Selasa, 17 Januari 2012

Ahmadiyah, Rechtstaat dan Hak Asasi Manusia


Ahmadiyah, Rechtstaat dan Hak Asasi Manusia
Oleh Andreas Harsono

Bagaimana melihat pelanggaran hak-hak asasi warga Ahmadiyah di Pulau Lombok dari aspek kenegaraan Indonesia?

Warga Ahmadiyah bertani di Gegerung, Ketapang. Mereka menggunakan lahan mereka untuk bertani walau sudah diusir dari rumah masing-masing.
--Semua foto karya Lexy Rambadeta

I

Desa Gegerung, di daerah Ketapang, Pulau Lombok, adalah sebuah kampung etnik Sasak. Ia sebuah perkampungan padat dikelilingi sawah. Masjid Qurratul Ain terletak di perempatan jalan desa. Di sepanjang jalan ada beberapa tambang pasir. Di ujung desa, ada sederet rumah bekas terbakar, sebagian besar rusak, instalasi listrik mereka dicabut. Rumah-rumah itu terbengkalai walau sawah sekitarnya dipenuhi dengan padi menguning.
Gegerung adalah saksi penganiayaan umat Ahmadiyah di Indonesia. “Penganiayaan paling menonjol, yang paling keras di Indonesia, terjadi di Pulau Lombok,” kata Syaeful Uyun, mubaligh Ahmadiyah di Mataram.
Pengusiran dan penganiayaan terhadap warga Ahmadiyah dimulai tahun 1999 dengan pembakaran masjid Ahmadiyah di Bayan, Kabupaten Lombok Barat. Satu orang meninggal, satu luka parah dibacok. Semua warga Ahmadiyah diusir dari Bayan. Pada 2001, penganiayaan terjadi di Pancor, daerah Lombok Timur, basis Nahdlatul Wathan, organisasi Islam terbesar di Pulau Lombok. Selama satu pekan, rumah demi rumah Ahmadiyah, diserang dan dibakar di Pancor. Ironisnya, pemerintah Lombok Timur memberikan dua opsi: warga Ahmadiyah boleh tetap di Pancor tapi keluar dari Ahmadiyah atau tetap di Ahmadiyah dan keluar dari Pancor. Semua warga Ahmadiyah memilih meninggalkan Pancor. Mereka ditampung mula-mula di Transito, sebuah bangunan pemerintah di Mataram. Lalu ada yang menyewa rumah, sekitar 300 orang. Biaya dibantu sebagian oleh organisasi Ahmadiyah. Dalam setahun, mereka mulai menata kehidupan. Ada yang tak berhasil, ada yang terlunta-lunta. Pada tahun 2004, organisasi Ahmadiyah membeli sebuah perumahan BTN di Gegerung, Ketapang, total 1.6 hektar, lalu dijual murah kepada anggota yang diusir dari Bayan, Pancor dan Praya.
Syahidin, seorang Sasak asal Praya, yang diusir dari desa Sambi Elen, Bayan, ketika tahu ada perumahan di Gegerung, mengatakan, “Saya pikir, ‘Apa yang mau saya jual?’ Saya ada tanah di Sambi Elen tapi orang-orang tak ada yang mau beli. Kebetulan ada rumah warisan kakek di Praya. Saya jual Rp14,5 juta. Ini untuk beli rumah BTN di Ketapang, total Rp17.5 juta. Akhirnya terbeli.” Keluarga muda ini praktis tak punya apa-apa di Ketapang, sesudah lari dari Sambi Elen dan hidup mengungsi di Mataram. “Sholat sama isteri, gantian itu bajunya. Hanya ada satu sarung,” kata Syahidin.
Zulkhair asal Pancor mengatakan dia juga beli rumah di Gegerung. “Saya bernaung di rumah milik paman. Mula-mula delapan rumah dibeli organisasi. Akhirnya, ada 17 rumah yang dibangun oleh eks pengungsi Pancor, ada juga yang dari Bayan serta Praya.”
Tahun 2005, mulai banyak warga Ahmadiyah tinggal di Ketapang. Kerja mereka tani dan dagang. Hubungan mereka baik dengan warga Ketapang. “Kita orang baru, mau bergaul dengan baik,” kata Zulkhair.
Khairuddin asal Selong, Lombok Timur, mengatakan, “Kita juga ikut ngiket besi sebelum pengecoran untuk masjid Qurratul Ain. Kami juga keluarkan biaya untuk bangun masjid. Saat pengecoran, tiga hari, kita ikut sampai akhir. Sebagian besar kami –tukang, petani, pedagang—ikut bangun masjid.”
Pada Juli 2005, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa di Jakarta. Isinya, Ahmadiyah ditegaskan “... berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan ....” MUI minta pemerintah Indonesia “… melarang penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya.” Fatwa tersebut mengacu pada fatwa MUI tahun 1980 serta keputusan muktamar Organisasi Konferensi Islam di Jeddah, Arab Saudi, Desember 1985, yang menyatakan bahwa aliran Ahmadiyah mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi sesudah Nabi Muhammad, dan pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad, menerima wahyu dari Allah.
Fatwa MUI itu memicu penyerangan terhadap berbagai masjid dan rumah Ahmadiyah di Parung, dekat Bogor; Manis Lor, Kuningan; Tasikmalaya; Garut; Ciaruteun; dan Sadasari. Mayoritas warga Ahmadiyah di Indonesia adalah orang Sunda. Mereka punya jumlah cukup besar di beberapa desa di Bogor, Tangerang, Tasikmalaya dan Garut.
Di Gegerung, Zulkhair, seorang guru mengaji dan pengungsi kelahiran Pancor, mengatakan, “Sudah lebih 30 tahun saya ikut Ahmadiyah, tidak pernah saya dengar istilah Nabi Mirza.”
Suatu petang, ada dua murid Zulkhair, bertanya, “Apa benar Pak Zul ini Ahmadiyah dan mengaku kenabian Mirza Guhlam Ahmad?”
“Saya benar orang Ahmadiyah. Masalah kenabian saya tidak jelaskan karena bukan kelas kita untuk menjelaskan itu,” jawab Zulkhair.
Jawaban dari ujung desa itu cukup untuk mengguncang seluruh kampung Gegerung. “Kalau mereka punya agama lain, jangan libatkan nama Islam,” kata H. Ahmad Chusairi, seorang petani dan imam masjid Qurratul Ain.
Pulau Lombok sebenarnya hanya punya beberapa ratus orang Ahmadiyah. Pengusiran dari Bayan, Selong, Praya dan Pancor membuat Ketapang menjadi satu-satunya desa dimana ada sejumlah warga Ahmadiyah. Kota Mataram, ibukota provinsi Nusa Tenggara Barat, juga ada orang Ahmadiyah namun mereka tinggal menyebar. Warga kota Mataram relatif lebih heterogen. Di Mataram ada banyak orang Hindu Bali maupun orang-orang Kristen Minahasa, Batak, Tionghoa dan lainnya. Pulau Lombok sebelah barat juga ada industri turisme, dengan Pantai Senggigi, hingga daerah ini relatif lebih terbuka daripada desa Sasak yang homogen macam Ketapang.
Di Ketapang, sesudah fatwa MUI, mulai muncul pengajian-pengajian kritis terhadap Ahmadiyah. Pertengahan Ramadhan, Oktober 2005, pengajian makin kencang. Menurut beberapa warga Ahmadiyah, dari loudspeaker masjid Qurratul Ain terdengar ceramah tuan guru Muhammad Izzi, seorang ulama-cum-politikus-cum-pengusaha pompa bensin dari Praya.
Lewat loudspeaker terdengar, “Usir orang Ahmadiyah BTN. Kalau masyarakat Ketapang tidak mampu mengusir, saya akan mendatangkan masyarakat dari tempat lain untuk mengusir mereka …. Darah Ahmadiyah itu halal!”
Khairuddin mengatakan ceramah itu membuat warga Gegerung berubah. Izzi tegas mengatakan, “Harus usir dari Ketapang. Kalau tidak sanggup, saya yang akan datangkan dari Praya,” tiru Khairuddin.
Rabu malam 18 Oktober 2005. Warga Ahmadiyah sedang mengaji. Ada dua pemuda naik sepeda BMW menemui Zulkhair, ‘Pak Zul, katanya rumah-rumah sudah dihancurkan!’”
Sekitar pukul 21:00 ada pelemparan batu. “Lalu Imah Abidin datang menemui. Juga Ahmad Sofianti untuk tanya saya soal info dua anak itu,” kata Zulkhair.
“Saya suruh KWh dipadamkan. Kami menghadapi mereka, melihat lemparan batu.” Rumah Imah Abidin, Ahmad Sofianti dan Zulkhair termasuk paling dekat jalan, front terdepan penyerangan.
Agak mendalam, di rumah Syahidin, “Kami lagi tadarusan, tahu-tahu, ‘Ndang, ndang …’ Batu di atas,” kata Syahidin. “Saya lari, cari isteri saya. Dia lari ke tengah sawah, sembunyi di padi, gendong anak satu-satunya.”
Isteri Komaruddin, Rochiyah, juga melarikan diri ke sawah. Rochiyah hamil besar. Dia jatuh di pematang sawah dalam kegelapan malam.
“Teman-teman lain saya minta melindungi ibu-ibu dan anak-anak. Kami tiga orang saja hadapi 50 orang. Mereka sempat saling melukai, salah sasaran,” kata Zulkhair.
“Sekitar 20-30 menit, kami hadapi 50 orang, dilempari batu. Penyerangan berhenti ketika ada lampu mobil mendatangi perumahan. Mereka kira mobil polisi. Mereka (lari) menyebar. Ternyata tamu-tamu kami dari Sembalun, Lombok Timur. Sekitar 10-15 menit kemudian polisi datang.”
“Anehnya, polisi tidak menangkap pelaku penyerangan itu?” kata Zulkhair.
Keesokan hari, perut Rochiyah sakit. Ternyata dia keguguran. Janinnya, bayi lelaki.
“Anak saya trauma dengan teriak-teriakan,” kata Syahidin.
Sejak Oktober itu perumahan BTN Ahmadiyah di Gegerung dijaga polisi.

NAMUN INTIMIDASI DAN TEROR jalan terus. “Kita katanya akan diserang besar-besaran sesudah Lebaran. Seminggu terus tegang. Selalu ada isyu akan diserang. Tiap malam ada teriakan, ‘Jihad! Serang! Bunuh!’” kata Zulkhair. 
“Lebaran jatuh Rabu. Kita diundang ikut sholat Ied di masjid Qurratul Ain. Ada 11 orang ikut sholat di sana.”
Sesudah Lebaran, ada lagi pengajian Muhammad Izzi. Dari loudspeaker, beberapa warga Ahmadiyah mendengar Izzi mengancam, “Kalau orang-orang Ketapang tidak berani usir orang-orang dari BTN, saya akan bawakan dari Praya.” Izzi dilaporkan membuat deadline “tiga bulan” sesudah dia pulang dari ibadah haji.
Pada 31 Desember 2005, lebih ramai lagi. Tengah malam ada orang-orang melewati perumahan BTN. “Paman saya dengan isterinya menabrak tembok dengar mau diserang. Sampai benjol kepalanya,” kata Zulkhair. Pendek kata, selama tiga bulan mereka tidak bisa tenang tidur malam.

SABTU , 4 FEBRUARI 2006, akhirnya terjadi penyerangan besar sekitar pukul 11:00. Beberapa polisi sedang jaga, tidur-tiduran di rumah Zulkhair. Warga Ahmadiyah sedang gotong-royong, menimbun lubang-lubang bekas truk pasir di jalan desa. “Kami bergurau, ‘Kita ini membikin jalan mulus untuk orang mulus menyerang kita,’” kata Zulkhair.
Tiba-tiba datang rombongan besar. Ada lebih dari seribu orang datang menyerang. Mereka lempar batu. Mereka teriak-teriak, “Serbu! Bakar!” Para polisi lari tanpa sepatu ketika serangan datang.
Warga Ahmadiyah bertahan. Beberapa rumah yang dekat jalan dibakar, termasuk milik Imah Abidin. Truk-truk polisi datang untuk evakuasi. Namun warga Ahmadiyah menolak. Mereka kuatir sekali evakuasi, mereka akan terusir selamanya. Para lelaki bertahan dengan pentungan kayu. Kaca-kaca pecah. Maret lalu, dua tahun sesudah serbuan, saya masih melihat bekas penyerangan ini. Pintu didobrak atau jendela dipukul hingga hancur.
Pukul 13:30 serangan berhenti sebentar. Zulkhair sempat masuk rumah dan ambil Al Quran. “Saya anggap ilmu saya disana.”
Polisi mendesak Ahmadiyah evakuasi. Polisi jamin rumah-rumah mereka dijaga. Tapi rumah-rumah dibakar dan polisi membiarkan. “Adoh, apa kerjanya polisi?” pikir Zulkhair.
Polisi lantas menaruh ibu-ibu dan anak-anak dekat truk.
“Saya minta tak usah ikut polisi,” kata Zulkhair.
“Sudah beberapa kali kami dijarah, dibakar, diusir. Saya bawa tongkat untuk menepis tapi direbut polisi. Tapi orang-orang itu, bawa parang, tongkat, dibiarkan saja. Ini kan rumah saya? Kayu ini untuk jaga rumah saya. Polisi malah marah.”
“Ada haji pakai kayu memimpin gerakan, dibiarkan oleh polisi.”
“Pak itu kok dibiarkan?” tanya Zulkhair.
“Ndak, itu nonton,” kata polisi.
Ada lebih dari 1.000 orang menyerang. Polisi tak mencegah. Polisi justru mencegah Zulkhair dan kawan-kawan membela diri, membela barang dan rumah mereka. “Rumah bikinan saya sendiri dibakar sampai ludes,” kata Zulkhair.
Pukul 16:00, sesudah lima jam saling lempar, ibu-ibu dan anak-anak menangis. Mereka kelaparan. Orang-orang Ahmadiyah menyerah. Mereka naik dua truk polisi, dibawa ke gedung Transito di Mataram. Di sana mereka didata oleh Dinas Sosial. Mereka hanya bawa anak dan pakaian di badan. Anak-anak tidak bisa sekolah karena pakaian mereka dibakar habis.
Saya sempat keliling Gegerung namun tak ada satu pun mau terbuka bicara dengan saya. H. Ahmad Chusairi mengatakan pada saya bahwa dia tak tahu penyerangan itu. “Pas saya sedang sakit.” Dia bilang para pelaku orang-orang dari luar Gegerung. “Yang luka orang dusun Buwuh, desa Gunung Sari. Namanya Ilah. Parah lukanya. Karena orang Buwuh melihat orangnya luka parah, maka dibakarlah rumah Ahmadiyah.”
Saat penyerangan, Muhammad Izzi tidak terlihat. Saya menelepon Izzi, juga mendatangi Praya, namun dia menolak komentar. Seorang kenalan saya di Praya, Esti Wahyuni, satu wartawan yang tetua nikahnya dilakukan Izzi, mengatakan, “Abah Izzi orang baik.” Esti tak tahu Izzi ceramah di Ketapang. Maskum, kepala desa Ketapang, mengatakan Muhammad Izzi tak persis bilang usir. “Dia bilang beri waktu tiga, empat bulan. Saya juga dengar begitu, tapi tidak bilang usir.”
Maret lalu hanya ada rumah-rumah rusak ada di ujung desa. Warga Ahmadiyah mengirim surat kepada Gubernur Zainul Majdi. Mereka memberitahu hendak kembali ke tanah dan rumah mereka. Majdi melarang. Lewat telepon, Majdi bilang kepada saya sebaiknya orang-orang Ahmadiyah itu minta suaka ke Australia.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiRiqOS10fBKL_c5gXXa6F-h_esC_obehCMLBYXbxm5fhOTs9jhGpIEKoyaIqcWp-gkF-_FNJNzrd5ahy6itYORU6588R0jjdtP_4janj3K4cOPRwibpEORU4gVpE4rJjKubhSu1lQVM_I/s400/Ahmadiyah_Gubernur_NTB%5B1%5D
Pada 2008, Zainul Majdi, cucu KH Zainuddin Abdul Majid, pendiri Nadhatul Wathan dari Pancor, Lombok Timur, menang pemilihan umum sebagai gubernur Nusa Tenggara Barat. Majdi usul agar warga Ahmadiyah cari suaka dan pindah ke Australia.

II

SUATU SORE SAYA PERGI mengunjungi rumah tuan guru KH Muhammad Anwar di desa Duman, daerah Langsar, Lombok Barat. Tuan guru adalah sebutan untuk ulama Sasak. Anwar memimpin pesantren Darul Najah. Dia juga ketua Nahdlatul Ulama wilayah Nusa Tenggara Barat. Rumahnya terletak dalam area Darul Najah. Ada tiga set sofa di ruang tamu. Tembok warna hijau-biru tua. Ada buku Risalah Gerakan Ikhwanul Muslimin karya Hasan al Banna terletak di meja.
Anwar termasuk salah satu tuan guru yang dianggap bisa bicara dengan Ahmadiyah. Syaeful Uyun, mubaligh Ahmadiyah di Mataram, beberapa kali datang ke Duman. Anwar juga pernah datang ke Transito, tempat pengungsi Ahmadiyah, di Mataram. Saya tanya bagaimana Anwar melihat pengusiran Ahmadiyah di Pulau Lombok.
Saat serangan Februari 2006, Anwar bilang dia sedang berada di Jakarta. “Banyak yang luka, cacat seumur hidup. Mereka hanya 140an orang melawan ribuan orang … ya habis. Saya lihat di TV. Mereka janji mengubah penampilan dan berbaur dengan masyarakat,” kata Anwar.
Bagaimana melihat sikap pemerintah dan polisi? “Polisi kan juga menghitung. Bagaimana menghadapi suatu keributan? Lebih mudah mengevakuasi seratusan daripada menangkap ribuan.”
Anwar berpendapat Ahmadiyah “tidak nyambung” dengan masyarakat Sasak. “Mereka eksklusif, sering memisahkan diri, terutama dalam ibadah sholat Jumat. Kenapa tidak mau bersama?”
Ini makin peka karena Ahmadiyah ternyata punya pengikut di Pancor, jantung basis Nahdlatul Wathan.
Nahdlatul Wathan adalah organisasi yang didirikan oleh KH Zainuddin Abdul Majid atau “Tuan Guru Pancor” pada 1935. Salah satu cucunya, Zainul Majdi, menggantikan Majid menjadi ketua Nahdlatul Wathan pada 1997. Zainul Majdi seorang doktor ushuluddin dari Universitas Al Azhar, Kairo. Pada 2008, Zainul Majdi menang pemilihan umum sebagai gubernur Nusa Tenggara Barat dengan dukungan Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Bulan Bintang. Ibaratnya, Nadhatul Wathan kini sedang menikmati kebesaran pengaruh mereka. Kehadiran Ahmadiyah di Pancor ibarat duri dalam daging Nahdlatul Wathan.
Sejarah Ahmadiyah tak terlepas dari Mirza Ghulam Ahmad. Dia lahir pada 1835 dari sebuah keluarga elite di Qadian, Punjab, British India. Ketika kecil, dia belajar bahasa Arab dan Persia, serta mempelajari macam-macam keberatan theologi Kristen terhadap Islam. Dia mendirikan satu komunitas Muslim pada 1889. Sepuluh tahun kemudian komunitas ini dinamai Jemaah Ahmadiyah. Dia juga dianggap sebagai Imam Mahdi.
Pada 1902-1903, Mirza Ghulam Ahmad terlibat perdebatan, lewat surat, dengan Pendeta John Alexander Dowie dari Zion, Illinois. Mulanya, Dowie mengatakan dia adalah pembuka jalan untuk kedatangan kedua Kristus. Dia menjadi seorang penyembuh spiritual. Kiprah Dowie banyak diberitakan suratkabar di Amerika Serikat, Australia, Kanada bahkan India. Ini menarik perhatian Ghulam Ahmad. Dia mendebat Dowie dari Qadian. Kini Qadian masuk wilayah negara Pakistan. Ahmad menuduh Dowie sebagai “nabi palsu.” Makin hari debat makin sengit. Banyak suratkabar meliput debat mereka. Pada 1903, akhirnya, Ghulam Ahmad kesal, menantang Dowie “duel doa.” Siapa yang mati duluan berarti kalah.
Waktu itu, Dowie berumur 56 tahun dan Ghulam Ahmad 68 tahun. Para pembaca perdebatan mereka menduga secara natural Ghulam Ahmad, yang lebih tua 12 tahun, akan mati duluan. Ternyata pada 1907, Dowie meninggal dunia lebih dulu. Ahmad meninggal pada 1908 dalam usia 72 tahun. Cerita ini sering dimasukkan dalam literatur Ahmadiyah.
Menurut Ghulam Ahmad, Ahmadiyah merupakan bagian dari Islam. Anggota Ahmadiyah mengamalkan kelima Rukun Islam: syahadat, sholat, puasa, zakat, haji. Ahmadiyah juga berkeinginan mendorong dialog antar iman dan berusaha memperbaiki kesalahpahaman mengenai Islam di dunia Barat. Mirza Ghulam Ahmad menulis lebih dari 80 buku serta mengedepankan pendekatan non-violence. Mereka banyak berkiprah di negara-negara Barat, termasuk menterjemahkan Al Quran ke berbagai bahasa Inggris dan sebagainya.
Pada 1925, Ahmadiyah mengutus mubaligh Rahmat Ali dari Qadian ke Hindia Belanda. Rahmat Ali seorang alumnus Universitas Punjab. Dia berangkat ke Sumatra atas undangan tiga mahasiswa Minangkabau, yang belajar di Lahore, British India. Rahmat Ali mulanya tiba di Tapaktuan, Aceh, lantas berangkat menuju Padang. Pada tahun 1926, Jemaah Ahmadiyah resmi berdiri sebagai organisasi di Padang, dalam masa pemerintahan Gubernur Jenderal Andries Cornelis Dirk de Graeff (1926-1931). Rahmat Ali pun pindah ke Batavia, ibukota Hindia Belanda. Langkah ini membuat perkembangan Ahmadiyah makin cepat. Rahmat Ali banyak membaiat orang Sunda masuk Ahmadiyah. Ahmadiyah melewati masa-masa pemerintahan pemerintahan tiga gubernur jenderal lagi maupun zaman Jepang.
Sesudah Indonesia menggantikan Hindia Belanda, Jemaah Ahmadiyah Indonesia diakui sebagai badan hukum pada Maret 1953. Pada 1965-1966, ketika terjadi demonstrasi melawan kediktatoran Presiden Soekarno, satu mahasiswa kedokteran Universitas Indonesia, Arif Rahman Hakim, ditembak tentara hingga mati dekat Istana Merdeka, Jakarta, pada 24 Februari 1966. Dia seorang warga Ahmadiyah. Kini namanya sering jadi nama-nama jalan di Pulau Jawa. Ada yang bilang dia ditembak anggota Tjakrabirawa, ada yang bilang dia ditembak Garnisun di Lapangan Banteng.
Hubungan Ahmadiyah biasa saja ketika Jenderal Soeharto berkuasa. MUI mengeluarkan fatwa anti-Ahmadiyah pada 1980. Soeharto tak terlalu menggubris. Pada tahun 2000, sesudah kejatuhan Soeharto, Presiden Abdurahman Wahid menyambut imam besar Ahmadiyah Mirza Tahir Ahmad, cucu Mirza Ghulam Ahmad, di Jakarta. Mirza Tahir Ahmad juga bertemu dengan Ketua MPR Amien Rais. Amien Rais menyatakan kekaguman terhadap pekerjaan Ahmadiyah di masyarakat Barat. Pada akhir 2000, Wahid diganti oleh Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Bapaknya, Presiden Soekarno, tak melarang Ahmadiyah, Megawati juga tak melarang Ahmadiyah.
Keadaan berubah ketika Susilo Bambang Yudhoyono mengalahkan Megawati dan menang pemilihan presiden pada 2004. Pengaruh MUI berkembang cepat bersama SBY. Tembok batas antara negara dan agama menjadi makin rendah. Pada Oktober 2005, MUI mengeluarkan fatwa pelarangan Ahmadiyah dan minta SBY melarang Ahmadiyah.
Ada juga Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), sebuah organisasi Islam, yang membangun koalisi dengan Forum Umat Islam, Front Pembela Islam serta Majelis Mujahidin Indonesia. Koalisi ini secara sistematis melakukan lobby terhadap Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat, alias Bakor Pakem, agar melarang Ahmadiyah. Bakor Pakem adalah sebuah forum berbagai instansi pemerintah di bawah supervisi Kejaksaan Agung. Tujuan Hizbut Tahrir, induk dari HTI dengan kantor pusat London, adalah mendirikan sebuah khilafah Islamiyah, macam Kesultanan Ottoman, dengan anggota semua negara-negara Islam di seluruh dunia.
Di Jakarta, Ismail Yusanto dari Hizbut Tahrir Indonesia mengatakan kepada saya bahwa Indonesia memang memberikan kebebasan orang beragama tapi bukan bebas menodai Islam. Yusanto mengatakan Ahmadiyah ajaran yang menyimpang dari Islam. Ahmadiyah menghina Nabi Muhammad dan Al Quran. Warga Ahmadiyah punya dua pilihan: (1) Kembali ke Islam yang real; (2) atau menyebut agama mereka sebagai Ahmadiyah. Bukan Islam. “Mazhab dalam Islam banyak tapi Ahmadiyah bukan mazhab. Pemerintah punya otoritas untuk ambil keputusan soal politik, ekonomi dan sebagainya. termasuk soal agama,” kata Yusanto. Soal kekerasan, Yusanto mengatakan, “Saya mengerti kemarahan mereka tapi tidak setuju dengan kekerasan.”
Sikap Front Pembela Islam terhadap Ahmadiyah, disampaikan oleh KH Tubagus Abdurrahman Anwar, dalam sebuah ceramah di Universitas Islam Negeri Jakarta Syarif Hidayatullah, Jakarta, pada 10 Agustus 2005. Pidato ini dimuat dalam sebuah pamflet FPI berjudul, “Ayo Ganyang Ahmadiyah dan JIL.” Abdurrahman Anwar menerangkan mengapa kekerasan boleh dilakukan terhadap Ahmadiyah maupun Jaringan Islam Liberal, sebuah organisasi anak-anak muda Muslim, yang berpusat di Komunitas Utan Kayu, Jakarta.
Menurut Abdurrahman Anwar, “Apabila harta benda dan jiwa raga seseorang terancam, maka ia berhak melakukan bela-paksa (overmacht/noodweer). Apalagi jika yang terancam aqidah dan keyakinannya, yang jauh lebih berharga daripada harta benda dan jiwa raga.”
Dia memberikan bukti kesesatan Ahmadiyah:
  • Ahmadiyah menyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi dan Rasul serta sebagai Imam Mahdi dan Al Masihul Mau’ud.
  • Kitab Tadzkirah berisikan pernyataan bahwa ia adalah “wahyu yang suci.”
Pamflet itu juga memuat tanya jawab. Misalnya, “Kenapa umat Islam tak boleh bertoleransi kepada Ahmadiyah tapi bisa bertoleransi kepada Kristen, Budha dan Hindu?” Jawabnya, “Karena Kristen, Budha dan Hindu adalah kafir asli sedang Ahmadiyah adalah kafir jejadian, yang mengatasnamakan Islam untuk menyesatkan umat Islam.”
Ada juga pertanyaan soal hak asasi manusia, “Bukankah melarang Ahmadiyah merupakan pelanggaran hak asasi manusia?” Jawabnya, “Ahmadiyah tidak berhak menodai dan menistai ajaran Islam. Pelanggaran mana yang lebih berat daripada penodaan dan penistaan agama?”
Di Mataram, H. Saiful Muslim, ketua umum MUI Nusa Tenggara Barat mengatakan kepada saya, MUI tak setuju tindakan mengusir dan membakar. “Kami berharap penyelesaian-penyelesaian tidak dengan cara seperti itu. Tapi dikarenakan Ahmadiyah itu sangat ekslusif hingga umat merasa risih. Kalau saja dakwahnya internal mereka dan lewat ke masjid seperti umat Islam yang lain, itu saya kira tidak ada masalah.” Saiful Muslim juga menyesal soal tindakan Muhammad Izzi di Ketapang. “Kami tidak setuju dengan cara-cara seperti itu. Polisi bisa menyelidiki Muhammad Izzi.” Saya kira polisi Mataram takkan berani memeriksa Izzi.
RUMAH KONTRAKAN MUBALIGH Syaeful Uyun terletak dekat kediaman resmi Gubernur Nusa Tenggara Barat. Logat Sundanya terasa kuat. Uyun pernah menulis surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Mei 2008 dimana secara panjang lebar Uyun membantah kesimpulan MUI.
Uyun mengatakan fatwa MUI terlalu didramatisir, seolah-olah Ahmadiyah tak mengakui Rasulullah sebagai nabi yang terakhir. “Tapi saya tahu kenapa mereka melakukannya. Soalnya, isu itu adalah isu yang sensitif. Untuk berdebat mereka tidak sanggup sehingga mereka pakai drama. Kalau mereka menelaah Ahmadiyah secara jujur, Ahmadiyah adalah Islam.”
Menurut Uyun, kalau ada perbedaan, itu hanya tafsir beberapa nats Al Quran. Kaum Ahmadiyah, misalnya, mewajibkan perempuan ikut shalat Jumat. Warga Ahmadiyah juga tak dianjurkan ikut shalat bila imamnya bukan orang Ahmadiyah.
Dalam suratnya kepada Presiden Yudhoyono, tertanggal 5 Mei 2008, Uyun menerangkan dua macam kategori nabi dalam khasanah Ahmadiyah. Pertama, tasyri adalah nabi yang membawa syariah. Mereka termasuk Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa dan Nabi Muhammad. Pintu kenabian tasyri sudah tertutup dan tak pernah terbuka lagi. Muhammad adalah nabi tasyri terakhir.
Kedua, ghairi tasyri adalah golongan nabi yang tidak membawa syariah. Golongan ini terbagi dua: mustaqil, artinya nabi yang berdiri sendiri, menjadi nabi bukan karena mengikut nabi lain, menjadi nabi semata-mata karena kesucian dirinya; serta nabi ghairi mustaqil, artinya tidak berdiri sendiri, menjadi nabi karena mengikut nabi lain, karena ketaatannya kepada seorang nabi. Kategori ghairi mustaqil ini masih terbuka.
Dalam istilah Nahdlatul Ulama, ghairi mustaqil diistilahkan sebagai nabi yang melaksanakan syariah Nabi Muhammad. Statusnya, hanya pelayan Islam dan Nabi Muhammad. Dalam khasanah Ahmadiyah, mereka termasuk Nabi Zilli, Nabi Buruzi, Nabi Mazazi, Nabi Ummati maupun Mirza Ghulam Ahmad.
Uyun mengutip sebuah ucapan Mirza Ghulam Ahmad dalam Tajalliyat-i-Ilahiyah, “Sesudah Nabi Muhammad SAW tidak boleh lagi mengenal istilah Nabi kepada seseorang, kecuali bila ia lebih dahulu menjadi seorang ummati dan pengikut dari Nabi Muhammad SAW.”
“Kita sudah usaha pendekatan pribadi, penyelaman literatur, diskusi, seminar. Itu terus kita usahakan. Tapi opini publik bahwa Ahmadiyah tidak mengakui Nabi Muhammad dan Quran bukan kitab suci satu-satunya, itu begitu kuat,” kata Uyun.
Menurut Uyun, Tadzkirah bukan kitab suci. Ia hanya sebuah buku karya seorang pengarang bernama Mirza Ghulam Ahmad. Sumber pokok Islam ada pada Quran dan Sunnah Nabi. Dia berpendapat kampanye bahwa Tadzkirah sebagai kitab suci lain membuat orang-orang Ahmadiyah diusir dari kampung-kampung. “Lombok yang paling parah karena disini masyarakat tidak bisa bedakan paham dan manusia.”
Dalam catatan Ahmadiyah, penganiayaan paling menonjol terjadi di Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Medan, Palembang, Kendari, Riau dan Jakarta. Di Jawa Timur juga ada tapi tidak sehebat daerah lain. Di daerah-daerah mayoritas Kristen --Manado, Nusa Tenggara Timur, Ambon dan Papua-- tidak terdengar ada penganiayaan. Cuma di basis Muslim di daerah Kristen, misalnya, Kotamobagu dan Pulau Buru, terdengar ada gejolak. Jogjakarta juga tak ada cerita penganiayaan Ahmadiyah. “Aceh dari dulu anti-Ahmadiyah cuma di Aceh memang Ahmadiyah tidak menonjol,” katanya.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgkUyw7jT-a7ztFT8BL8ARpySiLq8dsRBfzruWGra0unMqdw0BMrg9PKQvgk5YqU-QDnka9w8YoUI1PLkU8574PQtLIzUlT8GpI6b20d5qj9XIxOR7Z_G4Mj3-sOK4-hYYUwv_L5g9aKMI/s400/Ahmadiyah_Zulkhair_di_Transito%5B1%5D
Zulkhair, seorang guru mengaji dan pengungsi kelahiran Pancor, mengatakan, “Sudah lebih 30 tahun saya ikut Ahmadiyah, tidak pernah saya dengar istilah Nabi Mirza.”

III

ADNAN BUYUNG NASUTION tampil rapi, kemeja lengan panjang, pantalon hitam, sepatu boot, rambut keperakan disisir rapi. Saya jadi moderator acara “Bang Buyung” dalam sebuah diskusi Juli lalu di Jakarta. Dia baru saja merayakan ulang tahun ke-75 bersama keluarga dan sahabat. Mereka memberi Buyung hadiah berupa sebuah buku. Judulnya, 75 Tahun Adnan Buyung Nasution: Inspirator. Isinya, 48 esai karya kawan dan keluarga. Mereka termasuk Presiden B.J. Habibie, pastor Franz Magnis-Suseno, pengacara Nono Anwar Makarim, penerbit Jakob Oetama dan Aristides Katoppo, Jenderal Wiranto dan A.M. Hendropriyono, ulama Ma’ruf Amin serta beberapa alumni Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Mereka menulis macam-macam penilaian mereka terhadap Buyung.
Dalam diskusi, saya tanya soal bagaimana proses pelarangan kegiatan Ahmadiyah di Indonesia. Saat itu, Buyung adalah ketua Dewan Pertimbangan Presiden Yudhoyono. Dia termasuk orang yang ikut melawan proses pelarangan Ahmadiyah. Buyung juga seorang pengacara hak asasi manusia. Dia mendirikan YLBHI pada 1970an. Pada 1980an, dia studi doktoral di Universitas Utrecht dan menulis thesis soal Konstituante 1956-1959. Ini sebuah thesis menarik, berjudul, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959. Dalam bahasa Belanda, “pemerintahan konstitusional” disebut rechtstaad atau “negara hukum” dalam terminologi Indonesia.
Menurut Buyung, dia terlambat mendengar rencana larangan Ahmadiyah. Ada dua orang Ahmadiyah, Agus Mubarik dan Lamardi, lapor kepada Buyung. Mereka bilang pemerintah Yudhoyono sudah siap dengan satu SK untuk membubarkan Ahmadiyah. Dilarang sama sekali di Indonesia.
Ia dimulai pada April 2008 ketika Bakor Pakem mengeluarkan rekomendasi agar tiga menteri teken surat keputusan bersama. Tujuannya, memberi peringatan kepada warga Ahmadiyah untuk berhenti menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi dan mengacu pada Tadzkirah. Tiga menteri itu adalah Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, Menteri Agama Maftuh Basyuni dan Jaksa Agung Hendarman Supanji.
“Saya kaget. Saya sama teman-teman, aktivis semua, bilang, ‘Ini mesti distop, tidak boleh terjadi larangan Ahmadiyah. Jika ini terjadi kita telah ikut cara-cara seperti di Pakistan: melarang satu keyakinan agama.’ Karena kita kan negara berbhineka, semua agama harus dihormati,” kata Buyung.
Buyung mendekati beberapa kenalannya -- Abdurrahman Wahid, Amien Rais, Asmara Nababan, Djohan Effendi, Goenawan Mohamad, Nong Darol Mahmada, Budiman Sujatmiko, Nono Anwar Makarim, Syafii Maarif dan banyak tokoh masyarakat lain-- untuk menghentikan kampanye anti-Ahmadiyah. Mereka lantas menerbitkan sebuah iklan satu halaman, pada 30 Mei 2008, di beberapa suratkabar Jakarta. Judulnya, “Mari Pertahankan Indonesia Kita.” Ia juga berupa undangan apel akbar pada 1 Juni 2008 di Monumen Nasional. Mereka menamakan persekutuan itu Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB).
Indonesia menjamin tiap warga bebas beragama. Inilah hak asasi manusia yang dijamin oleh Konstitusi.
Ini juga inti dari asas Bhineka Tunggal Ika, yang menjadi sendi ke-indonesia-an kita.
Tapi belakangan ini ada sekelompok orang yang hendak menghapuskan hak asasi itu dan mengancam ke-bhineka-an. Mereka juga mengatasnamakan umat Islam untuk menyebarkan kebencian dan ketakutan di masyarakat.
Bahkan mereka menggunakan kekerasan, seperti yang terjadi terhadap penganut Ahmadiyah yang sudah sejak 1925 hidup di Indonesia dan berdampingan damai dengan umat lain.
Pada akhirnya mereka akan memaksakan rencana mereka untuk mengubah dasar negara Indonesia, Pancasila, mengabaikan Konstitusi, dan menghancurkan sendi kebersamaan kita.
Kami menyerukan, agar Pemerintah, para wakil rakyat, dan para pemegang otoritas hukum, untuk tidak takut kepada tekanan yang membahayakan ke-indonesia-an itu.
Marilah kita jaga Republik kita.
Marilah kita pertahankan hak-hak asasi kita.
Marilah kita kembalikan persatuan kita.

Ternyata apel 1 Juni 2008 berubah menjadi peristiwa berdarah. Puluhan milisi berbendera Islam –termasuk Front Pembela Islam, Laskar Mujahidin, Gerakan Reformasi Islam—menggunakan kekerasan untuk membubarkan apel tersebut. Mereka kelihatannya dipimpin Munarman, seorang pengacara, aktivis Hizbut Tahrir serta mantan murid Buyung di YLBHI. Munarman disebut “panglima” para laskar itu. Mereka menyerang dan memukul puluhan warga Ahmadiyah dan aktivis AKKBB di Monumen Nasional. Peristiwa ini diliput besar-besaran oleh televisi. Saya melihat Ahmad Suaedy, direktur Wahid Institute, dipukul mukanya dengan sebilah bambu. Tahir Ahmad, seorang warga Ahmadiyah, menderita gegar otak. Puluhan ibu Ahmadiyah lari dari sergapan laskar.
Belakangan Munarman ditangkap polisi. Polisi juga menangkap Habib Rizieq Syihab dari Front Pembela Islam dengan tuduhan menghasut dan menyebarkan kebencian. Oktober 2008, pengadilan Jakarta Pusat menghukum Munarman 1.5 tahun penjara karena tindakan kekerasan. Rizieq Syihab juga dihukum 1.5 tahun dan mengajukan banding. Pengacaranya, Mirza Zulkarnaen, mengatakan Rizieq Shihab tak pernah menganjurkan kepada anak buahnya untuk melakukan tindakan rusuh di Monumen Nasional.
Sebagai penasihat presiden, Buyung bertemu langsung dengan Presiden Yudhoyono. Buyung menjelaskan bahaya kalau Ahmadiyah dibubarkan. “Ahmadiyah ini satu keyakinan orang, walaupun mereka berbeda akidah dengan Islam lainnya, tapi itu urusan internal teologi Islam. Bukan bidang pemerintah. Tiap agama secara teologis di dalamnya ada perbedaan. Lihat di Katolik berapa banyak sekte di Katolik? Lihat di Protestan, berapa banyak sekte-sekte? Jadi tidak bisa kita mengadili, mengatakan ini yang paling benar. Karena itu saya bilang tidak boleh ini terjadi.”
“Alhamdulillah Presiden memahami. Jika satu ini diizinkan, besok mereka menuntut lebih hebat lagi. Habis semua dibabat.”
Yudhoyono sepakat, “Oke, Bang Buyung, saya setuju tidak boleh keluar larangan.”
Namun Yudhoyono minta Buyung bicara dengan ketiga menteri itu. Pertemuan pun diselenggarakan oleh Menteri Sekretaris Negara Hatta Radjasa, sebagai moderator. Maka berdebatlah Buyung dengan tiga menteri, selama tiga atau empat jam.
“Kita kan mendirikan satu negara, satu tanah air, satu bahasa, tidak negara Islam. Dan itu mesti baca di Konstituante, perdebatan yang paling lengkap. Tapi periode 1956-1959 itu oleh Soekarno dianggap jelek kan? Periode zaman demokrasi liberal. Jadi nggak ada yang bagus, semua buruk, termasuk Konstituante. Saya memberi perhatian Konstituante sebagai topik perdebatan. Jadi kalau baca di situ penolakan terhadap negara Islam itu kuat sekali. Pada waktu voting, partai Islam yang mendukung itu kalah terhadap yang lain-lainnya: Islam, Kristen, nasionalis, apapun semua menolak. Dan penolakan itu terjadi juga kemarin pada waktu amandemen UUD 1945. Ada lagi usaha yang mau masukkan Piagam Jakarta, ditolak lagi.”
Buyung mengacu pada perdebatan dalam sidang-sidang Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan Republik Indonesia, atau Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai, pada Mei-Agustus 1945 dimana ada diskusi soal pilihan dasar negara Indonesia: Islam atau sekulerisme atau Pancasila. Pada 18 Agustus 1945, dicapai kompromi dengan menghilangkan tujuh kata soal syariah Islam pada pembukaan UUD 1945. Komprominya, Pancasila. Kompromi sementara karena diskusi tak bisa tuntas berhubung sedang masa gawat, pasca Perang Dunia II, kerajaan Belanda ingin mengambil alih Hindia Belanda dari tangan Jepang. Padahal Soekarno dan Moh. Hatta sudah menyatakan kemerdekaan Indonesia. Pada 1949, Belanda menyerahkan kedaulatan Hindia Belanda kepada Republik Indonesia Serikat. Debat ini dilanjutkan pada sidang-sidang Konstituante 1956-1959. Ia juga tak tuntas karena Presiden Soekarno membubarkan Konstituante. Buyung menulis soal perdebatan ini pada thesis di Universitas Uthrect. Pada 1999, saat sidang umum MPR, sekali lagi isu syariah Islam ini muncul.
Singkatnya, ketiga menteri itu menerima pendirian Buyung. Persoalannya, keputusan kabinet sudah terlanjur keluar. Surat keputusan tetap harus keluar. Maka mereka sepakat bikin surat keputusan tapi tidak membubarkan Ahmadiyah. Namun Ahmadiyah tak boleh menyebarkan siar ajaran mereka di luar masyarakat Ahmadiyah.
Saya ingat apa yang dikatakan Syaeful Uyun. Menurut Uyun, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sebenarnya toleran terhadap Ahmadiyah. “Amien Rais sangat toleran terhadap Ahmadiyah. Syafii Maarif juga begitu,” katanya. “Nahdlatul Ulama, secara kelembagaan juga begitu, tapi ada person-person NU, termasuk Ma’ruf Amin, yang anti-Ahmadiyah. Sahal Mahfudz, ketua MUI, tidak begitu. NU sangat toleran. Gus Dur bahkan membela Ahmadiyah.”
Menurut analisis Uyun, organisasi yang paling anti Ahmadiyah adalah Hizbut Tahrir. Uyun berpendapat Hizbut Tahrir ingin menggiring warga Muslim di Indonesia untuk mendirikan negara Islam. Isu Ahmadiyah hanya dijadikan kendaraan Hizbut Tahrir untuk membuat “umat Islam” di Pulau Jawa dan sekitarnya lebih radikal. “Kalau pemerintah Yudhoyono tak waspada, sekarang eksistensi Indonesia sebagai negara-bangsa riskan. Konsep khilafah HTI sama dengan yang di Turki.”
“Indonesia sejak awal berdiri telah sepakat didirikan sebagai negara-bangsa dan didirikan di atas segala macam perbedaan –suku, agama, kepercayaan, adat istiadat. Oleh karena itu Indonesia punya filsafah, Bhinneka Tunggal Ika.”
“Orang Turki sendiri tidak mengharapkan khilafah. Kok orang Indonesia yang gegap gempita!”
SK Ahmadiyah muncul pada 9 Juni 2008, seminggu sesudah penyerangan di Monumen Nasional. Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, Menteri Agama Maftuh Basyuni dan Jaksa Agung Hendarman Supanji mengumumkan SK No. 3 Tahun 2008 tentang “Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota dan/atau Pengurus Jemaah Ahmadiyah Indonesia.” Isinya, memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga Ahmadiyah untuk menghentikan “penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam.” Hukuman penjara maksimal lima tahun diberikan kepada orang yang melanggar SK tersebut.
Human Rights Watch dari New York protes. Mereka mengingatkan bahwa Indonesia sudah meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights pada Februari 2006. Artinya, Indonesia setuju dengan semua isi traktat internasional itu. Pasal 18 dari traktat itu menyebut, “No one shall be subject to coercion which would impair his freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice.” Pasal 27 menyebut, “… persons belonging to ... minorities shall not be denied the right, in community with the other members of their group, to enjoy their own culture, to profess and practice their own religion.”
SK No. 3 Tahun 2008 secara tersurat melanggar International Covenant on Civil and Political Rights. Ia juga melanggar Undang-undang Dasar 1945 pasal 28E. Bunyinya, "Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya .... Setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan ... sesuai hati nuraninya."
Sidney Jones dari International Crisis Group menyatakan, “The Yudhoyono government made a serious error in 2005 by inviting MUI to help shape policy. It opened the door for hardline groups to press for greater state intervention to define orthodoxy and legislate morality.”
Adnan Buyung Nasution mengatakan dia sudah berusaha maksimal dari dalam sistem pemerintahan Yudhoyono guna mencegah makin merendahnya tembok antara agama dan negara. Dia berpendapat bila SK Ahmadiyah dianggap melanggar traktat internasional dan UUD 1945, dia melihat ada dua jalan hukum: warga sendiri bisa bertindak, melakukan class-action, citizen lawsuit, menggugat Menteri Dalam Negeri atau langsung ke Mahkamah Agung.
“Mudah-mudahan pemerintah yang baru lebih tegas,” katanya.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEilJ-9syXHn5Ri6ISB7Tf6GClgdQkpeqJVJX1NHfwbHbvlOLUiLLCpDYWknFGiXoHa9eTMTQSH1RVSeR_JMEsgaeAK-fZaIDB7z-2UYYlvyGeHZYu5xZTmL_z6Y3NFf6R69-mHAhUF0NJs/s400/Ahmadiyah_dua_perempuan_di_Transito_Mataram%5B1%5D
Para pengungsi Ahmadiyah di Transito, satu bangunan pemerintah di Mataram. Ukuran tempat tinggal mereka adalah dua meja per keluarga. Dapur ada di luar ruang. Mereka punya tanah dan rumah di Gegerung namun tak bisa menempati hak tersebut .

IV

PADA MARET 2009, selama dua minggu, saya mengunjungi para pengungsi Ahmadiyah di Transito, satu bangunan pemerintah di Mataram. Ia terletak di sebuah jalanan sepi. Depan Transito ada warung kecil, jualan kopi, teh, soda, biskuit, sabun, minyak kayu putih, pisau cukur, kacang goreng. Cidomo terlihat hilir mudik. Namanya, Jalan Transmigrasi. Di depan Transito ada perusahaan percetakan Agil Akbar Grafindo merangkap kantor harian umum Warta NTB. Juga ada papan nama PT Windu Sarana Development: mengirim TKI ke Hong Kong, Singapura, Malaysia.
Nama daerah ini adalah Majeluk. Asalnya, dari kata Sasak “jeluk” atau “jemur.” Zaman Jepang, Majeluk adalah tempat tahanan-tahanan mati disiksa dan dijemur. Ada pohon waru, pohon akasia, pohon ketapang yang mekar, tempat berteduh. Asrama Transito dibangun pada 1974 untuk calon transmigran Sasak, guna dikirim ke Kalimantan, Papua, Sulawesi dan Sumbawa.
“Daerah Majeluk ini aman. Dulu ada yang mau bikin kisruh tapi kita itu sama-sama manusia. Apapun tingkah laku, itu urusan dia. Kampung Majeluk ini tidak mau rusuh apapun,” kata Mohammad Achir, warga Majeluk, seorang sopir truk. “Orang-orang Ahmadiyah paling aman disini. Tidak ada yang mau mengusir,” katanya. Di Majeluk juga ada beberapa rumah orang Hindu.
Di dalam, saya bertemu Nur Hidayati. Dia menunjukkan saya tempat tinggalnya. Kamar hanya untuk orang dewasa, anak-anak dan gadis. Kamar mereka masing-masing hanya seukuran dua bangku. Sekat kamar dari kain sarung, yang dibuka jahitannya. Anak lelaki yang sudah besar, tidur di musholla. Dapur terletak di luar bangunan. Ada sebuah ruang dipakai sebagai musholla.
Nur Hidayati sendiri seorang perempuan muda, umur 20 tahun. Dia baru menikah tujuh bulan, dengan Abdullah, sesama pengungsi dan tukang cukur rambut. Ketika remaja, rumah Nur di Selong, Lombok Timur, dibakar. Mereka diusir. Pengurus Ahmadiyah memutuskan memindahkan semua anak-anak Ahmadiyah ke tanah Priangan di Pulau Jawa.
Pertimbangannya, sekolah mereka tetap jalan sementara orang tua mereka mengatur kehidupan yang porak-poranda. Nur mengatakan sebuah bus Safari Dharma Raya, penuh dengan anak, membawa mereka ke Priangan. “Kami ditempatkan di keluarga-keluarga Ahmadiyah di Tasikmalaya,” katanya.
Namun, banyak anak yang tak kerasan. Ada yang tidak naik kelas. Jauh dari orang tua dan perbedaan budaya, bahasa Sunda dan bahasa Sasak, membuat mereka perlu waktu guna adaptasi. Nur dijemput orang tua dan kembali ke Mataram. Dia melanjutkan sekolah di SMP dan SMA Muhammadiyah, Mataram.
“Kami tidak eksklusif. Buktinya? Saya sekolah di Muhammadiyah. Dibilang selalu menyendiri, itu karena mereka tidak lihat kesini. Kami selalu terbuka. Tuan Guru Anwar … Maulud Nabi kemarin beliau kesini,” katanya.
Khairuddin, pengungsi asal Selong, cerita bahwa dua dari tiga anaknya lahir di pengungsian. Isterinya hamil muda saat mereka diusir dari Selong. Anak pertama, Hafiz Qudratullah, mengalami trauma. Pelajaran turun drastis. Hafiz sempat tak naik kelas. Dia sering melamun, kadang teriak, “Orang jahat. Orang jahat. Mengapa rumah dibakar?”
Anak kedua, Rafiq Wahyu Ahmadi, sering bermimpi, “Orang jahat dobrak pintu dan teriak, ‘Serbu, serbu.’ Kalau tidak cerita, Rafiq menangis, tapi kalau sudah cerita, dia jadi tenang,” kata Khairuddin.
Saya sedih melihat anak-anak Ahmadiyah yang sudah 5-10 tahun hidup dalam pengungsian. Syahidin dari Bayan mengatakan ada 10 bayi lahir di Transito sejak pengusiran dari Gegerung, “Anak bungsu saya diberi nama Muhammad Khatamann Nabiyin … juga lahir di Transito.” Syahidin menerangkan bahwa dalam bahasa Arab, khatam artinya pemungkas. Nabiyin artinya nabi. Muhammad Khatamann Nabiyin berarti Muhammad adalah nabi pamungkas. Ini menegaskan bahwa kaum Ahmadiyah mengganggap Nabi Muhammad sebagai nabi pamungkas.
Ketika hendak meninggalkan Transito, saya tanya pada Nur Hidayati bagaimana rasanya hidup delapan tahun di pengungsian, tumbuh besar dalam ketakutan. Dia terdiam. Kami melihat anak-anak lelaki riuh main sepak bola di halaman Transito. Nur lantas menjawab lirih, “Apa yang dirintis orang tua memang hilang: harta, rumah, tanah. Tapi ini tidak menggoyahkan iman kami.”
“Iman kami tidak goyah.”
***
Jamila Trindle, seorang wartawan televisi Philadelphia, Lexy Rambadeta dari Offstream, serta Andreas Harsono, pergi ke Pulau Lombok guna meliput para pengungsi Ahmadiyah pada Maret 2009. Liputan diadakan oleh International Center for Journalists serta disponsori Carnegie Corporation. Naskah ini, dalam bentuk lebih singkat, dimuat majalah Gatra "Mereka Yang Teraniaya dan Terusir" pada Februari 2010. Andreas Harsono ikut menandatangani petisi Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan.

� /-e b � bersenjata yang serius. Penduduk Papua juga menuntut kemerdekaan. Selain itu Habibie masih harus menghadapi tuduhan sebagai orang yang melindungi Suharto dari tangan hukum.
Pada Oktober 1999 Habibie kalah suara dari Abdurrahman Wahid dalam pemilihan presiden. Indonesia memasuki masa demokratisasi yang jauh lebih kompleks. Wahid berupaya keras mendorong program demokratisasi. Ia memecat jenderal-jenderal nakal bahkan menjanjikan referendum di Aceh. Ia bicara dengan para pemberontak melalui telepon dan mendengarkan keluhan mereka. Wahid bertahan 20 bulan sebelum ia diberhentikan dari kursi kepresidenan pada Juli 2001. Wahid seorang cendekiawan liberal dan aktivis pro-demokrasi, tapi bukan seorang manajer yang baik. Wakilnya, Megawati Soekarnoputri, mengambil alih kendali. Hamzah Haz, ketika itu menjabat menteri, menjadi wakil presiden.
Apa yang bermula sebagai protes terhadap privatisasi kemudian mengerucut menjadi persoalan gaji. Presiden Wahid memutuskan kenaikan gaji pegawai negeri saat ia menjabat. Karyawan PAM Jaya memandang diri mereka “pegawai negeri.” Tapi setelah mereka bekerja untuk RWE Thames Water dan Ondeo Service, mereka sadar bahwa penghasilan mereka sekitar 30 persen lebih rendah dibandingkan dengan gaji kolega mereka yang masih bekerja untuk PAM Jaya. “Kami baru sadar itu ada sekitar 200 yang masih kerja di PAM Jaya lebih enak mereka,” ujar Napitupulu.
Demonstrasi yang terus-menerus bagaimana pun juga mengganggu manajemen konsorsium. Pada periode tersebut, kalau Anda mengunjungi kantor PAM Jaya di mana pun, Anda akan melihat suasana kerjanya mencemaskan. Ada karyawan yang mau bekerja dengan manajemen baru namun lebih banyak lagi yang bekerja sejauh mereka tak melanggar hukum. Sutiyoso belakangan memecat Rama Boedi. Alasannya tak jelas. Banyakyang menduga lantaran Rama tak mendukung privatisasi dan diam-diam memberi angin pada para demonstran.
Pihak konsorsium juga mendapat masalah baru dengan munculnya DPRD yang lebih bertaring. Bulan Desember 1999, Edy Waluyo, ketua DPRD Jakarta, melayangkan surat pada Sutiyoso, menyampaikan bahwa perundingan ulang dengan konsorsium hanya bisa dilaksanakan sampai Februari 2000, “Jika negosiasi tak bisa selesai per 1 Februari 2000, kerja sama harus dibatalkan.”
Buru-buru Sutiyoso mendesak orang-orangnya untuk mempercepat proses perundingan. Tim baru bergerak lebih cepat sekaligus membujuk DPRD untuk meredam tuntutannya. Di sisi lain, Sutiyoso juga menolak permintaan konsorsium agar ia mengusulkan kenaikan tarif air. Air adalah isu politik yang peka. Orang bisa hidup tanpa listrik, tanpa telepon, atau tanpa jalanan mulus, tapi tanpa air mereka akan menderita sekali. Sutiyoso enggan memancing kemarahan rakyat selagi dirinya, sebagai kaki tangan Suharto, masih digugat banyak orang.
Pada 28 Februari 2000, ketika sudah jelas bahwa perundingan tak mungkin tuntas, Edy Waluyo melayangkan surat lagi, memberi Sutiyoso tambahan waktu. Ternyata perundingan berjalan jauh lebih lambat. Sutiyoso terpaksa setuju menaikkan tarif air sebesar 35 persen pada April 2001. Perundingan kedua ternyata sama panjangnya seperti yang pertama. Baru pada 22 Oktober 2001 kontrak kedua, ditandatangani oleh PAM Jaya dan pihak swasta.
Kedua perusahaan internasional pun berganti nama. Sembilan puluh lima persen saham PT Thames PAM Jaya maupun PT PAM Lyonnaise Jaya dimiliki perusahaan induk mereka di London dan Paris. Dua perusahaan Indonesia, masing-masing PT Terra Metta Phora dan PT Bangun Cipta Sarana, hanya punya hak saham lima persen. Kedua pemegang saham minoritas asal Indonesia ini adalah sub-kontraktor dari kedua konsorsium.
Kontrak kedua mencakup 13 perubahan besar. Semula masing-masing konsorsium swasta memiliki kontrol atas rekening escrow. Mereka dapat menarik uang dari rekening tersebut tanpa persetujuan PAM Jaya. Prioritas penggunaan rekening adalah untuk biaya operasi pihak swasta. Mulanya, PAM Jaya juga tak dapat menelaah laporan keuangan pihak swasta. Kini semua itu berubah. Sebuah badan regulator dibentuk. Ketuanya tak lain adalah Achmad Lanti, pensiunan pegawai negeri, yang dulunya terlibat dalam perundingan pertama.

Perbedaan antara kontrak tahun 1997 dan 2001

Juni 1997
Oktober 2001
Sumur dalam
PAM Jaya bertanggung jawab menutup sumur dalam yang banyak dipakai oleh hotel dan pabrik di Jakarta.
Konsorsium menutup sumur dalam bekerja sama dengan dinas pertambangan dan energi.
Pembelian
Tender terbuka untuk pembelian di atas US$ 5 juta. Kontraktor kecil dan mengenah PAM Jaya merasa dirugikan.
Tender terbuka di atas Rp 500 juta (sekitar $50,000 dengan nilai tukar saat itu).
Pasokan air baku
PAM Jaya bertindak sebagai pemasok air baku ke konsorsium, jika PAM Jaya tak mampu melakukannya, pihak konsorsium bisa mencari air baku dari sumber lain dan PAM Jaya harus membayar selisih harga.
Pihak swasta berurusan langsung dengan Perum Jasa Tirta, PDAM, Tangerang, dan PDAM Bogor, yang biasa memasok air baku ke Jakarta. Pihak swasta harus membayar PAM Jaya selisih harga yang dulu dibayar PAM Jaya ke pihak swasta antara 1 Februari 1998 dan penandatanganan kontrak baru (Oktober 2001).
Karyawan

Karyawan PAM Jaya tetap berstatus pegawai negeri namun dipinjamkan ke konsorsium
Karyawan PAM Jaya jadi karyawan konsorsium .Sebuah panel untuk mengurus sengketa perburuhan akan dibuat.

Supervisi

PAM Jaya tak bisa mengambil data dari pihak swasta, tak ada sanksi yang jelas bila pihak swasta tak memenuhi target, juga tak jelas siap yang melakukan supervisi terhadap konsorsium, hanya auditor independen yang bisa memeriksa keuangan konsorsium
Supervisi PAM Jaya tak bisa mengambil data dari pihak swasta, tak ada sanksi yang jelas bila pihak swasta tak memenuhi target, juga tak jelas siap yang melakukan supervisi terhadap konsorsium, hanya auditor independen yang bisa memeriksa keuangan konsorsium Sebuah badan regulator dibentuk dan bersama PAM Jaya, mereka bisa memeriksa keuangan pihak swasta, ada sanksi dan penalti bila pihak swasta tak memenuhi atau terlambat memenuhi berbagai ketentuan.
Escrow account
Pihak swasta bisa mengambil uang dari rekening bersama tanpa persetujuan PAM Jaya. Prioritas penggunaan escrow account ada pada biaya operasi konsorsium
Pihak swasta bisa mencairkan uang dengan persetujuan PAM Jaya dan prioritas adalah membayar utang PAM Jaya
Imbalan air (water charge)
Harga imbalan air naik otomatis tiap enam bulan dengan persetujuan DPRD Jakarta, dan jika ada keterlambatan, selisihnya harus dibayar PAM Jaya, dan tak ada sistem untuk mengingatkan PAM Jaya bila bakal ada selisih
Tarif air direkomendasikan oleh PAM Jaya maupun pihak swasta kepada Badan Regulator. Badan Regulator inilah yang akan berurusan dengan DPRD Jakarta dalam menaikkan tarif air. Selisih sebelumnya akan diaudit oleh BPKP dan pihak swasta harus membayar PAM Jaya
Perselisihan
Mekanisme tiga tingkat: musyawarah, mediasi oleh pakar, dan pengadilan internasional di Singapura
Mekanisme empat tingkat: musyawarah, mediasi oleh Badan Regulator, mediasi oleh para pakar, dan pengadilan baik di Jakarta atau Singapura
 Badan Regulator
PAM Jaya melakukan supervisi terhadap pihak swasta
PAM Jaya dan Badan Regulator melakukan supervisi
Sumber: Kontrak tahun 1997 dan 2001 antara PAM Jaya dan konsorsium swasta.

Namun bagi karyawan PAM Jaya, kontrak kedua lebih merugikan mereka. Kontrak ini menyatakan bahwa hanya ada “status tunggal” bagi karyawan. Mereka harus memilih: jadi pegawai konsorsium atau menerima “golden hand shake” –istilah halus untuk pemecatan. Dengan kata lain, kontrak kedua ini bisa menjadi dasar pemecatan besar-besaran.
“Saya mulai curiga ketika melihat status kerja,” kata Efendy Napitupulu.
Bernard Lafrogne mengatakan bahwa pada 1998 mereka mulai beroperasi dengan nisbah 7,72 pekerja per 1.000 sambungan air. Pada 2001 nisbah tersebut turun jadi 4,71 pekerja. “Jika kita lihat pada Malaysia atau Manila, sekitar tiga orang saja sudah cukup, perusahaan akan lebih efisien.”
Taufik Sandjaja menjelaskan, jumlah pegawai telah turun dari 3.000 menjadi 2.200 pada Desember 2003, seraya menambahkan bahwa setengah dari mereka yang memilih meninggalkan PAM Jaya terpaksa mengambil uang pesangon. Namun 1.110 dari 2.200 yang tertinggal itulah yang mengajukan gugatan hukum melawan PAM Jaya dan konsorsium.
Dalam wawancara dengan para aktivis di kantor kecil mereka di Buaran, saya bertanya, “Mana dari kedua operator tersebut yang lebih baik?” Ini memang bukan pertanyaan mudah karena kedua perusahaan bekerja sama dengan erat dan berkomunikasi secara rutin. Tapi para aktivis itu rata-rata menyatakan PT PAM Lyonnaise Jaya lebih memahami budaya lokal daripada PT Thames PAM Jaya milik RWE Thames Water.
Saya bertanya apa beda Thames Water dulu dengan manajemen RWE Thames Water sesudah merger? “Ada kemajuan sejak mereka dengan RWE. Masih pola lama, tapi mereka berusaha membentuk satu komunitas di karyawan, dikondisikan agar mau bekerja sama dalam menunjang policy kepegawaian. Misalnya, alih status dari karyawan PAM menjadi karyawan mereka. Buntutnya rasionalisasi. Ujung-ujungnya rasionalisasi,” kata Taufik, yang berstatus tenaga pemasaran PT PAM Lyonnaise Jaya.
Ponimin, aktivis SPAI yang lain, mengatakan bahwa tak banyak kebijakan yang berubah. Itulah alasan mereka melancarkan gugatan hukum. “Ini ide kita semua. Semua sudah kita lewati, Departemen Tenaga Kerja, Gubernur dan sebagainya. Untuk mencari keadilan, kami masuk ke pengadilan, untuk dapat kekuatan hukum. Dulu ada Foska PAM Jaya tapi sifatnya lobby-lobby saja. Ada jawaban, tapi ya cuma omongan. Lalu kita bikin SPAI,” kata Ponimin.
Persoalan tak berpusar pada tarik urat leher semata. Ada juga tawaran yang menggiurkan. Taufik menyodorkan sebuah contoh. Satu kali ia “ditawari” memimpin bagian perburuhan PT Thames PAM Jaya.
“Saya tolak tentu,” katanya, “Itu khan namanya berkhianat?”
Dari Buaran, saya punya kesan yang campur aduk tentang Napitupulu dan rekan-rekannya. Bagaimana pun mereka berjuang untuk sebuah cita-cita, yang mungkin tak sepenuhnya bisa dimengerti orang, terutama mereka yang berada di Bank Dunia atau perusahaan air, tapi saya melihat mereka banyak berkorban untuk cita-cita mereka.

RHAMSES SIMANJUNTAK BEKERJA dari sebuah ruang yang lapang di lantai 29 gedung Danamon Aetna di Jalan Sudirman, kawasan bisnis paling mahal di Jakarta. Ia seorang lelaki paruh baya dengan rambut keperakan dan badan besar. Ketika saya menemuinya Desember lalu, ia sedang bekerja dengan laptop mungilnya di meja kerja yang tertata rapi.
“Duduk dulu. Saya selesaikan pekerjaan sedikit,” katanya.
Simanjuntak adalah salah seorang tokoh yang paling berpengaruh untuk urusan air bersih di Jakarta. Ia direktur PT Thames PAM Jaya yang mengurusi “external relations and communication”. Artinya, ia orang Thames Water yang bertugas menghadapi DPRD Jakarta, pejabat PAM Jaya, orang Badan Regulator, para aktivis, juga wartawan seperti saya. Ia satu-satunya orang Indonesia yang duduk di dewan direksi konsorsium tersebut.
Dulu Simanjuntak seorang akuntan. Pada Agustus 1996 ia memutar haluan yang mengubah seluruh jalan hidupnya. Ia memutuskan bergabung dengan PT Kekarpola Thames Airindo.
“Ya, saya cuma cari pekerjaan dan bergabung di sini. Biasa saja,” kata Simanjuntak, seraya menambahkan bahwa ia serta merta ikut mempersiapkan privatisasi PAM Jaya. Simanjuntak banyak membantu Fachry Thaib, orang kepercayaan Sigit, dalam melakukan perhitungan privatisasi.
Ia juga saksi mata pengambilalihan PAM Jaya pada Februari 1998, juga saksi krisis ekonomi yang kemudian memuncak seiring kejatuhan Presiden Suharto. Namun, Simanjuntak bisa tetap bercokol di posisinya saat orang Indonesia lain, termasuk Fachry dan Iwa Kartiwa, harus angkat kaki dari bisnis air ini.
Efendy Napitupulu mengatakan bahwa Simanjutak menanjak dari yang tadinya “naik Mikrolet” menjadi naik “Land Cruiser” yang mahal. Menurut Budi Saroso, mantan rekan Simanjuntak di PT Kekar Thames Airindo, yang ikut terpental dari perusahaan itu sesudah jatuhnya Suharto, “Rhamses tidak join (proyek) dari awal. Dia gabung di tengah-tengah perundingan. Keahliannya finance. Tapi dia kerja untuk Thames, tidak pada kita, karena masalah keuangan ada pada Thames.”
Simanjuntak menerangkan panjang lebar pada saya bahwa RWE Thames Water punya komitmen jangka panjang di Indonesia, dengan mengatakan bahwa proyek air bersih di Jakarta ini adalah satu-satunya proyek Thames Water di Indonesia. Mereka ingin bisnis ini berhasil. “Bahkan saat krisis ekonomi dan politik, komitmen Thames Water tetap terjaga,” katanya. Thames Water terus mempertahankan komitmen mereka di Jakarta sejak kontrak 1997.
Simanjuntak mengatakan, RWE Thames Water punya bisnis lain di kawasan ini, yang dikendalikan baik dari Singapura maupun Australia, tapi nilainya relatif kecil dibandingkan dengan modal pada PT Thames PAM Jaya. Sejak 1997 perusahaannya telah menanamkan modal sebesar Rp 434 milyar dan berencana untuk menanamkan lebih banyak lagi sampai di atas Rp 1 trilyun pada 2007 nanti.
Ketika saya bertanya mengapa Thames Water awalnya bekerja sama dengan Sigit Harjojudanto dan memanfaatkan pengaruh Sigit dalam perundingan, ia langsung menepis dugaan adanya permainan. Ia mengatakan perundingan pertama itu memang alot, “Kalau memang ada kemudahan, mengapa kita negosiasi hingga satu tahun lebih?”
Lantas bagaimana menilai kinerja konsorsium ini? Hingga Desember 2003 atau bulan terakhir dari lima tahun pertama kontrak 25 tahun yang mereka dapatkan, baik PT Thames PAM Jaya maupun PT PAM Lyonnainse Jaya, berhasil melakukan konsolidasi terhadap sebagian besar jaringan PAM Jaya. Mereka secara drastis memangkas jumlah karyawan. Mereka juga bekerja sama dengan BCA, bank swasta terbesar Indonesia, untuk memberikan fasilitas pembayaran air pada para pelanggan lewat ATM.
RWE Thames Water sempat menghadapi masalah yang memalukan ketika proyek bantuan Bank Dunia mereka di kawasan kumuh, Marunda, sebelah utara Jakarta, berantakan. Pada Juli dan Agustus 2003, sejumlah warga Marunda mengadakan demonstrasi atas buruknya layanan air di sana. Perusahaan Inggris-Jerman ini awalnya berniat membangun jaringan distribusi pipa ke Marunda. Namun tekanan air yang rendah dan kurangnya daya tekan pompa membuat air mengalir pelan ke Marunda. Buntutnya, warga Marunda protes.
Menurut data Badan Regulator, baik RWE Thames Water dan Ondeo telah meningkatkan sambungan air dari sekitar 428,764 pada 1997 ke hampir 650,000 pada Desember 2003. Cakupan layanan air bersih pun meningkat dari 43 persen pada 1997 menjadi 53 persen pada 2003. Penjualannya juga meningkat dari 191 juta ke 255 juta meter kubik air.
Simanjuntak mengatakan PT Thames PAM Jaya secara khusus meningkatkan sambungan di sebelah timur Jakarta dari 268,000 pada 1997 menjadi 320,000 pada 2001 dan kemudian 336,550 pada 2003. Artinya, terjadi peningkatan sebesar 26 persen dalam waktu lima tahun pertama.
Secara umum layanan jelas lebih baik, terutama untuk daerah-daerah kelas menengah dan elit di Jakarta seperti Pondok Indah dan Kemang, tapi perusahaan internasional tersebut gagal memenuhi target-target teknis sebagaimana tertera dalam kontrak tahun 1997. Volume yang terjual pada bulan Desember 2003 adalah 255 juta meter kubik air. Padahal targetnya 342 juta. Mereka bisa melayani 53 persen penduduk Jakarta sementara targetnya adalah 70 persen. Mereka berhasil menekan tingkat air tak tertagih menjadi 47 persen, sedang targetnya adalah 35 persen.
Achmad Lanti dari Badan Regulator mengatakan bahwa sekitar 40.000 sampai 45.000 dari total sambungan sekitar 650.000 memiliki layanan buruk, mulai dari tak setetes pun air mengalir sampai tekanan air yang rendah seperti di Marunda.
“Kami dapat banyak laporan, air hanya mengalir dua atau tiga jam sehari,” kata Lanti.
Pendek kata, dalam hal kualitas dan kuantitas, konsorsium gagal memenuhi target. “Saya bilang pada mereka namun mereka membantah. Mereka tidak percaya pada temuan Badan Regulator sehingga harus diundang tim pakar untuk melakukan evaluasi,” lanjutnya.

Perbandingan antara Target dan Pencapaian (2003)

Target
RWE Thames Water
Ondeo Service
Pencapaian
Jumlah sambungan
757,129
336,550
312,879
649,429
Cakupan pelayanan air bersih
70%
62.17%
44.17%
53.17%
Air tak tertagih (non revenue water)
35%
48.28%
45.3%
46.79%
Volume terjual (juta m3)
342
128.96
126.2
255.16
Sumber: Kontrak 1997 dan data dari Badan Regulator pada 2003

Pengeluaran mereka juga memicu kritik. Atjeng Sastrawidjaja dari Badan Pemeriksa Keuangan Publik (BPKP) Jakarta menulis dalam sebuah laporan pada Mei 2000 bahwa biaya operasional dari perusahaan internasional tersebut terlalu tinggi. Mereka menyewa kantor-kantor baru di dua gedung di kawasan bisnis Jakarta, termasuk kantor Simanjuntak, ketimbang memanfaatkan aset PAM Jaya yang ada. Gaji para ekspatriat pun relatif tinggi.
Sejumlah ekspartriat digaji sekitar US$100,000 atau sekitar Rp 800 juta per tahun di luar fasilitas penunjang lainnya, termasuk mobil dan tunjangan keluarga.
“Kita tak tahu persis jumlahnya satu per satu tapi angka $100,000 bisa dilihat dari anggaran mereka,” kata Alizar Anwar, direktur eksekutif Badan Regulator.
Simanjuntak membela diri dengan mengatakan bahwa sewa gedung Danamon Aetna tersebut relatif murah akibat devaluasi rupiah, “Orang bilang kita bayar terlalu mahal atau mobilnya terlalu mewah. Tapi kita toh harus tahu mereka ini expatriates harus hidup sesuai dengan standar hidup mereka di negeri asalnya.”
Ketika saya menanyakan pertemuan Duta Besar Richard Gozney dengan Wakil Presiden Hamzah Haz, Simanjuntak mengatakan bahwa ia tak banyak tahu ide awalnya. Pertemuan itu kemungkinan besar gagasan John Trew, atasannya. Tapi Simanjuntak menekankan logika kenaikan tersebut, “Penyesuaian itu diperlukan untuk menutup inflasi yang membuat harga listrik, bahan kimia, dan gaji karyawan naik, maupun investasi.”
Achmad Lanti juga mendukung kenaikan tarif karena consumer price index (CPI) naik sebesar 156 persen dari Februari 1998 sampai Januari 2004. Sementara, total kenaikan tarif air sebelumnya sebesar 18, 25 dan 40 persen, masih lebih rendah dibandingkan indeks tadi. CPI adalah sebuah indeks untuk mengukur kenaikan harga barang-barang dan layanan jasa. Angka ini juga mengukur laju inflasi.
Walau setuju kenaikan tarif air, Lanti mempertanyakan biaya operasi konsorsium itu. Apa benar-benar masuk akal? Ia menyebutkan bahwa sangat sulit membangun kepercayaan dalam kerja sama yang sudah berlangsung sejak 1997 ini. Baik PAM Jaya maupun pihak swasta saling tak percaya, bahkan untuk data dasar sekalipun mereka sering berbeda pendapat. Lebih buruk lagi, kedua pihak, terutama pihak konsorsium, juga tidak memercayai Badan Regulator, sampai pada titik keduanya sepakat mengundang pihak ketiga, “tim pakar internasional” untuk datang ke Indonesia dan menghitung semuanya.
Satu dari sejumlah pertikaian adalah soal hitung-hitungan. PAM Jaya menyatakan total utangnya pada konsorsium sekitar Rp 600 milyar, sedangkan Thames Water dan Ondeo mematok angka total Rp 900 milyar.
Dalam kontrak 2001, kedua pihak sepakat bila terjadi pertikaian, mereka akan menggunakan mekanisme empat tingkat: (1) musyawarah; (2) mediasi lewat Badan Regulator; (3) pakar internasional; (4) peradilan baik di Jakarta atau Singapura.
Ternyata mereka tak bisa bermusyawarah. Perbedaan pendapat dengan Badan Regulator muncul setelah lembaga itu mempertanyakan efisiensi pemakaian uang oleh pihak swasta. Tapi laporan tersebut disanggah konsorsium. “Ya tidak apa-apa bukan? Kita punya alasan kita sendiri,” kata Simanjuntak. Akhirnya, mereka sepakat mengundang sebuah perusahaan Amerika untuk mengadakan penelitian selama setahun.
Sutiyoso jarang mengungkapkan pendapatnya tentang kontroversi PAM Jaya ini, tapi satu kali ia mengatakan pada wartawan bahwa ia menyewa konsultan dari Singapura untuk mempelajari kontrak tersebut. Para konsultan mengatakan ada 11 butir dari kontrak tahun 2001 yang jelas-jelas menguntungkan pihak konsorsium, “Salah satunya adalah ketentuan bahwa tarif air harus naik setiap enam bulan sekali.”
Rama Boedi mengatakan, ia tak menentang privatisasi. Tapi seharusnya privatisasi dipersiapkan dengan lebih baik. Menurutnya, Presiden Suharto terlalu tergesa-gesa dan mengambil jalan pintas. Dalam perenungannya, Rama juga menyesali mengapa kedua perusahaan raksasa itu mengambil cara bekerja sama dengan kroni-kroni Suharto.
“Mereka perusahaan besar, mereka tak perlu menggunakan cara-cara kotor dalam negosiasi awal itu,” kata Rama.
Namun susah juga menilai orang macam Bernard Lafrogne sebagai karakter yang jahat. Lafrogne akrab dengan Indonesia. Ia meyakini bahwa keterlibatan orang Indonesia adalah metode penting untuk mengelola bisnis air. Ondeo membawa pengetahuan dan ketrampilan, sementara mitra Indonesia mereka memberikan sentuhan lokal.
Sekarang keadaan makin sulit. Kalau mekanisme “pakar internasional” tak bisa menyelesaikan sengketa, langkah selanjutnya adalah pengadilan. Achmad Lanti menjelaskan kalau sampai pihak swasta angkat kaki dari Jakarta, maka pemerintah harus mengeluarkan uang sekitar Rp 3 triliun untuk mengganti keseluruhan biaya investasi dan kerugian para investor, plus membayar 50 persen dari keuntungan yang diproyeksikan pihak swasta sepanjang sisa masa berlakunya kontrak.
Angka tersebut hanya perkiraan dan harus disetujui kedua pihak, PAM Jaya dan pihak swasta, kalau memang pihak swasta harus angkat kaki. Namun berapa pun angkanya, kelihatannya tak ada jalan keluar yang mulus untuk sengketa air ini, dan apa pun yang terjadi, tak sulit untuk meramal bahwa yang paling bakal dirugikan adalah seluruh warga Jakarta. Mereka akan rugi karena pelayanan air bisa terganggu dan lebih rugi lagi karena uang merekalah yang akan dipakai membayar petualangan ini.
Sebelum meninggalkan kantornya, saya bertanya pada Rhamses Simanjuntak, apa yang ia senangi dari bisnis air ini.
“Semua orang butuh air. Ini komoditi yang dibutuhkan semua orang. Ini adalah komitmen hidup saya. Saya mau pensiun di sini,” kata Simanjuntak.
Saya hanya diam, tapi setuju pada ucapannya. Bisnis air, bila dikelola dengan modal besar dan didukung kekuatan politik yang kuat, adalah bisnis yang menjanjikan. Tak heran kalau Simanjuntak merasa aman.*

Catatan:
Naskah ini pada awalnya adalah liputan investigasi Andreas Harsono untuk International Consortium of Investigative Journalists, sebuah proyek konsorsium para wartawan investigasi sedunia yang didirikan oleh Center for Public Integrity, pada 1997. Harsono memang salah satu dari dua orang warga Indonesia, yang jadi anggota konsorsium tersebut. Naskah ini, yang dikerjakannya selama setahun penuh, diturunkan bersama naskah-naskah lain yang memantau aktivitas privatisasi air di seluruh muka bumi, mulai Amerika Latin, Eropa sampai Afrika. Liputan ICIJ ini memenangkan sejumlah penghargaan internasional. Tahun 2003, Harsono membawanya ke sidang Asien Haus di Jerman dan mempresentasikannya dalam judul "Water Privatization". Beberapa bulan kemudian, pada awal 2004, ICIJ mengizinkan majalah Pantau untuk memuatnya dalam versi bahasa Indonesia. Pantau meminta bantuan Gita Widya Laksmini untuk menerjemahkannya. Rencananya, naskah ini akan diterbitkan pada Maret 2004 dalam judul "Diplomasi Air Kotor, Investasi Air Besar". Sungguh sayang, majalah Pantau keburu berhenti terbit. Oleh Harsono, naskah kemudian dialihkan ke majalah Gatra dan dimuat dalam salah satu edisi bulan Mei 2004 dengan judul "Dari Thames ke Ciliwung" yang dipecah-pecah ke dalam beberapa naskah sidebar.

0 komentar:

Posting Komentar