:st="on">Center</st1:placetype></st1:place> for Journalists. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt;">Interview
<i style="mso-bidi-font-style: normal;">one-on-one </i>berbeda dengan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">door-stop interview</i>. Banyak sekali yang
boleh dan yang tak boleh dalam interview. Interview juga senantiasa harus
terbuka … kecuali dalam kasus tertentu. Wartawan yang terlatih akan biasa
membuat pertanyaan terbuka. Bukan pertanyaan tertutup, yang bisa dijawab “ya”
atau “tidak.” Pertanyaan terbuka senantiasa dibuat dengan memperhatikan 5W 1H (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">what, where, who, when, why, how</i>).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt;">Saya
juga tak mau menulis bila sumbernya tidak cukup. Narasumber tidaklah cukup bila
hanya satu orang. Sering saya merasa geli bila membaca sosok seseorang, entah
di suratkabar atau majalah, dan sumbernya hanya satu orang … ya si sosok itu
sendiri. Bagaimana si reporter bisa melihat sosok itu dari sudut lain bila dia
cuma interview orang yang di-sosok-kan? <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt;">Saya
kira, sumber satu orang hanya cocok untuk <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Facebook</i>
atau <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Twitter</i>! <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt;">Panjang-pendeknya
naskah juga mempengaruhi persiapan. Makin banyak bahan yang didapat, biasanya,
saya makin leluasa untuk menulis panjang. Makin sedikit bahan, sebaliknya, ya
makin pendek pula hasilnya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt;">Tapi,
harus ingat pula, rumah kecil juga bisa indah dan mahal. Artinya, disain
interior selalu bisa dimainkan agar sebuah rumah kecil menjadi tinggi nilainya.
Naskah pendek juga bisa bernilai tinggi karena ia dikerjakan dengan bahan-bahan
dan alat-alat yang mahal. Goenawan Mohamad menulis esai “The Death of Sukardal”
dengan indah, bertenaga walau hanya 470 kata (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">Tempo</i>, Juli 1986). <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt;">Bila
sudah riset dan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">interview</i>, maka
naskah sudah bisa disiapkan penulisannya. Ibaratnya, bahan-bahan dasar sudah
siap—lokasi, modal, baja, semen dan lain-lain—maka bangunan pun bisa mulai
digambar. Tentukan dulu mau dijadikan naskah piramida terbalik, naskah feature,
esai atau narasi?<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt;">Piramida
terbalik, yang menjadi masalah Arita Soenarjono, pada dasarnya adalah menaruh
sebanyak mungkin unsur 5W 1H pada alinea pertama. Apa yang terjadi, di mana,
siapa yang terlibat, bagaimana, kapan dan mengapa? <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt;">Pembaca
harus bisa mendapatkan informasi hanya dengan membaca alinea-alinea awal. Makin
ke bawah, alinea dari struktur ini makin kurang penting. Struktur naskah ini
bisa ditinggalkan pembaca—tanpa harus selesai. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt;">Artinya,
<i style="mso-bidi-font-style: normal;">lead</i> atau alinea pertama bisa
merangkum isi naskah. Saya beri contoh dari <i style="mso-bidi-font-style: normal;">lead</i>
sebuah naskah saya “BIN Menyewa Perusahaan Lobby <st1:state w:st="on"><st1:place w:st="on">Washington</st1:place></st1:state>” (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">Pantau</i>, September 2006):<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .5in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .5in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt;">Badan
Intelijen Negara (BIN) memakai yayasan sosial milik mantan presiden Abdurrahman
Wahid untuk menyewa sebuah perusahaan di <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Washington</st1:city>
<st1:state w:st="on">DC</st1:state></st1:place> sejak Mei 2005. Maksudnya,
mendekati tokoh-tokoh penting Kongres agar menghapus semua hambatan bantuan dan
pelatihan militer Amerika untuk <st1:place w:st="on"><st1:country-region w:st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place>.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .5in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt;">Sementara
untuk penulisan feature, saya biasa memperhatikan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">focus</i>, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">angle</i> dan outline
lebih dulu. Fokus adalah titik perhatian dari naskah itu. Ia berupa sebuah
pertanyaan, lagi-lagi, dari unsur 5W 1H. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt;">Misalnya,
“Apa yang terjadi di Sungai Dareh pada Januari 1958?” Atau “Mengapa anak muda
membuat Sastra Minahasa?” Benedict Anderson pernah menulis sebuah feature soal
Soeharto berjudul “Petrus Dadi Ratu.” Fokus feature itu pada Presiden Soeharto.
Petrus singkatan “penembak misterius”—sebuah upaya pembunuhan teratur yang
dilakukan militer <st1:place w:st="on"><st1:country-region w:st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place>
pada 1983 guna membunuh orang-orang yang dianggap penjahat. “Petrus Dadi Ratu”
plesetan dari lakon wayang “Petruk Dadi Ratu.” Maknanya, ya seorang pembunuh
misterius <i style="mso-bidi-font-style: normal;">dadi</i> atau <i style="mso-bidi-font-style: normal;">jadi </i>Presiden <st1:place w:st="on"><st1:country-region w:st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place>. <st1:city w:st="on">Anderson</st1:city>
menyebut Soeharto sebagai “preman” dari Kemusuk, sebuah dusun di <st1:place w:st="on">Yogyakarta</st1:place>. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;">
<i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-size: 11.0pt;">Angle</span></i><span style="font-size: 11.0pt;"> adalah
titik masuk. Anda harus mencari sesuatu yang segar, yang belum dikerjakan
wartawan lain, untuk masuk dalam feature Anda. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Outline</i> adalah kerangka karangan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt;">Alinea
awal suatu feature juga tak perlu sepadat piramida terbalik. Saya pernah
menulis suatu feature, “Panasnya Pontianak, Panasnya Politik” (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">Gatra</i>, Juli 2008). Menurut beberapa
wartawan Pontianak, termasuk Nur Iskandar dari <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Borneo Tribune</i> dan Andi Fahrizal dari <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Jurnal Nasional</i>, naskah itu dijadikan pembicaraan seluruh warung
kopi Pontianak ketika <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Gatra</i> beredar.
Warung kopi, kebanyakan dikelola orang Tionghoa, adalah media khas <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Pontianak</st1:city></st1:place>. Ini ajang
diskusi berbagai kelompok, dari politikus, wartawan, birokrat sampai preman.
Mereka tersebar dari Jl. Gajah Mada hingga Jl. Tanjung Pura, dari Sungai Jawi
sampai Sungai Raya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt;">Alinea
pembuka feature itu sederhana saja: <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .5in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt;">Awalnya
acara tahlilan. Ia diadakan satu keluarga Melayu, di Gang Tujuhbelas No. 4.
Rumahnya tembok dan atap seng, dalam sebuah lorong, sepanjang kurang lebih 100
meter, di daerah Tanjung Pura, pusat kota Pontianak.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .5in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt;">Ketika
Mei lalu saya mengunjunginya, lorong ini terkesan asri, jalanan semen cor.
Rumah dua lantai atau tiga lantai, ada juga yang rumah kayu. Andrew Yuen,
seorang wartawan yang dibesarkan di sini pada 1990an, mengatakan nama
“tujuhbelas” muncul karena dulu hanya ada 17 rumah.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt;">Esai
dan narasi juga memerlukan persiapan sama dengan menulis piramida terbalik dan
feature. Bedanya, pesiapan narasi tentu lebih lama dari lainnya. Pada esai,
tentu saja, Anda perlu punya kemampuan analisis yang tajam. Anda perlu membaca
buku-buku teoritis hingga pisau analisis dibuat dengan lebih tajam. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt;">Saya misalnya, menganjurkan
wartawan untuk baca beberapa buku klasik sebelum berkunjung ke Banda Aceh.
Misalnya, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Perang di Jalan Allah: Perang
Aceh 1873-1912</i> oleh Alfian Ibrahim (1987), "Shock Therapy"
Restoring Order in Aceh, 1989-1993” oleh Amnesty International (1993) maupun
karya-karya Anthony Reid, Denys Lombard, M. Isa Sulaiman, Otto Syamsuddin
Ishak, Snouck Hurgronje, Tim Kell Otto dan sebagainya. Saya kira wartawan wajib
membaca tiga karya utama Hasan di Tiro: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">The
Case and the Cause of the National Liberation Front of Acheh-Sumatra,</i> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">The Legal Status of Acheh-Sumatra Under
International Law </i>serta biografinya <i style="mso-bidi-font-style: normal;">The
Price of Freedoms: The Unfinished Diary of Tengku Hasan di Tiro.</i> <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt;">Kalau liputan politik di <st1:place w:st="on"><st1:country-region w:st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place>,
rasanya, seorang wartawan harus belajar soal pemikiran di bidang nasionalisme
lewat Benedict Anderson, Ernest Renan dan lain-lain. Saya juga ingin wartawan
belajar sejarah—bukan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">sejarah-sejarahan</i>
karya “pakar sejarah <st1:place w:st="on"><st1:country-region w:st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place>”—dan
hasil riset bermutu. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt;">Narasi
biasa dipakai untuk naskah panjang, mulai dari 5.000-7.500 kata. Roy Peter
Clark dari Poynter Institute, <st1:place w:st="on"><st1:state w:st="on">Florida</st1:state></st1:place>,
mengembangkan pedoman standar 5W 1H menjadi pendekatan baru. Pada narasi, “who”
berubah menjadi siapa, “what” menjadi plot atau alur narasi, “where” menjadi <i style="mso-bidi-font-style: normal;">setting</i>, “when” menjadi kronologi, “why”
menjadi motivasi, dan “how” menjadi narasi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;">
<span style="font-size: 11.0pt;">Struktur
naskah juga makin hari makin bertambah ragamnya. Seorang wartawan harus
senantiasa membaca, termasuk karya-karya rujukan, agar mampu mengikuti
perkembangan dalam teknik penulisan. <o:p></o:p></span></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt; text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt; text-align: right;">
<st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-size: 11.0pt;">Jakarta</span></i></st1:place></st1:city><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-size: 11.0pt;">, 2009<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>niyajurnalismhttp://www.blogger.com/profile/06954668729158334229noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3557989725118876812.post-15890356244985679962012-01-17T00:13:00.000-08:002012-01-17T00:13:07.384-08:00ini sebuah kehormatan<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: 15px;"></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"></div><div align="center" class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt; text-align: center;"><st1:place w:st="on"><st1:state w:st="on">New York</st1:state></st1:place> Herald Tribune, November 1963</div><div align="center" class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt; text-align: center;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt; text-align: center;"><b><span lang="SV" style="font-size: 16.0pt; mso-ansi-language: SV;">Ini Sebuah Kehormatan<o:p></o:p></span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt; text-align: center;"><span lang="SV" style="mso-ansi-language: SV;">Oleh<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Jimmy Breslin<o:p></o:p></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt; text-align: center;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="SV" style="mso-ansi-language: SV;">CLIFTON POLLARD yakin</span></b><span lang="SV" style="mso-ansi-language: SV;"> hari Minggu itu ia akan bekerja. Jam 9 pagi ia sudah bangun. Di apartemennya, berisi tiga kamar, di Corcoran Street, ia telah siap mengenakan pakaian terusan warna khaki lalu menuju dapur untuk sarapan. Istrinya, Hettie, sudah menyiapkan daging panggang dan telur. Pollard sedang makan ketika ada panggilan telepon berdering, yang memang sudah ia tunggu itu. Itu telepon dari Mazo Kawalchik, mandor para penggali kubur di Arlington National Cemetery, tempat Pollard bekerja mencari nafkah. ”Polly, tolong jam sebelas nanti sudah ada disini, bisa ya?” kata Kawalchik, menyuruh. ”Saya kira kau tahu kenapa,” katanya melanjutkan. Ya, Pollard memang sudah tahu. Ia meletakkan gagang telepon, menyudahi sarapan lalu meninggalkan apartemennya. Hari Minggu itu ia lewatkan dengan menggali liang lahat untuk John Fitzgerald Kennedy.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;"><span lang="SV" style="mso-ansi-language: SV;">Sewaktu Pollard tiba lalu berjalan ke gudang kayu bercat kuning, tempat perkakas pemakaman disimpan, Kawalchik dan John Metzler sudah menunggunya. ”Maaf, kau jadi harus kerja hari Minggu,” ujar Metzler. ”Ah, tidak usah <i style="mso-bidi-font-style: normal;">ngomong</i> begitu,” kata Pollard. ”Bagi saya, berada di sini adalah kehormatan.” Pollard lalu menuju ke sebuah mesin pembajak berlawanan arah. Di pemakaman itu, lubang kubur tidak digali pakai sekop. Mesin bajak terbalik yang dipakai berwarna hijau, sementara mangkuk besar yang menggali tanah itu bergerak ke arah orang yang mengendalikan mesin, tidak menjauh seperti kren. Di bawah bukit di depan ”Makam Serdadu tak Dikenal”, Pollard mulai menggali. (Catatan Editor: Serdadu itu bernama Custis-Lee Mansion).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;"><span lang="SV" style="mso-ansi-language: SV;">Dedaunan menutupi rumput. Ketika gigi-gigi bajak menggaruk tanah, dedaunan itu mengeluarkan suara rumput tertebas, berbunyi ”kres-kres-kres,” yang terdengar dari atas motor penggerak mesin bajak. Ketika mangkuk pertama menyembul dengan seonggok tanah, Metzler, pengawas pemakaman itu, mendekat dan menatapnya. ”Tanahnya bagus,” kata Metzler. Pollard menyambut, ”Saya mau menyimpannya sedikit.” ”Mesin ini meninggalkan jejak di rumput, nanti saya isi tanah dan menanaminya dengan rumput subur yang tumbuh di sekitar sini, saya mau semuanya di sini—kau tahu—indah.”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;">James Winners, penggali kubur lain, mengangguk. Katanya, ia juga akan mengangkut beberapa gerobak tanah yang sangat subur itu ke gudang untuk ditanami rumput. <span lang="SV" style="mso-ansi-language: SV;">”Ia orang yang baik,” ujar Pollard. ”Ya, memang,” kata Metzler, menyahut. ”Sekarang ia akan datang ke sini dan berbaring di liang lahat yang saya gali,” sambung Pollard. ”Kau tahu, ini benar-benar sebuah kehormatan buat saya, mengerjakan semua ini.”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;"><span lang="SV" style="mso-ansi-language: SV;">Pollard, 42 tahun. Ia orang yang ramping dan berkumis, lahir di Pittsburgh dan pernah ikut sebagai sukarelawan pada Batalyon Engineers ke-352 yang bertugas di Burma ketika Perang Dunia II berkecamuk. Saat ini ia bekerja sebagai operator peralatan. Gajinya tingkat 10, artinya per jam ia menerima bayaran US$3.01. Nah, orang terakhir yang melayani John Fitzgerald Kennedy, Presiden ke-35 negaranya sendiri, adalah seorang pekerja yang mendapat gaji US$3.01 per jam dan ia masih bisa berkata menggali kubur bagi sang mendiang presiden adalah sebuah kehormatan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;"><span lang="SV" style="mso-ansi-language: SV;">Pagi kemarin, pukul 11.15, Jacqualine Kennedy berjalan menuju makam itu. Ia keluar di bawah naungan portiko Gedung Putih, perlahan mengiringi jenazah suaminya yang diusung di dalam keranda berkudung bendera. Keranda itu juga dibebat dengan dua sabuk kulit hitam, yang diikat ketat pada kereta berporos kuningan mengkilap. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;"><span lang="SV" style="mso-ansi-language: SV;">Jacqualine melangkah lurus dan wajahnya menengadah. Ia menuruni jalan berbatu biru dan berselimut hitam dan menembus bayangan cabang-cabang tujuh pohon oak yang kala itu seluruh daunnya luruh. Ia berjalan perlahan, melintasi prajurit angkatan laut yang memegang tegak bendera negara. Ia mengayun kaki melintasi orang-orang yang berdiri rapat sambil menutup mulut dan tegang melihat ke arahnya. Lalu saat iring-iringan itu terlihat, mereka menundukkan kepala dan mengayunkan tangan mengusap mata. Ia melangkah ke gerbang barat daya tepat di tengah Pennsylvania Avenue. Ia berjalan dengan langkah yang rapat dan wajahnya menengadah tegak. Di jalanan Washington, ia mengiringi jenazah suaminya yang terbunuh.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;"><span lang="SV" style="mso-ansi-language: SV;">Semua orang menyaksikannya ketika ia melangkah. Ia kini ibu dari dua anak yatim. Dan ia melangkah ke dalam sejarah negeri Amerika karena ia telah menunjukkan kepada semua orang—yang merasa tua dan tak tertolong dan tanpa harapan—bahwa ia punya kekuatan yang juga sangat diperlukan oleh semua orang. Walaupun ada yang telah membunuh suaminya dan darahnya menetes pada pangkuannya ketika sang suami menjemput maut, ia masih mampu berjalan tegar ke pemakaman dan dengan begitu ia telah menolong kita semua.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;"><span lang="SV" style="mso-ansi-language: SV;">Massa berkerumun lalu prosesi itu sampailah juga di Arlington. Ketika ia tiba di pemakaman itu, keranda sudah diletakkan, di antara rel kuningan dan siap diturunkan ke liang lahat. Ini pasti saat yang paling menyedihkan: seorang wanita menyaksikan keranda sang suami ditimbun di dalam tanah. Ia tahu, sang suami akan selamanya berada di sana. Sekarang, tak ada apa-apa lagi. Tak ada keranda untuk dicium atau bahkan dipegang. Tak ada tempat berpegangan. Tapi ia melangkah ke tempat penguburan itu dan berdiri di depan enam baris kursi bersarung hijau dan ia mulai duduk. Tapi serta merta ia berdiri lagi karena ia tahu tidak harus duduk sampai inspektur pemakaman memberi tahu di mana ia harus duduk.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;"><span lang="SV" style="mso-ansi-language: SV;">Seremoni pemakaman itu pun dimulai. Pesawat jet meraung di langit, tepat di atas kepala, dan dedaunan jatuh dari langit. Di bukit ini, di sisi keranda, hadirin pun membahanakan doa. Ada juru kamera, penulis, prajurit, dan Agen Rahasia—mereka juga ikut berdoa tak kalah nyaringnya tapi seperti ada yang<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>tersendat. Di depan makam itu Lyndon Johnson mengarahkan wajahnya ke kanan. Ia sekarang Presiden dan ia harus tetap tenang. Ia tak ingin melihat ke keranda dan liang lahat terlalu kerap untuk sang mendiang John Fitzgerald Kennedy. Lalu, pemakaman itu pun usai. Limusin hitam melaju di bawah pepohonan taman pemakaman itu dan keluar ke bulevar menuju ke Gedung Putih. ”Jam berapa sekarang?” pria yang berdiri di atas bukit itu bertanya. Ia melihat jam tangannya. ”Jam 3 lewat 30 menit,” ujarnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;"><span lang="SV" style="mso-ansi-language: SV;">Clifton Pollard tidak hadir saat pemakaman itu. Ia berada jauh di balik bukit itu, menggali kubur lain dengan bayaran $3.01 per jam. Ia tidak tahu untuk siapa lagi liang lahat yang ia gali itu. Ia hanya menggali lalu menimbunnya lagi. ”Mereka pernah ada dan berguna,” katanya. ”Kita hanya tak tahu kapan. Tadi, aku mau melihat ke sana,” ujarnya. ”Tapi terlalu banyak orang, kata tentara tadi, saya tidak boleh mendekat. Jadi, ya saya tetap di sini dan menggali. Tapi nanti saya akan ke sana sebentar. Cuma melihat sebentar, ya kan? Seperti kata saya padamu tadi, ini sebuah kehormatan.” <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">[]</b><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;"><i><span style="font-size: 10.0pt;">* Diterjemahkan dari </span></i><span style="font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-style: italic;">“It’s an Honour”<i> by Jimmy Breslin. <o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt;"><i><span style="font-size: 10.0pt;">Blog Breslin in Newsday: <a href="http://www.newsday.com/news/columnists/ny-jimmybreslin,0,4860342.columnist"><span style="color: windowtext;">http://www.newsday.com/news/columnists/ny-jimmybreslin,0,4860342.columnist</span></a></span></i><span style="font-size: 10.0pt; mso-bidi-font-style: italic;"><o:p></o:p></span></div>niyajurnalismhttp://www.blogger.com/profile/06954668729158334229noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3557989725118876812.post-41090797431303899492012-01-17T00:10:00.000-08:002012-01-17T00:10:08.453-08:009 Elemen Jurnalisme<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span style="font-size: 11.0pt;">rMajalah Pantau<o:p></o:p></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span style="font-size: 11.0pt;">3 Desember 2001 | 3821 kata<o:p></o:p></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span style="font-size: 11.0pt;">Jurnalisme<o:p></o:p></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt; text-align: center;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-size: 16.0pt;">Sembilan Elemen Jurnalisme<o:p></o:p></span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="margin-top: 6.0pt; text-align: center;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-size: 11.0pt;">Sebuah buku yang sebaiknya dibaca orang yang tertarik pada jurnalisme<o:p></o:p></span></i></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span style="font-size: 11.0pt;">Oleh Andreas Harsono<o:p></o:p></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br />
</div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><!--[if gte vml 1]><v:shapetype id="_x0000_t75" coordsize="21600,21600"
o:spt="75" o:preferrelative="t" path="m@4@5l@4@11@9@11@9@5xe" filled="f"
stroked="f"> <v:stroke joinstyle="miter"/> <v:formulas> <v:f eqn="if lineDrawn pixelLineWidth 0"/> <v:f eqn="sum @0 1 0"/> <v:f eqn="sum 0 0 @1"/> <v:f eqn="prod @2 1 2"/> <v:f eqn="prod @3 21600 pixelWidth"/> <v:f eqn="prod @3 21600 pixelHeight"/> <v:f eqn="sum @0 0 1"/> <v:f eqn="prod @6 1 2"/> <v:f eqn="prod @7 21600 pixelWidth"/> <v:f eqn="sum @8 21600 0"/> <v:f eqn="prod @7 21600 pixelHeight"/> <v:f eqn="sum @10 21600 0"/> </v:formulas> <v:path o:extrusionok="f" gradientshapeok="t" o:connecttype="rect"/> <o:lock v:ext="edit" aspectratio="t"/> </v:shapetype><v:shape id="_x0000_s1026" type="#_x0000_t75" style='position:absolute;
margin-left:0;margin-top:-.25pt;width:117pt;height:180.75pt;z-index:251657728'> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\ADMINI~1\LOCALS~1\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.jpg"
o:title="The Elements of Journalism Kovach"/> <w:wrap type="square"/> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img align="left" height="241" hspace="12" src="file:///C:/DOCUME~1/ADMINI~1/LOCALS~1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.jpg" v:shapes="_x0000_s1026" width="156" /><!--[endif]--><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-size: 11.0pt;"><o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-size: 11.0pt;">The Elements of Journalism:<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-size: 11.0pt;">What Newspeople Should Know and the Public Should Expect<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (April 2001) <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">205 halaman<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Crown $20.00 (Hardcover)<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-size: 11.0pt;">HATI nurani jurnalisme</span></b><span style="font-size: 11.0pt;"> Amerika ada pada Bill Kovach. Ini ungkapan yang sering dipakai orang bila bicara soal Kovach. Thomas E. Patterson dari Universitas Harvard mengatakan, Kovach punya "karir panjang dan terhormat" sebagai wartawan. Goenawan Mohamad, redaktur pendiri majalah Tempo, merasa sulit “mencari kesalahan” Kovach.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Wartawan yang nyaris tanpa cacat itulah yang menulis buku The Elements of Journalism bersama rekannya Tom Rosenstiel. Kovach memulai karirnya sebagai wartawan pada 1959 di sebuah suratkabar kecil sebelum bergabung dengan The New York Times, salah satu suratkabar terbaik di Amerika Serikat, dan membangun karirnya selama 18 tahun di sana.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Kovach mundur ketika ditawari jadi pemimpin redaksi harian Atlanta Journal-Constitution. Di bawah kepemimpinannya, harian ini berubah jadi suratkabar yang bermutu. Hanya dalam dua tahun, Kovach membuat harian ini mendapatkan dua Pulitzer Prize, penghargaan bergengsi dalam jurnalisme Amerika. Total dalam karirnya, Kovach menugaskan dan menyunting <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">lima</st1:city></st1:place> laporan yang mendapatkan Pulitzer Prize. Pada 1989-2000 Kovach jadi kurator Nieman Foundation for Journalism di Universitas Harvard yang tujuannya meningkatkan mutu jurnalisme.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Sedangkan Tom Rosentiel adalah mantan wartawan harian The Los Angeles Times spesialis media dan jurnalisme. Kini sehari-harinya Rosenstiel menjalankan Committee of Concerned Journalists –sebuah organisasi di <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Washington</st1:city> <st1:state w:st="on">D.C.</st1:state></st1:place> yang kerjanya melakukan riset dan diskusi tentang media.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Dalam buku ini BILL Kovach dan Tom Rosenstiel merumuskan sembilan elemen jurnalisme. Kesimpulan ini didapat setelah Committee of Concerned Journalists mengadakan banyak diskusi dan wawancara yang melibatkan 1.200 wartawan dalam periode tiga tahun.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Sembilan elemen ini sama kedudukannya. Tapi Kovach dan Rosenstiel menempatkan elemen jurnalisme yang pertama adalah kebenaran, yang ironisnya, paling membingungkan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Kebenaran yang mana? Bukankan kebenaran bisa dipandang dari kacamata yang berbeda-beda? Tiap-tiap agama, ideologi atau filsafat punya dasar pemikiran tentang kebenaran yang belum tentu persis sama satu dengan yang lain. Sejarah pun sering direvisi. Kebenaran menurut siapa?<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Bagaimana dengan bias seorang wartawan? Tidakkah bias pandangan seorang wartawan, karena latar belakang sosial, pendidikan, kewarganegaraan, kelompok etnik, atau agamanya, bisa membuat si wartawan menghasilkan penafsiran akan kebenaran yang berbeda-beda?<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Kovach dan Rosenstiel menerangkan bahwa masyarakat butuh prosedur dan proses guna mendapatkan apa yang disebut kebenaran fungsional. Polisi melacak dan menangkap tersangka berdasarkan kebenaran fungsional. Hakim menjalankan peradilan juga berdasarkan kebenaran fungsional. Pabrik-pabrik diatur, pajak dikumpulkan, dan hukum dibuat. Guru-guru mengajarkan sejarah, fisika, atau biologi, pada anak-anak sekolah. Semua ini adalah kebenaran fungsional.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Namun apa yang dianggap kebenaran ini senantiasa bisa direvisi. Seorang terdakwa bisa dibebaskan karena tak terbukti salah. Hakim bisa keliru. Pelajaran sejarah, fisika, biologi, bisa salah. Bahkan hukum-hukum ilmu alam pun bisa direvisi.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Hal ini pula yang dilakukan jurnalisme. Bukan kebenaran dalam tataran filosofis. Tapi kebenaran dalam tataran fungsional. Orang butuh informasi lalu lintas agar bisa mengambil rute yang lancar. Orang butuh informasi harga, kurs mata uang, ramalan cuaca, hasil pertandingan bola dan sebagainya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Selain itu kebenaran yang diberitakan media dibentuk lapisan demi lapisan. Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh tabrakan lalu lintas. Hari pertama seorang wartawan memberitakan kecelakaan itu. Di mana, jam berapa, jenis kendaraannya apa, nomor polisi berapa, korbannya bagaimana. Hari kedua berita itu mungkin ditanggapi oleh pihak lain. Mungkin polisi, mungkin keluarga korban. Mungkin ada koreksi. Maka pada hari ketiga, koreksi itulah yang diberitakan. Ini juga bertambah ketika ada pembaca mengirim <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">surat</st1:city></st1:place> pembaca, atau ada tanggapan lewat kolom opini. Demikian seterusnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Jadi kebenaran dibentuk hari demi hari, lapisan demi lapisan. Ibaratnya stalagmit, tetes demi tetes kebenaran itu membentuk stalagmit yang besar. Makan waktu, prosesnya lama. Tapi dari kebenaran sehari-hari ini pula terbentuk bangunan kebenaran yang lebih lengkap.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Saya pribadi beruntung mengenal Kovach ketika saya mendapat kesempatan ikut program Nieman Fellowship pada 1999-2000 di mana Kovach jadi kuratornya. Di <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">sana</st1:city></st1:place> Kovach melatih wartawan-wartawan dari berbagai belahan dunia untuk lebih memahami pilihan-pilihan mereka dalam jurnalisme. Tekanannya jelas: memilih kebenaran!<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Tapi mengetahui mana yang benar dan mana yang salah saja tak cukup. Kovach dan Rosenstiel menerangkan elemen kedua dengan bertanya, “Kepada siapa wartawan harus menempatkan loyalitasnya? Pada perusahaannya? Pada pembacanya? Atau pada masyarakat?”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Pertanyaan itu penting karena sejak 1980-an banyak wartawan Amerika yang berubah jadi orang bisnis. Sebuah survei menemukan separuh wartawan Amerika menghabiskan setidaknya sepertiga waktu mereka buat urusan manajemen ketimbang jurnalisme.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Ini memprihatinkan karena wartawan punya tanggungjawab sosial yang tak jarang bisa melangkahi kepentingan perusahaan di mana mereka bekerja. Walau pun demikian, dan di sini uniknya, tanggungjawab itu sekaligus adalah sumber dari keberhasilan perusahaan mereka. Perusahaan media yang mendahulukan kepentingan masyarakat justru lebih menguntungkan ketimbang yang hanya mementingkan bisnisnya sendiri.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Mari melihat dua contoh. Pada 1893 seorang pengusaha membeli harian The New York Times. Adolph Ochs percaya bahwa penduduk <st1:place w:st="on"><st1:state w:st="on">New York</st1:state></st1:place> capek dan tak puas dengan suratkabar-suratkabar kuning yang kebanyakan isinya sensasional. Ochs hendak menyajikan suratkabar yang serius, mengutamakan kepentingan publik dan menulis, “… to give the news impartiality, without fear or favor, regardless of party, sect or interests involved.”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Pada 1933 Eugene Meyer membeli harian The Washington Post dan menyatakan di halaman suratkabar itu, “Dalam rangka menyajikan kebenaran, suratkabar ini kalau perlu akan mengorbankan keuntungan materialnya, jika tindakan itu diperlukan demi kepentingan masyarakat.”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Prinsip Ochs dan Meyer terbukti benar. Dua harian itu menjadi institusi publik yang prestisius sekaligus bisnis yang menguntungkan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Kovach dan Rosenstiel khawatir banyaknya wartawan yang mengurusi bisnis bisa mengaburkan misi media dalam melayani kepentingan masyarakat. Bisnis media beda dengan bisnis kebanyakan. Dalam bisnis media ada sebuah segitiga. Sisi pertama adalah pembaca, pemirsa, atau pendengar. Sisi kedua adalah pemasang iklan. Sisi ketiga adalah masyarakat (citizens).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Berbeda dengan kebanyakan bisnis, dalam bisnis media, pemirsa, pendengar, atau pembaca bukanlah pelanggan (customer). Kebanyakan media, termasuk televisi, radio, maupun dotcom, memberikan berita secara gratis. Orang tak membayar untuk menonton televisi, membaca internet, atau mendengarkan radio. Bahkan dalam bisnis suratkabar pun, kebanyakan pembaca hanya membayar sebagian kecil dari ongkos produksi. <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Ada</st1:city></st1:place> subsidi buat pembaca.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Adanya kepercayaan publik inilah yang kemudian “dipinjamkan” perusahaan media kepada para pemasang iklan. Dalam hal ini pemasang iklan memang pelanggan. Tapi hubungan ini seyogyanya tak merusak hubungan yang unik antara media dengan pembaca, pemirsa, dan pendengarnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Kovach dan Rosenstiel prihatin karena banyak media Amerika mengkaitkan besarnya bonus atau pendapatan redaktur mereka dengan besarnya keuntungan yang diperoleh perusahaan bersangkutan. Sebuah survei menemukan, 71 persen redaktur Amerika menerapkan sebuah <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">gaya</st1:city></st1:place> manajemen yang biasa disebut management by objections.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Model ini ditemukan oleh guru manajemen Peter F. Drucker. Idenya sederhana sebenarnya. <st1:place w:st="on">Para</st1:place> manajer diminta menentukan target sekaligus imbalan bila mereka berhasil mencapainya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Manajemen model ini, menurut Kovach dan Rosenstiel, bisa mengaburkan tanggungjawab sosial para redaktur. Mengkaitkan pendapatan seorang redaktur dengan penjualan iklan atau keuntungan perusahaan sangat mungkin untuk mengingkari prinsip loyalitas si redaktur terhadap masyarakat. Loyalitas mereka bisa bergeser pada peningkatan keuntungan perusahaan karena dari <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">sana</st1:city></st1:place> pula mereka mendapatkan bonus.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-size: 11.0pt;">BANYAK wartawan mengatakan</span></b><span style="font-size: 11.0pt;"> The Elements of Journalism perlu untuk dipelajari orang media. Suthichai Yoon, redaktur pendiri harian The Nation di Bangkok, menulis bahwa renungan dua wartawan “yang sudah mengalami pencerahan” ini perlu dibaca wartawan Thai.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">I Made Suarjana dari tim pendidikan majalah Gatra mengatakan pada saya bahwa Gatra sedang menterjemahkan buku ini buat keperluan internal mereka, “Buku ini kita pandang mengembalikan pada basic jurnalisme,” kata Suarjana.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Salah satu bagian penting buku ini adalah penjelasan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel tentang elemen ketiga. Mereka mengatakan esensi dari jurnalisme adalah disiplin dalam melakukan verifikasi.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Disiplin mampu membuat wartawan menyaring desas-desus, gosip, ingatan yang keliru, manipulasi, guna mendapatkan informasi yang akurat. Disiplin verifikasi inilah yang membedakan jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi atau seni.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Mereka berpendapat, “saudara sepupu” hiburan yang disebut infotainment (dari kata information dan entertainment) harus dimengerti wartawan agar tahu mana batas-batasnya. Infotainment hanya terfokus pada apa-apa yang menarik perhatian pemirsa dan pendengar. Jurnalisme meliput kepentingan masyarakat yang bisa menghibur tapi juga bisa tidak.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Batas antara fiksi dan jurnalisme memang harus jelas. Jurnalisme tak bisa dicampuri dengan fiksi setitik pun. Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh pengalaman Mike Wallace dari CBS yang difilmkan dalam The Insider. Film ini bercerita tentang keengganan jaringan televisi CBS menayangkan sebuah laporan tentang bagaimana industri rokok Amerika memakai zat kimia tertentu buat meningkatkan kecanduan perokok.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Kejadian itu sebuah fakta. Namun Wallace keberatan karena ada kata-kata yang diciptakan dan seolah-olah diucapkan Wallace. Sutradara Michael Mann mengatakan film itu “pada dasarnya akurat” karena Wallace memang takluk pada tekanan pabrik rokok. Jika kata-kata diciptakan atau motivasi Wallace berbeda antara keadaan nyata dan dalam film, Mann berpendapat itu bisa diterima.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Kovach dan Rosenstiel mengatakan dalam kasus itu keterpaduan (utility) jadi nilai tertinggi ketimbang kebenaran harafiah. Fakta disubordinasikan kepada kepentingan fiksi. Mann membuat film itu dengan tambahan drama agar menarik perhatian penonton.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Lantas bagaimana dengan beragamnya standar jurnalisme? Tidakkah disiplin tiap wartawan dalam melakukan verifikasi bersifat personal? Kovach dan Ronsenstiel menerangkan memang tak setiap wartawan punya pemahaman yang sama. Tidak setiap wartawan tahu standar minimal verifikasi. Susahnya, karena tak dikomunikasikan dengan baik, hal ini sering menimbulkan ketidaktahuan pada banyak orang karena disiplin dalam jurnalisme ini sering terkait dengan apa yang biasa disebut sebagai objektifitas.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Orang sering bertanya apa objektifitas dalam jurnalisme itu? Apakah wartawan bisa objektif? Bagaimana dengan wartawan yang punya latar belakang pendidikan, sosial, ekonomi, kewarganegaraan, etnik, agama dan pengalaman pribadi yang nilai-nilainya berbeda dengan nilai dari peristiwa yang diliputnya?<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Kovach dan Rosenstiel menjelaskan, pada abad XIX tak mengenal konsep objektifitas itu. Wartawan zaman itu lebih sering memakai apa yang disebut sebagai realisme. Mereka percaya bila seorang reporter menggali fakta-fakta dan menyajikannya begitu saja maka kebenaran bakal muncul dengan sendirinya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Ide tentang realisme ini muncul bersamaan dengan terciptanya struktur karangan yang disebut sebagai piramida terbalik di mana fakta yang paling penting diletakkan pada awal laporan, demikian seterusnya, hingga yang paling kurang penting. Mereka berpendapat struktur itu membuat pembaca memahami berita secara alamiah.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Namun pada awal abad XX beberapa wartawan khawatir dengan naifnya realisme ini. Pada 1919 Walter Lippmann dan Charles Merz, dua wartawan terkemuka New York, menulis sebuah analisis tentang bagaimana latar belakang kultural The New York Times menimbulkan distorsi pada liputannya tentang revolusi Rusia. The New York Times lebih melaporkan tentang apa yang diharapkan pembaca ketimbang melaporkan apa yang terjadi.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Lippmann menekankan, jurnalisme tak cukup hanya dilaporkan oleh “saksi mata yang tak terlatih.” Niat baik atau usaha yang jujur juga tak cukup. Lippmann mengatakan inovasi baru pada zaman itu, misalnya bylines atau kolumnis, juga tidak cukup.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Bylines diciptakan agar nama setiap reporter diketahui publik yang bakal mendorong si reporter bekerja lebih baik karena namanya terpampang jelas. Kolumnis adalah wartawan atau penulis senior yang tugasnya menerangkan suatu peristiwa dengan konteks yang lebih luas yang mungkin tak bisa dilaporkan reporter yang sibuk bekerja di lapangan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Solusinya, menurut Lippmann, wartawan harus menguasai semangat ilmu pengetahuan, “There is but one kind of unity possible in a world as diverse as ours. It is unity of method, rather than aim; the unity of disciplined experiement (<st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Ada</st1:place></st1:city> satu hal yang bisa disatukan dalam kehidupan yang berbeda-beda ini. Hal itu adalah keseragaman dalam mengembangkan metode, ketimbang sebagai tujuan; seragamnya metode yang ditarik dari pengalaman di lapangan).”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Baginya, metode jurnalisme bisa objektif. Tapi objektifitas ini bukanlah tujuan. Objektifitas adalah disiplin dalam melakukan verifikasi.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Sayang, dengan berjalannya waktu, pemahaman orisinal terhadap objektifitas ini diartikan keliru. Banyak penulis seperti Leo Rosten, yang mengarang sebuah buku sosiologi tentang wartawan, memakai istilah objektifitas buat merujuk pada pemahaman bahwa wartawan itu seyogyanya objektif.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Saya kira di <st1:place w:st="on"><st1:country-region w:st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place> juga banyak dosen-dosen komunikasi yang berpikir ala Rosten. Ini membingungkan. <st1:place w:st="on">Para</st1:place> wartawan pun, pada gilirannya, ikut meragukan pengertian objektif dan menganggapnya sebagai ilusi.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Bagaimana metode yang objektif itu bisa dilakukan? Kovach dan Rosenstiel menerangkan betapa kebanyakan wartawan hanya mendefinisikan hanya sebagai dengan liputan yang berimbang (balance), fairness serta akurat.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Tapi berimbang maupun fairness adalah metode. Bukan tujuan. Keseimbangan bisa menimbulkan distorsi bila dianggap sebagai tujuan. Kebenaran bisa kabur di tengah liputan yang berimbang. Fairness juga bisa disalahmengerti bila ia dianggap sebagai tujuan. Fair terhadap sumber atau fair terhadap pembaca?<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Kovach dan Rosenstiel menawarkan <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">lima</st1:city></st1:place> konsep dalam verifikasi:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">- Jangan menambah atau mengarang apa pun;<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">- Jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar;<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">- Bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi Anda dalam melakukan reportase;<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">- Bersandarlah terutama pada reportase Anda sendiri;<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">- Bersikaplah rendah hati.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Kovach dan Rosenstiel tak berhenti hanya pada tataran konsep. Mereka juga menawarkan metode yang kongkrit dalam melakukan verifikasi itu. Pertama, penyuntingan secara skeptis. Penyuntingan harus dilakukan baris demi baris, kalimat demi kalimat, dengan sikap skeptis. Banyak pertanyaan, banyak gugatan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Kedua, memeriksa akurasi. David Yarnold dari San Jose Mercury News mengembangkan satu daftar pertanyaan yang disebutnya “accuracy checklist.”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">- Apakah lead berita sudah didukung dengan data-data penunjang yang cukup?<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">- Apakah sudah ada orang lain yang diminta mengecek ulang, menghubungi atau menelepon semua nomor telepon, semua alamat, atau situs web yang ada dalam laporan tersebut? Bagaimana dengan penulisan nama dan jabatan?<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">- Apakah materi background guna memahami laporan ini sudah lengkap?<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">- Apakah semua pihak yang ada dalam laporan sudah diungkapkan dan apakah semua pihak sudah diberi hak untuk bicara?<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">- Apakah laporan itu berpihak atau membuat penghakiman yang mungkin halus terhadap salah satu pihak? Siapa orang yang kira-kira tak suka dengan laporan ini lebih dari batas yang wajar?<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">- Apa ada yang kurang?<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">- Apakah semua kutipan akurat dan diberi keterangan dari sumber yang memang mengatakannya? Apakah kutipan-kutipan itu mencerminkan pendapat dari yang bersangkutan?<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Ketiga, jangan berasumsi. Jangan percaya pada sumber-sumber resmi begitu saja. Wartawan harus mendekat pada sumber-sumber primer sedekat mungkin. David Protess dari <st1:place w:st="on"><st1:placename w:st="on">Northwestern</st1:placename> <st1:placetype w:st="on">University</st1:placetype></st1:place> memiliki satu metode. Dia memakai tiga lingkaran yang konsentris. Lingkaran paling luar berisi data-data sekunder terutama kliping media lain. Lingkaran yang lebih kecil adalah dokumen-dokumen misalnya laporan pengadilan, laporan polisi, laporan keuangan dan sebagainya. Lingkaran terdalam adalah saksi mata.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Metode keempat, pengecekan fakta ala Tom French yang disebut Tom French’s Colored Pencil. Metode ini sederhana. French, seorang spesialis narasi panjang nonfiksi dari suratkabar St. Petersburg Times, <st1:place w:st="on"><st1:state w:st="on">Florida</st1:state></st1:place>, memakai pensil berwarna untuk mengecek fakta-fakta dalam karangannya, baris per baris, kalimat per kalimat.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-size: 11.0pt;">MUSIM dingin tahun</span></b><span style="font-size: 11.0pt;"> lalu ketika salju membasahi <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Cambridge</st1:city></st1:place>, saya sempat berbincang-bincang dengan Bill Kovach tentang hubungan wartawan dan sumbernya. Saya katakan, pernah ketika mengerjakan suatu liputan, secara tak sengaja, keluarga saya berhubungan cukup dekat dengan keluarga orang yang diwawancarai.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Kami diskusikan masalah itu. Singkat kata Kovach mengatakan, bahwa seorang wartawan “tidak mencari teman, tidak mencari musuh.” Terkadang memang sulit menerima tawaran jasa baik, misalnya diantar pulang ketika kesulitan cari taksi, tapi juga tak perlu datang ke acara-acara sosial di mana independensi wartawan bisa salah dimengerti orang karena ada saja pertemanan yang terbentuk lewat acara-acara itu.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">“Seorang wartawan adalah mahluk asosial. Don’t get me wrong,” kata Kovach. Asosial bukan antisosial.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Ini sedikit menjelaskan elemen keempat: independensi. Kovach dan Rosenstiel berpendapat, wartawan boleh mengemukakan pendapatnya dalam kolom opini (tidak dalam berita). Mereka tetap dibilang wartawan walau menunjukkan sikapnya dengan jelas.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Kalau begitu wartawan boleh tak netral?<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Menjadi netral bukanlah prinsip dasar jurnalisme. Impartialitas juga bukan yang dimaksud dengan objektifitas. Prinsipnya, wartawan harus bersikap independen terhadap orang-orang yang mereka liput.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Jadi, semangat dan pikiran untuk bersikap independen ini lebih penting ketimbang netralitas. Namun wartawan yang beropini juga tetap harus menjaga akurasi dari data-datanya. Mereka harus tetap melakukan verifikasi, mengabdi pada kepentingan masyarakat, dan memenuhi berbagai ketentuan lain yang harus ditaati seorang wartawan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">“Wartawan yang menulis kolom memang punya sudut pandangnya sendiri …. Tapi mereka tetap harus menghargai fakta di atas segalanya,” kata Anthony Lewis, kolumnis The New York Times.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Menulis kolom ibaratnya, menurut Maggie Galagher dari Universal Press Syndicate, “bicara dengan seseorang yang tak setuju dengan saya.”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Tapi wartawan yang menulis opini tetap tak diharapkan menulis tentang sesuatu dan ikut jadi pemain. Ini membuat si wartawan lebih sulit untuk melihat dengan perspektif yang berbeda. Lebih sulit untuk mendapatkan kepercayaan dari pihak lain. Lebih sulit lagi menyakinkan masyarakat bahwa si wartawan meletakkan kepentingan mereka lebih dulu ketimbang kepentingan kelompok di mana si wartawan ikut bermain.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Kesetiaan pada kebenaran inilah yang membedakan wartawan dengan juru penerangan atau propaganda. Kebebasan berpendapat ada pada setiap orang. Tiap orang boleh bicara apa saja walau isinya propaganda atau menyebarkan kebencian. Tapi jurnalisme dan komunikasi bukan hal yang sama.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Independensi ini juga yang harus dijunjung tinggi di atas identitas lain seorang wartawan. Ada wartawan yang beragama Kristen, Islam, Hindu, Buddha, berkulit putih, keturunan Asia, keturunan Afrika, Hispanik, cacat, laki-laki, perempuan, dan sebagainya. Mereka, bukan pertama-tama, orang Kristen dan kedua baru wartawan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Latar belakang etnik, agama, ideologi, atau kelas, ini seyogyanya dijadikan bahan informasi buat liputan mereka. Tapi bukan dijadikan alasan untuk mendikte si wartawan. Kovach dan Rosenstiel juga percaya, ruang redaksi yang multikultural bakal menciptakan lingkungan yang lebih bermutu secara intelektual ketimbang yang seragam.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Bersama-sama wartawan dari berbagai latar ini menciptakan liputan yang lebih kaya. Tapi sebaliknya, keberagaman ini tak bisa diperlakukan sebagai tujuan. Dia adalah metode buat menghasilkan liputan yang baik.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-size: 11.0pt;">ELEMEN jurnalisme yang kelima</span></b><span style="font-size: 11.0pt;"> adalah memantau kekuasaan dan menyambung lidah mereka yang tertindas. Memantau kekuasaan bukan berarti melukai mereka yang hidupnya nyaman. Mungkin kalau dipakai istilah Indonesianya, “jangan cari gara-gara juga.” Memantau kekuasaan dilakukan dalam kerangka ikut menegakkan demokrasi.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Salah satu cara pemantauan ini adalah melakukan investigative reporting --sebuah jenis reportase di mana si wartawan berhasil menunjukkan siapa yang salah, siapa yang melakukan pelanggaran hukum, yang seharusnya jadi terdakwa, dalam suatu kejahatan publik yang sebelumnya dirahasiakan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Sayangnya di Amerika Serikat, saya kira juga di <st1:country-region w:st="on"><st1:place w:st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region>, label investigasi sering dijadikan barang dagangan. Kovach dan Rosenstiel menceritakan bagaimana radio-radio di <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">sana</st1:city></st1:place> menyiarkan rumor dan dengan seenaknya mengatakan mereka melakukan investigasi. Susahnya, para pendengar, pemirsa, dan pembaca juga tak tahu apa investigasi itu.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Salah satu konsekuensi dari investigasi adalah kecenderungan media bersangkutan mengambil sikap terhadap isu di mana mereka melakukan investigasi. <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Ada</st1:city></st1:place> yang memakai istilah advocacy reporting buat mengganti istilah investigative reporting karena adanya kecenderungan ini. Padahal hasil investigasi bisa salah. Dan dampak yang timbul besar sekali. Bukan saja orang-orang yang didakwa dibuat menderita tapi juga reputasi media bersangkutan bisa tercemar serius. Mungkin karena risiko ini, banyak media besar serba tanggung dalam melakukan investigasi. Mereka lebih suka memperdagangkan labelnya saja tapi tak benar-benar masuk ke dalam investigasi.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Bob Woodward dari The Washington Post, salah satu wartawan yang investigasinya ikut mendorong mundurnya Presiden Richard Nixon karena skandal Watergate pada 1970-an, mengatakan salah satu syarat investigasi adalah “pikiran yang terbuka.”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Elemen keenam adalah jurnalisme sebagai forum publik. Kovach dan Rosenstiel menerangkan zaman dahulu banyak suratkabar yang menjadikan ruang tamu mereka sebagai forum publik di mana orang-orang bisa datang, menyampaikan pendapatnya, kritik, dan sebagainya. Di <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">sana</st1:city></st1:place> juga disediakan cerutu serta minuman.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Logikanya, manusia itu punya rasa ingin tahu yang alamiah. Bila media melaporkan, katakanlah dari jadwal-jadwal acara hingga kejahatan publik hingga timbulnya suatu trend sosial, jurnalisme ini menggelitik rasa ingin tahu orang banyak. Ketika mereka bereaksi terhadap laporan-laporan itu maka masyarakat pun dipenuhi dengan komentar –mungkin lewat program telepon di radio, lewat talk show televisi, opini pribadi, <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">surat</st1:city></st1:place> pembaca, ruang tamu suratkabar dan sebagainya. Pada gilirannya, komentar-komentar ini didengar oleh para politisi dan birokrat yang menjalankan roda pemerintahan. Memang tugas merekalah untuk menangkap aspirasi masyarakat. Dengan demikian, fungsi jurnalisme sebagai forum publik sangatlah penting karena, seperti pada zaman Yunani kuno, lewat forum inilah demokrasi ditegakkan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Sekarang teknologi modern membuat forum ini lebih bertenaga. Sekarang ada siaran langsung televisi maupun chat room di internet. Tapi kecepatan yang menyertai teknologi baru ini juga meningkatkan kemampuan terjadinya distorsi maupun informasi yang menyesatkan yang potensial merusak reputasi jurnalisme.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Kovach dan Rosenstiel berpendapat jurnalisme yang mengakomodasi debat publik harus dibedakan dengan “jurnalisme semu,” yang mengadakan debat secara artifisial dengan tujuan menghibur atau melakukan provokasi.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Munculnya jurnalisme semu itu terjadi karena debatnya tak dibuat berdasarkan fakta-fakta secara memadai. “Talk is cheap,” kata Kovach dan Rosenstiel. Biaya produksi sebuah talk show kecil sekali dibandingkan biaya untuk membangun infrastruktur reportase. Sebuah media yang hendak membangun infrastruktur reportase bukan saja harus menggaji puluhan, bahkan ratusan wartawan, tapi juga membiayai operasi mereka. Belum lagi bila media bersangkutan hendak membuka biro-biro baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Ngomong itu murah. Mendapatkan komentar-komentar lewat telepon dan disiarkan secara langsung sangat jauh lebih murah ketimbang melakukan reportase.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Jurnalisme semu juga muncul karena <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">gaya</st1:city></st1:place> lebih dipentingkan ketimbang esensi. Jurnalisme semu pada gilirannya membahayakan demokrasi karena ia bukannya memperlebar nuansa suatu perdebatan tapi lebih memfokuskan dirinya pada isu-isu yang sempit, yang terpolarisasi. Buntutnya, upaya mencari kompromi, sesuatu yang esensial dalam demokrasi, juga tak terbantu oleh jurnalisme macam ini. Jurnalisme semu tak memberikan pencerahan tapi malah mengajak orang berkelahi lebih sengit.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-size: 11.0pt;">SELAMA dua semester</span></b><span style="font-size: 11.0pt;"> mengikuti program Nieman Fellowship, Bill Kovach mengusulkan agar kami ikut suatu kelas tentang penulisan nonfiksi. Dia menekankan perlunya wartawan belajar menulis narasi karena kekuatan jurnalisme cetak sangat ditentukan oleh kemampuan ini. Saya mengikuti nasehat Kovach dan belajar tentang suatu genre yang disebut narrative report atau jurnalisme kesastraan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Anjuran itu sesuai dengan elemen ketujuh bahwa jurnalisme harus memikat sekaligus relevan. Mungkin meminjam motto majalah Tempo jurnalisme itu harus “enak dibaca dan perlu.” Selama mengikuti kelas narasi itu, saya belajar banyak tentang komposisi, tentang etika, tentang naik-turunnya emosi pembaca dan sebagainya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Memikat sekaligus relevan. Ironisnya, dua faktor ini justru sering dianggap dua hal yang bertolakbelakang. Laporan yang memikat dianggap laporan yang lucu, sensasional, menghibur, dan penuh tokoh selebritas. Tapi laporan yang relevan dianggap kering, angka-angka, dan membosankan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Padahal bukti-bukti cukup banyak, bahwa masyarakat mau keduanya. Orang membaca berita olah raga tapi juga berita ekonomi. Orang baca resensi buku tapi juga mengisi teka-teki silang. Majalah The New Yorker terkenal bukan saja karena kartun-kartunnya yang lucu, tapi juga laporan-laporannya yang panjang dan serius.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Kovach dan Rosenstiel mengatakan wartawan macam itu pada dasarnya malas, bodoh, bias, dan tak tahu bagaimana harus menyajikan jurnalisme yang bermutu.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Menulis narasi yang dalam, sekaligus memikat, butuh waktu lama. Banyak contoh bagaimana laporan panjang dikerjakan selama berbulan-bulan terkadang malah bertahun-tahun. Padahal waktu adalah sebuah kemewahan dalam bisnis media.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Di sisi lain, daya tarik hiburan memang luar biasa. Pada 1977 kulit muka majalah Newsweek dan Time 31 persen diisi gambar tokoh politik atau pemimpin internasional serta 15 persen diilustrasikan oleh bintang hiburan. Pada 1997, kulit muka kedua majalah internasional ini mengalami penurunan 60 persen dalam hal tokoh politik. Sedangkan 40 persen diisi oleh bintang hiburan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Duet Kovach-Rosenstiel sebelumnya menerbitkan buku Warp Speed: American in the Age of Mixed Media di mana mereka melakukan analisis yang tajam terhadap liputan media Amerika atas skandal Presiden Bill Clinton dan Monica Lewinsky. Kebanyakan media suka menekankan pada sisi sensasi dari skandal itu ketimbang isu yang lebih relevan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Elemen kedelapan adalah kewajiban wartawan menjadikan beritanya proporsional dan komprehensif. Kovach dan Rosenstiel mengatakan banyak suratkabar yang menyajikan berita yang tak proporsional. Judul-judulnya sensional. Penekanannya pada aspek yang emosional. Mungkin kalau di <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Jakarta</st1:city></st1:place> contoh terbaik adalah harian Rakyat Merdeka. Suratkabar macam ini seringkali tidak proporsional dalam pemberitaannya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh yang menarik. Suratkabar sensasional diibaratkan seseorang yang ingin menarik perhatian pembaca dengan pergi ke tempat umum lalu melepas pakaian, telanjang. Orang pasti suka dan melihatnya. Pertanyaannya adalah bagaimana orang telanjang itu menjaga kesetiaan pemirsanya?<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Ini berbeda dengan pemain gitar. Dia datang ke tempat umum, memainkan gitar, dan ada sedikit orang yang memperhatikan. Tapi seiring dengan kualitas permainan gitarnya, makin hari makin banyak orang yang datang untuk mendengarkan. Pemain gitar ini adalah contoh suratkabar yang proporsional.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Proporsional serta komprehensif dalam jurnalisme memang tak seilmiah pembuatan peta. Berita mana yang diangkat, mana yang penting, mana yang dijadikan berita utama, penilaiannya bisa berbeda antara si wartawan dan si pembaca. Pemilihan berita juga sangat subjektif. Kovach dan Rosenstiel bilang justru karena subjektif inilah wartawan harus senantiasa ingat agar proporsional dalam menyajikan berita.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Masyarakat bisa tahu kalau si wartawan mencoba proporsional atau tidak. Sebaliknya masyarakat juga tahu kalau si wartawan cuma mau bertelanjang bulat.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-size: 11.0pt;">SETIAP wartawan harus</span></b><span style="font-size: 11.0pt;"> mendengarkan hati nuraninya sendiri. Dari ruang redaksi hingga ruang direksi, semua wartawan seyogyanya punya pertimbangan pribadi tentang etika dan tanggungjawab sosial. Ini elemen yang kesembilan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">“Setiap individu reporter harus menetapkan kode etiknya sendiri, standarnya sendiri dan berdasarkan model itulah dia membangun karirnya,” kata wartawan televisi Bill Kurtis dari A&E Network.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Menjalankan prinsip itu tak mudah karena diperlukan suasana kerja yang nyaman, yang bebas, di mana setiap orang dirangsang untuk bersuara. “Bos, saya kira keputusan Anda keliru!” atau “Pak, ini kok kesannya rasialis” adalah dua contoh kalimat yang seyogyanya bisa muncul di ruang redaksi.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Menciptakan suasana ini tak mudah karena berdasarkan kebutuhannya, ruang redaksi bukanlah tempat di mana demokrasi dijalankan. Ruang redaksi bahkan punya kecenderungan menciptakan kediktatoran. Seseorang di puncak organisasi media memang harus bisa mengambil keputusan –menerbitkan atau tidak menerbitkan sebuah laporan, membiarkan atau mencabut sebuah kutipan yang panas—agar media bersangkutan bisa menepati deadline.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Membolehkan tiap individu wartawan menyuarakan hati nurani pada dasarnya membuat urusan manajemen jadi lebih kompleks. Tapi tugas setiap redaktur untuk memahami persoalan ini. Mereka memang mengambil keputusan final tapi mereka harus senantiasa membuka diri agar tiap orang yang hendak memberi kritik atau komentar bisa datang langsung pada mereka.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Bob Woodward dari The Washington Post mengatakan, “Jurnalisme yang paling baik seringkali muncul ketika ia menentang manajemennya.”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 11.0pt;">Pada hari pertama Nieman Fellowship, Bill Kovach mengatakan pada 24 peserta program itu bahwa pintunya selalu terbuka. Terkadang dia sering harus mengejar deadline dan mengetik, “Raut wajah saya bisa galak sekali bila seseorang muncul di pintu saya. Tapi jangan digubris. Masuk dan bicaralah.” <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">[]<o:p></o:p></b></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-autospace: ideograph-numeric;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-size: 11.0pt;">Weblog Andreas Harsono: <a href="http://www.andreasharsono.blogspot.com/"><span style="color: windowtext; font-family: ZWAdobeF; font-size: 1.0pt; font-style: normal; mso-bidi-font-size: 11.0pt; text-decoration: none; text-underline: none;">TU</span>http://www.andreasharsono.blogspot.com/<span style="color: windowtext; font-family: ZWAdobeF; font-size: 1.0pt; font-style: normal; mso-bidi-font-size: 11.0pt; text-decoration: none; text-underline: none;">UT</span></a><o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><br />
</div>niyajurnalismhttp://www.blogger.com/profile/06954668729158334229noreply@blogger.com0