Selasa, 17 Januari 2012

JOKPIN

JOKPIN
Ayahnya mengharapkan jadi pastur, jalan puisi menjadikannya penyair.
Oleh Fahri Salam


—semua foto oleh Kiki Kurniawan

TUBUHNYA KURUS. Bibir bawah tebal. Sepasang mata menjorok ke dalam. Alis lebat. Rambut  terpotong pendek dan ditumbuhi uban. Wajah tirus. Pembawaan kalem. Ia pendiam. Pelamun suntuk. Perokok berat. Dua bungkus dalam sehari. Jenis rokok yang sama selama 25 tahun. Pernah seniman monolog Butet Kartaredjasa berkomentar, harusnya produsen rokok itu memberinya penghargaan. ”Bayangkan, sudah 25 tahun!” Ia tertawa.
Sesungguhnya, ia tipe manusia konvensional dalam memerlakukan dunia keseharian. Ia minum dari gelas yang sama, duduk di bangku yang sama, menikmati saat rehat di waktu yang sama; bertahun-tahun tanpa nada perubahan dramatis. Nurnaeni menceritakan, saat masih tinggal di Patangpuluhan, suaminya tak pernah beranjak dari kursi ruang tamu yang sama. Bahkan sekalipun ada kursi kosong di sekitarnya!

Itu berlanjut saat mereka tinggal di perkampungan Singomulanjaya, Wirobrajan. Sepulang kantor, ia tercenung di satu kursi di pojok ruang tamu, dekat pot tanaman perdu, menghadap jendela. Kusparmono, teman main ronda serta tukang parkir Malioboro, selalu menyapa saat melintas di depan matanya.
Ia duduk di sana, merokok dan hanya di situlah tempat satu-satunya ia boleh merokok di rumah, merenangi pedalaman pikiran di bawah lamunan panjang hingga larut malam, mengutak-atik kata dalam kepala – sembari minum teh atau kopi diselingi makan ubi atau pisang goreng.
Joko Pinurbo pernah bilang kepada saya baru bisa nyaman bicara saat berduaan, ditemani kopi atau teh. ”Bukan karena saya tidak mau, bukan karena saya sombong. Sejak kecil itu saya sangat dikenal begitu. Orangtua saya tahu persis: pendiam. Kalau di rumah nggak suka banyak omong. Itu mereka paham, terutama ibu saya,” tuturnya.
Di luar urusan puisi, Joko bekerja di Kompas Gramedia. Kantornya di komplek Tejokusuman, tak terlalu jauh dari rumah. Ia sering naik bus umum. Bahkan, sewaktu tinggal di Patangpuluhan, Joko sering berjalan kaki menuju kantor.
Minmuhadi mengatakan selama 18 tahun sebagai satpam Tejokusuman tak pernah melihat “Pak Joko” naik motor sendirian. ”Kalau naik motor pun ya boncengan,” katanya. Herjatun Unang, teman sekantor Joko, menimpali, ”Kalau kemana-mana saya yang nganter.” Seperti saat Joko membaca puisi untuk ulangtahun Gramedia ke-42 di pelataran Kompas Yogya, Kotabaru. Joko membaca beberapa puisi dalam Telepon Genggam.
”Lha, Pak Joko keh aneh,” ucap Min, lagi. ”Aneh, karena dia bisa beli motor, tapi kok ndak beli, gitu. Aneh to?” Minmuhadi tertawa.
Seorang temannya, Nasarius Sudaryono, berseloroh kepada saya—mungkin agak berlebihan, ”Itu Joko ya, kalau di bus bisa kecopetan, bisa ditipu orang, wajahnya kan tetap katrok. Ha..ha..ha…” Nasar murid Joko saat dosen di Sanata Dharma, dan saya kira hanya mantan murid macam Nasar yang mudah bicara seperti itu untuk mantan dosennya.
Suatu malam dalam acara bertajuk “Retrospeksi Puisi Yogya 2007”, digelar di ampiteater Taman Budaya, Joko hadir di sana, duduk di deretan bangku belakang. Tiba gilirannya naik ke panggung. Pembawa acara, si lelaki berpenampilan necis dan merasa yakin dengan kata-katanya, menyeru Joko Pinurbo adalah penyair pemenang banyak lomba penulisan puisi. Di atas panggung, Joko lantas menanggapi “mungkin pembawa acara perlu data ringkas riwayat penyair terlebih dulu, karena saya tak pernah ikutan lomba, cuma kebetulan buku-buku saya mendapatkan penghargaan…”
Penonton menyambut dengan tawa. Namun Joko rupanya cuek saja, melanjutkan ucapannya dengan nada datar, betapapun ia penyair yang menerima bermacam hadiah, di antaranya Khatulistiwa Literary Award pada 2005 untuk buku Kekasihku. Inilah penyair yang disebut-sebut dengan karya paling segar dan paling luas penggemarnya saat ini — dan memang tak ada keraguan untuk itu.
Siapapun yang pernah menonton Joko membaca puisi akan tahu benar bagaimana menjalankannya. Ayu Utami mengatakan Joko Pinurbo berpenampilan seperti orang kebanyakan yang menjaga kesantunan umum tatkala di panggung. Ada hiburan yang segar plus lucu saat mendengarkannya membaca puisi. Bukan karena improvisasi penyairnya. Bukan pula gayanya. Kelucuan itu murni muncul dari baris puisinya, larik-larik sajaknya yang bercerita itu.
Di antara sajak yang dibaca Joko malam itu adalah celana 1. Ini satu sajak dari serial celana atau disebut ‘trilogi celana,’ muncul pada 1996, terdapat dalam buku kumpulan puisi Celana (terbit Juni 1999). Sajak ini melambungkan nama Joko Pinurbo dan ‘celana’ jadi ikon puisinya.
Ia ingin membeli celana baru
buat pergi ke pesta
supaya tampil lebih tampan
dan meyakinkan
Ia telah mencoba seratus model celana
di berbagai toko busana
namun tak menemukan satu pun
yang cocok untuknya
Bahkan di depan pramuniaga
yang merubung dan membujuk-bujuknya
ia malah mencopot celananya sendiri
dan mencampakkannya.
“Kalian tidak tahu ya
aku sedang mencari celana
yang paling pas dan pantas
buat nampang di kuburan.”
Lalu ia ngacir
tanpa celana
dan berkelana
mencari kubur ibunya
hanya untuk menanyakan
“Ibu, kau simpan di mana celana lucu
yang kupakai waktu bayi dulu?”
Penonton terbahak. Sebagian cekikikan. Sebagian tertawa geli.

Copy of jokpin 2JOKO PINURBO ANAK JAWA yang numpang lahir di Sukabumi, pada 11 Mei 1962 saat ayahnya, Sumardi, pengajar sekolah dasar swasta di pedalaman Pelabuhan Ratu. Ibunya, Ngasilah, ibu rumahtangga biasa. Joko anak sulung dari empat laki dan satu perempuan. Ia dititipkan ke Suratno, kakak Ngasilah, untuk melanjutkan sekolah menengah pertama di kampung asal orangtunya, satu dusun kabupaten Sleman, utara kota Yogya. Namun orangtua Joko menyusul setengah tahun kemudian. Pasalnya, sekolah tempat mengajar Sumardi tutup. Keluarga ini akhirnya memilih tinggal di rumah mertua.
Mereka hidup prihatin. Sumardi tanpa pekerjaan tetap. Joko suka pakai celana lungsuran ayahnya, lebih karena tak mampu beli baru. Ukuran pinggang mereka sama-sama 27. Cuma Sumardi lebih tinggi, kalau dipakai Joko agak kedodoran. Dalam beberapa puisinya yang lahir bertahun-tahun kemudian, ayahnya kerap dijadikan bahan parodi. Joko kagum pada Sumardi karena ”Orangnya tabah luar biasa.” Sementara Ngasilah sosok ibu yang menerbitkan frase ‘ibukata,’ ‘iburindu’ atau ‘ibucinta’ dalam sajak-sajaknya. ”Justru nilai-nilai keibuan itu malah dari bapak saya. Tapi kalau mengenai perjuangan keras, keberanian, itu malah dari ibu saya,” tutur Joko.
Pada akhir 70-an, pemerintahan Soeharto menerbitkan instruksi membuka sekolah-sekolah tingkat dasar di wilayah pedalaman. Kebijakan itu menghampiri kehidupan Sumardi yang ditawari tugas mengajar di satu SD Inpres. Kebetulan sekali, daerah penempatannya di Sukabumi, hanya beda lokasi tapi tak jauh dari tempat mengajarnya dulu.
Saat yang bersamaan Joko Pinurbo baru lulus SMP. Sumardi dan Ngasilah menilai Joko anak yang lumayan cerdas. Sumardi ingin salah satu anaknya ada yang jadi pastur. Joko pilihannya. Mereka memintanya ikut tes sekolah seminari Mertoyudan di Magelang. Joko lulus dan mulai menjalani kehidupan asrama. Mereka pun kembali berpisah.
Praktis, sejak masuk seminari, Joko jarang bertemu orangtuanya yang hingga kini ”tetap di pelosok Sukabumi.” Bagi Joko, pengertian “pelosok Sukabumi” ini adalah sisa kenangan yang terpatah-patah dalam ingatannya. Itu hanya berupa kilatan-kilatan: sebuah tempat yang ”jaaauh sekali dari kota,” yang ”kira-kira harus berjalan kaki enam sampai tujuh kilometer untuk mencapai jalan raya besar.”Joko mengenangnya sebagai tempat yang ”sangat terpencil di tengah perkebunan karet, di tengah hutan belantara, sama sekali nggak ada bacaan, nggak ada apapun.”
Di asrama, Joko dikenal pendiam. Teman-teman mengenal Joko anak muda yang suka baca. Kesenangan Joko pada bacaan tersalurkan karena koleksi perpusatakaan sekolah sangat lengkap. Sewaktu teman-teman tidur siang, Joko malah pergi baca buku-buku sastra di perpustakaan atau sembunyi di kebun. Kadang juga di ruang kelas saat yang lain menyuntukki buku pelajaran.
Satu hari, Joko membaca sebuah sajak Goenawan Mohamad dari buku kumpulan puisi Pariksit. Judulnya Kwatrin tentang Sebuah Poci:
Pada keramik tanpa nama itu
kulihat kembali wajahmu
Mataku belum tolol, ternyata
untuk sesuatu yang tak ada

Apa yang berharga pada tanah liat ini
selain separuh ilusi?
sesuatu yang kelak retak
dan kita membikinnya abadi.
Joko membaca berulang-ulang bait terakhir puisi tersebut. Jiwa mudanya bergolak. Resah. Bagaimana seorang anak muda usia SMA, ”Katakanlah mau mulai mengenal hidup beneran sudah dihadapkan premis itu: sesuatu yang kelak retak dan kita membikinnya abadi… Wuah…, gila sekali itu untuk anak SMA! Sangat menggemparkan saya. … Puisi Goenawan itu sudah bikin saya gelisah!” Sajak itu pun secara tematik kelak menginspirasinya.
Lalu Sapardi Djoko Damono. Penyair pengulik tema-tema sederhana, tanpa pretensi politik atau ideologi apapun ini menerbitkan kumpulan puisi duka-Mu Abadi pada 1969. Pelukis Jeihan menaja buku itu. Keduanya kelak memprakarsai ‘Anugerah Sih Award’ melalui Jurnal Puisi di mana tahun 2001 penghargaan tersebut jatuh, tak lain dan tak bukan, pada Joko Pinurbo!
Joko tersihir pada larik pertama puisi prologue: “masih terdengar sampai di sini/ duka-Mu abadi.” Dan selama menekuri puluhan puisi Sapardi, ia terkesima dengan puisi Berjalan ke Barat waktu Pagi Hari:
waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi matahari
mengikutiku di belakang
aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang
memanjang di depan
aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara
kami yang telah menciptakan bayang-bayang
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di
antara kami yang harus berjalan di depan.
Itu puisi luar biasa bagi Joko, ”Banyak yang dahsyat dari puisi-puisi Sapardi, tapi menurut saya tetep itu – mungkin lain dari orang lain. Di situ nggak ada metafor, cuma cerita… Juga nggak ada endingnya gimana. Tidak ada perumpamaan-perumpamaan, kecuali seluruh puisi itu kita anggap sebagai metafor. Daaahsyat itu loh…”
Sapardi memperkenalkan Joko memasuki perkara-perkara sederhana. ”Jadi antara sense dan meaning itu memang ternyata beda. Sesuatu bisa bermakna tanpa kita mengerti artinya secara konseptual. Nah, puisi-puisi yang terlalu dibebani arti, oleh amanat, oleh pesan-pesan, malah justru nggak mempesonalah,” kata Joko, menerangkan.
Joko ingin mengoleksi buku puisi kedua penyair itu. Pada satu akhir pekan, ia pergi ke Yogyakarta, mencarinya di pasar buku “shoping,” sebelah timur Malioboro. Ia mendapat duka-Mu abadi sementara Pariksit agak lama didapatkan, jauh ketika ia kuliah. Joko senang bukan main membawa pulang sebiji buku itu ke asramanya.
Pada 1981 Joko lulus dari Mertoyudan. Alih-alih meneruskan ke seminari tinggi, sebagaimana harapan awal ayahnya, Joko malah memilih Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Sanata Dharma Yogyakarta. Ia mengambil studi Bahasa dan Sastra Indonesia.
Masa itu Yogyakarta tempat bersemai kantung diskusi para seniman. Hingga paruh pertama 80-an, masih ada komunitas Persada Studi Klub bikinan Umbu Landu Paranggi. Ada Jalan Mangkubumi, tempat harian Kedaulatan Rakyat serta Minggu Pagi, yang jadi ajang nongkrong diskusi serta publikasi karya-karya sastra. Ada pula majalah kebudayaan Basis asuhan Dick Hartoko sebelum ditangani Shindunata. Juga ada komunitas Bulaksumur yang dimotori Umar Kayam dan Landung Simatupang.
Lingkungan yang cocok, iklim yang pas bagi kemunculan para pengarang muda, kian memperbesar hasrat Joko Pinurbo menekuni puisi. Namun, namanya juga pembaca suntuk, di sisi lain Joko agak malas kuliah. Apa yang ia baca di seminari menjadi bahan pelajaran di ruang kuliahnya. ”Jadi ketika saya kuliah sastra di Sanata Dharma, waduh, ya ampun, mengulangi semua ini,” katanya. Ia sudah membaca hampir semua buku terbitan Pustaka Jaya. Ini satu penerbit dari Jakarta yang menerbitkan banyak buku sastra bermutu dari sedikit jumlah penerbit di masa itu.
Joko mengisi lebih banyak waktu di luar kelas. Ia setahun menjalani ketua Badan Perwakilan Mahasiswa (1983-1984). Ia pun mendirikan grup Sanggar Kelana dengan kawan-kawan main. Ia rajin menulis puisi dan beberapa di antaranya dimuat koran dan majalah.
Di kampusnya, ia editor majalah triwulan Gatra dan majalah Sadhar. Ia punya adik kelas yang kemudian dikenal penyair, namanya Dorothea Rosa Herliany. Kelak, Rosa punya peran penting dalam menerbitkan Celana.
Siapa dosen Joko?
Joko menyebut satu nama: ”Pak Rahmanto!” Uniknya, Rahmanto pula yang mengajar sastra sewaku Joko di Mertoyudan. Mereka bahkan satu rekan kerja saat Joko membantu Basis dan kemudian menjadi dosen.
Rahmanto mengatakan, Joko penggerak teman-teman dalam berkesenian di kampus. Ada teman dekat Joko saat kuliah, namanya Sabar Subekti yang juga rajin menulis. Subekti lah, bukan Joko, yang dianggap Rahmanto bakal jadi penulis. ”Eh, malah Joko yang muncul,” kata Rahmanto, kini kepala prodi sastra Indonesia di Sanata Dharma. Subekti sendiri sekarang wartawan Suara Pembaruan di Jakarta.
Joko dan Subekti masih sering kontak. ”Terakhir bertemu dengan Subekti kayaknya dua tahun lalu,” kata Joko, mengingat-ingat.
Rahmanto punya satu cerita tentang mereka. ”Ini off the record,” katanya, ”Joko itu kan sakit-sakitan ya, punggungnya pernah disetrika untuk menghilangkan penyakitnya!”
Joko membantah, ”Ah itu bohong. Pak Rahmanto itu jika cerita kadang berlebihan. Itu sebetulnya bukan off the record. Cerita itu ada di tulisannya dan tersebar di kampus.”
Dalam cerita Rahmanto, yang menyetrika punggung Joko adalah Sabar Subekti. Subekti segera menemui Joko dan menyangkalnya. ”Memang bohong,” kata Joko, tertawa pada Subekti. Mereka membiarkan cerita lucu tersebut.
Pada 1986, terbit buku antologi puisi Tugu, berisi karya 32 penyair Yogya, susunan Linus Suryadi AG. Joko termasuk di dalamnya. Tahun yang sama Joko memiliki buku kumpulan puisi Sketsa Selamat Malam dan Parade Kambing. Namun keduanya berupa stensilan. Joko tidak menyimpan kedua buku itu dan tak menyesalinya. ”Anggap saja itu masa latihan lah,” katanya, berseloroh.
Setahun berikutnya Joko menamatkan kuliah. Ia merasa itu agak telat. Enam tahun baru lulus. Ia sendiri punya pikiran tidak mau menyelesaikan. Tapi Joko menyadari dirinya. Ia hanya anak seorang guru bergaji pas-pasan, jauh dari orangtua, anak sulung yang punya tanggungan empat adik. Ia lahir dari keluarga sederhana. ”Saya nggak punya modal yang lain. Kalau nggak dapat ijazah, waduh! susah nanti,” katanya, membatin.
Tahun itu juga Joko Pinurbo diterima mengajar di Sanata Dharma.

muka pintuNASARIUS SUDARYONO mahasiswa baru sastra Indonesia saat Joko mulai mengajar. Usianya 21 tahun, terpaut empat tahun dengan Joko. Mereka bertemu pertama kali di toilet mahasiswa. Joko buang air kecil di situ, yang kotor tak terawat, bukan di toilet dosen. Nasar menikmati sekali kelas Joko.
Matakuliah yang diampu Joko di antaranya apresiasi puisi dan menulis kreatif. Joko memperkenalkan sastra pada anak didiknya mula-mula bukan berdasar teori, tapi mengajak mereka terlibat langsung dalam dunia sastra. Kelasnya menjadi kelas idaman. Jumlah mahasiswanya saat itu sekitar 120 orang, dalam satu ruangan besar, sebelum dua tahun kemudian dipecah dua kelas. Kursi-kursi penuh. Banyak tawa. Banyak suara. Suasana kelas mirip pasar.
Ada tangga berundak dari lantai, membentuk semacam panggung, di depan papan tulis. Joko sering menggunakan panggung itu sebagai “mimbar bebas.” Ia kerap minta Nasar mengisinya. Nasar juga sering membantu koreksi tugas murid Joko. Namanya mahasiswa, Nasar kadang iseng, ”Yang kira-kira cantik itu, saya bilang ini jelek nih. Iseng. Dia belum tahu. Ha ha ha…” Tapi hubungan mereka tetap profesional, ”Selebihnya saya serius. Dalam arti serius dia memberi kesempatan saya untuk berkembang,” kata Nasar.
Mengoreksi tugas macam itulah, kata Joko kepada saya, ”Yang lebih pusing sebetulnya.”
Hubungan Joko dengan para mahasiswa tak sebatas di ruang kelas, tapi juga di luar kampus. Ia ikut kumpul dengan mereka. Kalau mereka minum bir? Joko tak segan ikutan, tapi ”dia bukan peminum, sifatnya ngemong, dia menemani kita minum,” kata Nasar. Menurutnya, Joko satu-satunya dosen yang bisa bersikap begitu, sementara dosen lain umumnya “jaga jarak.”
Murid-murid Joko punya sebuah basecamp – sebutan mereka untuk rumah milik adik ipar dramawan Landung Simatupang. Nasar diminta menunggu rumah itu. Joko kerap menginap. Ia tidur dan makan bersama mereka dari tempat yang sama. Ini satu masa mengesankan buat Nasar.
”Pagi hari dia bisa mengajar saya dengan sangat, sangat kompeten. Dan saya menghormati, menghargai dia. Sore hari dia bisa ke rumah saya untuk utang. Saya nggak punya duit, saya pinjam duit. Dan…dan..utang gitu loh. Jadi tidak ada barter nilai. Jadi, absurd ya dia. Dosen muda. Baru di tonggak. Tapi untuk ukuran Sanata Dharma sebenarnya dia merupakan bintang. Dosen andalan. Karena dia punya nama secara nasional… Tetapi dia bukan orang yang menikmati kedudukan dan popularitas itu sebagai sesuatu miliknya, sama sekali ndak ada,” Nasar menuturkan.
Namun, Joko selalu bilang, ”Dosen itu kan kecelakaan sejarah saja buat saya, selebihnya adalah kawan di dalam belajar.”
Meski begitu, Nasar mengaku kepada saya, ”Dengan rasa hormat, saya meletakkan dia sebagai guru di dalam diri saya.”
Dari mana Joko menemukan model pendekatan mengajar begitu terhadap mahasiwanya?
Nasar, yang bertahun-tahun mengenal Joko, menduga itu hasil dari irisan eksplorasi Joko sendiri — “kesukaannya untuk serba eksplorasi dan mencatat, menemukan sesuatu dari perjalanan hidupnya”— dengan style Joko yang tidak suka kemapanan. ”Saya kira kok gabungan dari dua itu.”
Joko mengatakan hal serupa. Tidak secerlang keterangan Nasar, memang. Hanya Joko bilang, singkat, ”Saya semacam membikin pendekatan saya sendiri.”
Pendekatan ala Joko inilah yang menginspirasi cara mengajar Nasar sebagai guru sekolah swasta di Surabaya selama sepuluh tahun.
Nasar kini bekerja di Dinamika Edukasi Dasar, lembaga pendidikan bersifat nirlaba peninggalan Romo Mangun. Lembaga ini konsentrasi pada riset pengembangan pendidikan dasar untuk anak-anak miskin dan terlantar secara struktural. Kesibukan Nasar kini ke pengembangan guru. Ia sering bepergian dan tak jarang bertemu dengan teman-teman kuliah dulu. ”Itu teman-teman –semua yang sekarang jadi guru – selalu mengatakan pelajaran Mas Joko, cara ngajar Mas Joko, menjadi model yang paling terkesan,” kisah Nasar.
Toh, pekerjaan mengajar tak kenal kompromi. Pagi-pagi mesti ke kampus. Mempersiapkan dan mengoreksi tugas-tugas. Lama-lama, Joko bosan. Tak kerasan. Tipe mahasiswanya pun berganti. Zaman Nasar dengan generasi belakangan sudah jauh beda. Ini tak asyik lagi bagi Joko. Pendidikan formal di Indonesia lebih banyak bikin anak-anak didik pasif menerima pengetahuan, menghapal dan menghapal, dan ironisnya lagi itu terbawa hingga ke bangku kuliah.
Joko pernah mengutarakan kegelisahan kepada Nasar, ”Saya lelah, karena saya harus banyak bicara sekarang. Kalau dulu itu saya bisa berpikir bersama mahasiswa, sekarang sudah nggak bisa lagi.”
Keinginannya masuk ke dunia penerbitan muncul lagi. Pada 1992, Gramedia menerimanya sebagai editor. Setahun sebelumnya, 28 Februari 1991, Joko menyunting Nurnaeni, pacarnya sedari mahasiswa. Kehidupan Joko mulai berganda. Namun sejatinya ia makin soliter.
jokpin 3
ADA SATU KOMPLEK di pinggiran Kota Yogya bernama ndalem Tejokusuman. Luasnya sekitar satu hektar, dirimbuni 18 pohon sawo, tinggi-tinggi dan lebat. Ada gerbang besi, pos satpam, sepasang pendopo menyatu dengan rumah induk. Ada kantor penerbit Grasindo, stasiun radio Sonora, gudang, sumur, petak-petak halaman kosong, rumput-rumput liar dan pohon-pohon pisang. Di sinilah Joko Pinurbo bekerja. Ia satu dari 16 ribu karyawan Kompas Gramedia.
Awalnya Joko di Jakarta. Lima atau enam bulan kemudian ditarik ke Yogya, membantu unit penerbitan baru Grasindo. Manajernya, Frans Meak Parera, orang lama perbukuan yang merintis Grasindo sejak 1989, bekerja di Gramedia sejak 1977. Grasindo khusus menerbitkan paket buku pelajaran sekolah, dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Selain di Yogya, ada di Jakarta, Palembang, Semarang, dan Surabaya.
Joko mengawali pekerjaan di Grasindo mengelola majalah berkala Arif, khusus untuk menjawab soal-soal ujian pendidikan dasar, bersama Ariobimo. Masa ini dunia sekolah mengenal Cara Belajar Siswa Aktif atau disingkat CBSA. Ini proyek British Council bekerja dengan departemen pendidikan, misinya memajukan active learning bagi para siswa sekolah negeri. Parera kenal baik dengan Harsja Bachtiar, kepala pusat penelitian dan pengembangan departemen tersebut. Ia juga mengenal S. Belen, partner guru-guru di Inggris, yang punya akses ke departemen itu. Belen diajak mengembangkan produk Grasindo. Secara serentak beragam buku berisi metode belajar terbaru CBSA diterbitkan Grasindo.
Di sisi lain, bulan-bulan pertama 1993, Parera makin sering bertemu Mangunwijaya dari Laboratorium Dinamika Edukasi Dasar. Mereka prihatin proyek CBSA mulai kendur dijalankan. Penyebabnya, dana British mulai berkurang. Mereka menilai, seharusnya proyek macam CBSA tetap dilanjutkan.
Selepas satu seminar pendidikan, Mangunwijaya bertemu Jakob Oetama di Palmerah, Jakarta Selatan, kantor Kompas-Gramedia. Oetama pendiri dan chief executive officer Gramedia. Romo Mangun menawarkan program pendidikan eksperimental sekolah dasar Mangunan, terletak di Kalasan, sebelah timur Yogyakarta. Ini proyek trimitra antara DED dengan Grasindo mewakili Gramedia serta Romo Toot van Voorst dari Yayasan Kanisius. Mereka sepakat proyek tersebut untuk sembilan tahun (1994-2003), atas ijin dan dukungan menteri pendidikan Wardiman Djojonegoro, disesuaikan gerakan wajib belajar sembilan tahun. Wardiman teman sealmamater Mangun di Sekolah Tinggi Teknik Rhein, Aachen, atau Parera mengistilahkan hubungan itu “Jerman Connection.”
”Di tengah kesibukan perintisan ini, saya punya tangan kanan di Yogya yakni Joko Pinurbo,” tutur Parera.
Joko kadang ikut pertemuan dengan para guru Mangunan. Di sini pula, perkenalannya dengan Mangunwijaya kian mempertebal proses keimanan universal Joko, yang sudah dipupuknya sejak tinggal di Sukabumi di tengah mayoritas Muslim. Romo Mangun inspirator Joko dalam laku kemanusiaan.
Sementara Joko mulai makin matang dalam penulisan puisi, di sisi berlawanan, ada beberapa perubahan dan kejadian mendadak, yang ikut berimbas pada pekerjaannya. Dimulai ketika Parera dipindahkan dari Grasindo, akhir 1995. Terjadi pergantian manajemen baru di bawah kepemimpinan Winarno (kini R. Suhartono). Parera memandang, ”Potensi Joko tidak mendapat tempat yang memadai di Grasindo.”
Pada Mei 1998 Soeharto turun. Ia mengubah semua struktur politik, ekonomi, sosial, militer dan sebagainya selama 32 tahun. Getarannya merambat juga ke Palmerah, tempat Kompas-Gramedia berdiri. Tahun itu pula Jakob Oetama memutuskan membuka kantor Bank Naskah Gramedia. Kantor baru ini memanfaatkan momentum jatuhnya Soeharto dengan menerbitkan beragam bacaan bertema reformasi.
Pada 10 Februari 1999, Mangunwijaya meninggal. Sebelumnya, Romo Mangun sempat mampir ke Tejokusuman, khusus menemui Joko, tanpa maksud keperluan lain. Mangun termasuk orang yang percaya karier Joko sebagai penyair. Mangun bilang, ”Wah…, Anda nanti jadi penyair. Pokoknya Anda memang paling cocok di Jogja lah.” Saat itu Joko memang sedang bimbang: bertahan di Yogya atau ke Jakarta. Sejak tahun 1999, Joko ditarik ke Bank Naskah Gramedia.
Kematian Mangunwijaya mengubah keputusan yang hendak diambil Joko Pinurbo. Proyek SD Mangunan berjalan tersendat selepas ditinggal Mangun. Parera bersama St. Sularto, kini wakil pemimpin umum Kompas, saling silih-berganti melanjutkan peran Mangun. Mereka bolak-balik Jakarta-Yogya yang bikin tidak efektif sehingga, ”terjadi instabilisasi penafsiran dari gerakan awalnya.” Dosen-dosen dari Sanata Dharma, yang selama ini membantu Mangun, mengalami perbedaan perlakuan dengan penerus proyek. ”Ini berlaku pada S. Belen yang sulit menempatkan diri sebagai konsultan kurikulum pendidikan alternatif, yang sudah dikembangkan di laboratorium DED tapi tidak dilanjutkan,” kata Parera.
Joko menyaksikan perkembangan itu. Ia mengeluh kepada Parera. Manajemen Kompas-Gramedia akhirnya mengambil keputusan menunjuk Joko mengisi kekosongan itu. Dengan segera Joko pun mencari satu orang yang tepat membantunya di DED, pengganti posisi Mangun.
Satu hari pada 1999, Joko bertemu Nasarius Sudaryono di halte bus rumahsakit Panti Rapih. Ia baru saja periksa rutin penyakit tulang belakangnya. Nasar tengah menemani istrinya memeriksa kandungan. Ini pertemuan tak diduga-duga antara bekas dosen dan bekas murid.
Joko langsung menawarkan pekerjaan kepada Nasar, ”Eh, kami butuh orang? Gimana?”
”Ok deh, saya pertimbangkan,” kata Nasar.
Akhirnya, Nasar menerimanya. ”Begitu saya masuk, dia bisa konsentrasi ke penulisan,” ucap Nasar kepada saya.
Joko mengatakan tugasnya di DED, dari 1999 hingga 2002, merupakan periode jeda. Parera menuturkan periode ini ialah kurun awal produktivitas Joko menulis sajak. Dengan kata lain, ”Selama bekerja di Bank Naskah, namanya sebagai penyair meroket seperti meteor,” kata Parera.
Juni 1999 menjadi tonggak kemunculan Joko. Melalui penerbit IndonesiaTera, buku puisi pertama Joko berjudul Celana terbit. Ia mendapatkan Hadiah Sastra Lontar 2001. Ketua juri Sapardi Djoko Damono mengabarkan penghargaan tersebut kepada Dorothea Rosa Herliany. Rosa pendiri IndonesiaTera bersama suaminya Andreas Darmanto. Ia seketika memberitahu kabar baik itu kepada Joko.
Joko tak menduga sebelumnya Celana bakal mendapatkan penghargaan. Nyaris ia tak menyentuh draft akhir bukunya sendiri. Ia percaya sepenuhnya kepada Rosa dan Andreas. Saat mereka datang ke komplek ndalem Tejokusuman, Joko menanggapinya sambil lalu tapi juga tak menolak tawaran itu. Buku ini banyak salah ketik dan ejaan. Rosa bilang, ”Ancur brat!… Betul-betul jadi korban penyembelihan sadis deh celana Mas Joko itu.”
Karya perdana dianggap penting, baik atau buruk. Kebetulan Celana fenomenal, ”Bahkan sampai saya mati pun, ikonnya ya pertama-tama tetap Celana, nggak ada yang lain. Karena di dalam sejarah puisi di Indonesia memang belum pernah ada diksi ‘celana’. Dan jadi judul buku puisi,” kata Joko.

SEJAK 2002, JOKO PINUBRO bersama Frans Parera merintis penerbitan majalah buku Matabaca. Parera pemimpin umum plus redaksi. Joko wakil redaksi. Selepas Orde Baru, terutama di Yogya, dunia penerbitan menggeliat lewat penerbit-penerbit kecil yang digawangi anak-anak muda. Joko dan Parera menilai industri buku akan panjang umurnya jika ada basis pembaca yang kuat. Lahirlah Matabaca.
Di  awal terbit, IndonesiaTera menjadi rekanan Matabaca untuk urusan pracetak dan desain. Namun kemudian dikendalikan semua dari Jakarta demi menghemat biaya produksi. Di Yogya sendiri kini tinggal Herjatun Unang yang mengurusi distribusi. Dua tahun terakhir ini pun Joko pelan-pelan melepas perannya. Semua kebijakan redaksi ditangani redaktur pelaksana Tri Marganingsih beserta awak redaksi yang berusia jauh lebih muda.
Namun perkembangan Matabaca secara pemasaran masih labil. Selain mengandalkan jaringan tokobuku Gramedia, Unang misalnya, bergerilya mengedarkan ke kampus-kampus. Toh, menurut Joko, ”Tetap tidak semenggembirakan yang kita bayangkan.”
Joko tidak tahu sampai seberapa lama Matabaca bisa bertahan. Ia menyebutnya proyek idealis, ”Ini lebih karena kebaikan Gramedia saja.” Ia prihatin sekaligus heran, sampai sekarang dunia penerbitan masih kurang punya kepedulian terhadap media macam Matabaca. ”Mereka pikirannya masih dalam kerangka bisnis. Penerbitan sebagai industri,” kata Joko, serius.
Bukan hanya itu. Dunia penerbitan dan perbukuan di Pulau Jawa berjalan kurang sehat. Ambil contoh IndonesiaTera. Seperti kebanyakan penerbit kecil di Yogya, Tera mengalami kesulitan hebat dalam pemasaran, pendanaan, dan terutama manajemen. Pada November 2006, Agromedia Pustaka akhirnya menggandeng Tera.
Dorothea Rosa Herliany, pendiri IndonesiaTera, menilainya sebagai pilihan terbaik dan cukup realistis. Tera menyadari kekurangan-kekurangan yang membebani industri kecil perbukuan. Bagai berkelit di lubang jarum, mereka harus bersaing dengan para raksasa penerbit bermodal besar. Selain juga dengan jaringan distributor yang, ”99 persen ‘berkelakuan’ buruk dan kurang adil.” Ini ditambah perlakuan tokobuku yang tidak membangun iklim sehat penerbitan buku bermutu. Dampaknya, tak cuma untuk penerbit, tapi sangat dirasakan para penulis. ”Bukan soal royalti saja, tetapi juga ketidakmampuan mencetak ulang sangat merugikan penulis,” ujar Rosa.
Contoh dekat tiga buku puisi Joko yang diterbitkan Tera—atau disebut “trilogi.” Rosa mengatakan, penjualan buku-buku itu sebenarnya sangat bagus. Tapi ini terbentur cash-flow, ”meski buku habis, belum tentu pembayaran cash-nya oke.” Untuk mencetak ulang, penerbit tak cukup punya dana. Gramedia lantas menerbitkan ulang. Joko dan Rosa pisah baik-baik. Rosa malah mendorongnya. ”Ya udah, biar diterbitkan Gramedia,” kata Joko, meniru anjuran Rosa.
Dalam alinea pertama terbitan ulang “trilogi,” Joko mengucapkan terimakasih kepada pasangan Dorothea Rosa Herliany dan Andreas Darmanto. Berkat jasa mereka, kata Joko, ketiga bukunya mendapat sambutan hangat, ”Saya selalu tidak melupakan. Dengan terharu, saya mengucapkan terimakasih kepada mereka. Dan itu bener-bener dengan rasa haru. Karena tidak menduga lah. Ketika orang lain tidak melihat saya waktu itu, mereka yang melihat.”
Apa komentar Rosa?  ”Ah, dia aja yang ingin menampak-nampakkan orang lain, sambil mengecil-ngecilkan diri,” katanya, penuh tawa.
Rosa membayangkan, jika tanpa Tera pun, pasti ada penerbit lain yang mencium karya-karya Joko. ”Saya yakin,” ujarnya, sambil menambahkan, ”Yang jelas dia sendiri sebagai penyair kan memang hebat.” Rosa melihat, dalam kesehariannya, Joko memang orang yang rendah hati dan kehidupannya juga sederhana.
Kini Joko di Matabaca sekadar membantu dalam urusan menyunting. Frans Parera bahkan sudah pensiun. Joko mengatakan, ”Kebahagiaan kecil saya adalah mendirikan Matabaca ini.”

jokpin 1JOKO PINURBO MENEMUKAN idiom ‘celana’ setelah tujuhbelas tahun menekuni puisi. Ia lupa-lupa ingat proses kisah di balik puisi itu lahir. Tapi, ”Itu eureka saya,”katanya. ‘Celana’ pun menjadi cikal bakal puitika perpuisiannya
Ia menemukan diksi ‘celana’ bertolak dari pembacaan puisi-puisi Indonesia yang hanya berkutat seputar senja, angin, laut, hujan, dan sebagainya — rangkaian metafor dari lanskap alam. Joko penasaran, apa tema puisi melulu dibangun dari imaji semacam itu? Ia coba memakai citraan lain. Awalnya ragu. Risikonya dicaci-maki orang. Tapi ia nekat juga.
Joko kemudian tak hanya menulis ‘celana’. Tapi bergerak ke ‘kamar mandi’, ‘telepon genggam’, ‘ranjang’, ‘tubuh’, ‘bulan’, ‘buku’, ‘mata’, bahkan ‘kuburan’. Ia tak berpikir dan tak peduli eksperimen tersebut akan dianggap berhasil atau gagal, ”Tapi yang penting, ‘Wah, ini belum ditulis orang kayak-kayak gini,’” ungkapnya.
Selepas Celana, Joko menerbitkan dua buku puisi (diterbitkan IndonesiaTera): Di bawah Kibaran Sarung (Juni 2001) dan Pacarkecilku (2002). Berturut-turut keduanya masuk nominasi Khatulistiwa Literary Award. Pada 2005, saat nominasi prosa dan puisi dipisahkan untuk pertama kali, Joko meraih KLA untuk buku Kekasihku (KPG, Juli 2004), yang berhadiah Rp 50 juta. Buku Telepon Genggam (Mei 2003) dan Kepada Cium (Februari 2007) juga masuk nominasi.
Pendeknya, Joko seperti keranjingan menelurkan buku puisi. Dua bukunya yang lain: Pacar Senja (Grasindo, 2005), antologi 100 puisi pilihan dari lima buku pertama; serta satu jilid dari tiga buku puisi pertama Joko (Trilogi). Artinya, dari 1999 hingga 2007, Joko sudah memiliki sembilan buku puisi. Ini produktivitas yang mencengangkan!
Joko selalu membawa blocknote kecil, tempat ia menggodok puisi-puisinya. Terkadang, jika setan ilham mampir kepala, ia segera mencatat di telepon genggam. Waktu pengendapan sesudah tengah malam. Ia paling nyaman menulis ketika segalanya begitu sunyi, ”Selalu selepas tengah malam, itu jernih, pada saat saya santai, tidak memikirkan beban hidup.”
Hampir tidak ada puisinya ditulis sekali jadi. Contoh ringan sajak Kepada Puisi dalam buku Kekasihku. Sajak ini cuma satu baris: Kau adalah mata, aku airmatamu—tapi ia butuh sebulan merampungkan. Kesulitan menulis puisi pendek, menurut Joko, adalah memeras bahasa. Bagaimana memeras ide tapi tak mengurangi substansi isi. Ibaratnya, memainkan logika ketat tapi dalam baris sangat pendek. Namun belum tentu puisi yang lama penggarapan lebih baik dari yang cepat. ”Proses kreatif itu sangat susah sih,” katanya, gelisah.
Joko memang tengah rajin membikin serial sajak pendek. Tujuannya, mensublimasi proses menulis. Awalnya sebagai jeda, intermeso, tapi lama-lama menyenangkan. ”Entah saatnya nanti berhenti, pasti,” nadanya serius.
Joko belajar lagi dari nol setiap kali menulis puisi. Paling bahaya kalau pengarang sudah merasa mapan, ”Soal memikirkan puisi berat juga, Mas. Sudah harus belajar lagi nulis.” Kepada Cium merupakan karya dalam tahap pengendapan, baik secara tema maupun teknik. Kini Joko dalam tahap pencarian lagi. Ia sudah susah bikin puisi yang nakal seperti Celana, ”Sekarang saya merasa tertib.” Joko ingin bikin puisi yang bisa bicara sendiri, yang nonsens, tapi ”memupus godaan untuk tidak beramanat itu kok malah berat ya.”
Ia sendiri akan tertantang ketika menemukan ide abstrak yang rumit, yang perlu diwujudkan dalam penyajian sederhana. Di tangan Joko, peristiwa sehari-hari yang tampak sederhana justru menjadi tidak sederhana ketika dituliskan. ”Karena kita mau mengucapkan apa lewat hal-hal sederhana itu, mau mengungkapkan apa,” ucapnya.
Sampai sekarang, Joko tak punya ruang kerja pribadi, komputer pribadi, apalagi laptop. Ia bukan tipe penulis yang mesti ada alat mesin ketik dulu baru menulis. Baginya, produktivitas adalah konsekuensi dari kesenangan menulis puisi. Atau, dalam kata-katanya, ”Kalau saya sih gatel aja kalau nggak nulis puisi!”
Sadar payah dalam dokumentasi, sejak Februari 2007 Joko membikin blog.. Isinya puisi-puisi yang belum tentu sama ketika terbit di media cetak. Ia juga punya satu blog lagi, yang menyimpan berbagai ulasan dan kritik sastra untuk karya-karyanya. Kedua blog ini, kata Joko, syukur-syukur bisa dijadikan sarana para penyair muda mengunduh belajar.
Tejokusuman menjadi bagian terpenting perjalanan puisi Joko. Sebagian besar puisinya tercipta di sini. Joko sudah terlanjur betah dan nyaman dengan lingkungan Tejokusuman. Teman-teman kantornya tahu benar kebiasaan Joko. Kata mereka, ”Ning sor wit sawo.”
Inilah tempat yang bikin Joko sungkan ke mana-mana. ”Bepergian ke Jerman, Belanda, ke Eropa, orang bilang Bali itu indah, ya tapi saya malah pengen cepet pulang,” ujarnya. “Pulang” artinya merindukan suasana Tejokusuman. Di sinilah kantor, rumah plus pondok kreativitas Joko bersemayam.
Ada satu sajak Joko yang terinspirasi dari perjalanan ke luar negeri. Judulnya Winternachten, terdapat di Kepada Cium. Itu saat ia mengikuti festival sastra di Belanda bersama rombongan sastrawan dari Indonesia. Tapi Joko tidak menulis soal “kebesaran-kebesaran” di sana, malah bagaimana, ”saya kedinginan, tulang saya ngilu semua.” Hanya itu yang dikenang, ”Lain-lainnya biasa aja.”  Puisi ini pun baru jadi tiga tahun kemudian.
Winternachten juga mengingatkannya pada jas loakan.
Sehari sebelum berangkat, Joko menemui Nasarius Sudaryono di kantor Dinamika Edukasi Dasar. Joko bilang kepada Nasar sedang bingung mencari jas. Kalau bikin juga pasti mahal, katanya.
”Kamu punya duit?” Nasar menimpali.
”Punya,” kata Joko.
”Sudahlah, yuk jalan sama aku.”
Nasar membawanya ke toko loak di Jalan Colombo (belakangan tutup). ”Wah…, ini bagus ini,” kata Joko, memilih salah satu. Ia memantas-mantas, ”Bagus sekali jasku.” Harga jasnya cuma Rp 75.000. Karena murah, Joko sekalian mentraktir Nasar.
Jas itu dibawa Nasar ke binatu. Sorenya Joko mengambil di kantor Nasar. Sampai di Belanda, teman-teman memuji jasnya, ”Wah, jasmu bagus.” Tapi Joko tak bilang harganya cuma Rp 75.000!
”Itu sangat mengharukan sekali. Itu jasnya pas sekali. Seumur-umur saya pakai jas, ya itu,” katanya. ”Itu masih saya simpan jasnya.”
Di Winternachten, seperti dalam puisinya, tulang-tulang Joko serasa beku. Seingat Nurnaeni, Joko pernah jatuh dari sepedamotor. Awalnya biasa, tapi empat atau lima tahun kemudian tulang Joko sakit hebat. Joko pergi ke Panti Rapih untuk fisioterapis. Dokter bilang ada satu ruas tulang-tumbuh di percabangan, mengoyak saraf tulang-belakang, yang tersambung ke kaki kanan dan bisa bikin lumpuh. Pada 1997, Joko dioperasi. Peluangnya 50-50. Ia termasuk beruntung.
Tapi, setahun kemudian, Joko harus menjalani operasi usus buntu. Obat penghilang rasa nyeri itu berdosis tinggi. Residunya menumpuk di usus buntu.
”Ya…, dinikmati saja,” kata Nurnaeni, ”Sudah bisa jalan saja sudah bersyukur sekali.”
Pinggang Joko pun mesti dibebat korset karet agar ruas tulang stabil. Ini untuk menghindari guncangan. Kelelahan bikin sarafnya kumat. Berbaring saja susah. ”Nyerinya menyerang seluruh tubuh, merusak secara mental—karena ndak bisa ngapa-ngapain. Sakitnya minta ampun!” Sepanjang badan mengeram bermacam-macam sakit, dari sakit tipus hingga sakit gigi, ”sakit yang menyiksa, ya sakit saraf itu,” ujar Joko.
Dalam Celana dan Di Bawah Kibaran Sarung, sajak-sajak Joko penuh aroma sakit: tubuh yang terbaring di ranjang, analog ranjang dan usia badan. Itu gambaran momen yang diam, materi tanpa perjalanan, tapi lewat imajinasinya, benda-benda dalam ruang privat itu dihidupkan. Atau mereka hidup dalam alam bawah sadar Joko.
”Saya menulis tubuh sakit, tapi dengan humor, dengan pengharapan,” kata Joko.
Ignas Kleden, dalam pengantar Di Bawah Kibaran Sarung, menyebut Joko penyair yang obsesif menggeluti tubuh manusia dalam permenungannya—lebih dari penyair manapun dalam sastra Indonesia modern. Kleden mengatakan, banyak penyair yang menulis juga tentang badan tapi baru sebatas sebagai medium. Joko memerlakukan badan menjadi pesan, message, pusat perhatian, sorotan utama, ”yang diselidiki dengan renungan yang intens…”
Kleden termasuk pengulas paling serius yang menyertai terbitan buku Joko. Dari Sapardi Djoko Damono hingga Nirwan Ahmad Arsuka, dari Ayu Utami hingga Karlina Supelli. Esai Kleden, secara teks maupun ilmiah, mungkin paling memuaskan.
Toh, Joko bilang sendiri, baik tinjauan Kleden atau siapapun, tetap ia perlakukan sebagai salah satu “kemungkinan pembacaan.” Artinya, ada beragam wilayah makna yang bisa dijelajahi pembaca dari puisi-puisinya. Menurutnya, seorang pengarang sendiri juga harus kritis terhadap tulisan kritikus. Jangan mudah limbung jika dinilai buruk, juga jangan cepat membangga-banggakan diri jika dipuji, ”Itu harus kita anggap sama nilainya, baik pujian maupun caci maki sekalipun.”
Joko sudah lepas dari anggapan puja-puji itu. Ia berpandangan, dalam hidup orang harus siap untuk dua hal sekaligus: siap menang siap kalah; siap berhasil siap gagal, ”Nah, kadang-kadang, banyak orang mudah untuk menang, tapi untuk menerima kegagalan, O… itu yang sulit.”

KEBIASAAN JOKO PINURBO tak pernah surut. Ia biasa tidur jam 1 atau 2 dinihari. Pukul 6 pagi sudah terjaga. Nurnaeni sudah berangkat mengajar di SMP Negeri 1 Pengasih Kulonprogo. Kedua pacar-kecilnya, Paska Wahyu Wibisono dan Maria Azalea Anggraini, juga telah pergi sekolah.
Azalea, gadis manis berusia 13 tahun, lebih mirip dan lebih dekat bapaknya, suka membawa-bawa boneka kesayangan. Adapun Paska (15 tahun), seorang anak cerdas tapi juga moody, susah ditebak. Tahu di luar ayahnya dipanggil Jokpin, mereka kadang bercanda, meniru-niru suara burung beo, ”Jokpin… Jokpin… Jokpin…” Joko menanggapinya dengan tawa riang.
Di rumah, Joko pendiam. ”Ndak banyak ngomong. Dalam beberapa hal yang sifatnya prinsip, dia teguh,” tutur Nurnaeni.
Joko menulis puisi dengan kondisi pengertian yang penuh dari keluarga kecilnya. Mereka ngobrol dan saling bercanda. Tapi ketika ayahnya ingin sendirian, tak mau diganggu, mereka tahu. ”Saya enak, tidak ada interupsi,” ujar Joko.
Nurnaeni hanya tahu suaminya senang nulis puisi sejak kuliah, ”Selebihnya adalah urusan dia.” Namun ia sering terkaget-kaget saat membaca puisi-puisi suaminya di koran. Kaget karena tiba-tiba lucu, ada juga yang liris, dan lebih banyak lagi bikin ia tertawa.
Keluarga ini mengisi waktu bersama dengan aktivitas membaca. Oleh-oleh Joko dari luar kota selalu buku. ”Meski buku itu dibeli dari Yogya,” kata Joko, tergelak. Hadiah ulangtahun anak-anaknya selalu minta buku. Kalau ke tokobuku, mereka hanya perlu mengantar, dan mereka memilih sendiri bacaan.
Mereka kini tinggal di rumah yang tetap, baru setahun ditempati. Sebelumnya, di Patangpuluhan, Joko dan Nur sudah tinggal 14 tahun, sudah seperti kampung halaman sendiri. Tapi lantaran rumah itu menjadi sengketa warisan keluarga pemilik, mereka pun pindah ke Singomulanjaya. Ini adalah satu kampung pinggiran Yogya, dalam arti sebenarnya, kebanyakan warganya bekerja sebagai pedagang keliling, penjual bakso, tukang parkir, atau penjual pangsit. Joko banyak belajar dari kehidupan mereka.
Di sini Joko rutin ronda saban malam Kamis. Tetangga dan teman-teman ronda tak tahu sama sekali Joko seorang penyair. Mereka tahu Joko orang kantoran, yang setiap pagi berangkat kerja dan sore pulang. Ada satu tetangga di Patangpuluhan, teman paling dekat, yang baru tahu Joko seorang penulis setelah 10 tahun. ”Tahunya sudah terlambat sekali!” ucap Joko, terbahak.
Joko bilang kepada saya, ”Orang melihat nama besar saya, tapi sebenarnya saya orang biasa bener.” Joko memang ingin hidup sebagai orang biasa dan menghindari kehendak sebagai “tokoh.” Sifat ini sepertinya menurun pada kedua anaknya, ”Semuanya punya tipe yang ndak mau mempertunjukkan diri,” tutur Nurnaeni.
Suatu pagi Sabtu yang sibuk di jalan raya, Joko Pinurbo muncul dari gang kampung, bersiap menyeberang jalan. Hari itu ia hendak menghadiri rapat pertemuan wali sekolah dengan wali murid di SMA Negeri 1 Yogyakarta. Si sulung Paska Wahyu Wibisono adalah murid baru kelas internasional di SMA prestisius itu. Tiba-tiba ada anak kecil menyapa Joko. Mata bocah itu juling. Ia minta tolong diseberangkan Joko.
Setiba di seberang, sambil menunggu bus, si bocah itu bertanya, ”Om agamanya apa?”
”Katolik,” jawab Joko. ”Kamu? ”
”Islam,” timpalnya. ”Tapi kita sama, Om. Perawatku Katolik.”
”Kamu tinggal di mana?”
”Asrama.”
”Asrama apa?”
”Helen Keller.”
Bus datang. Anak itu segera naik. Katanya hendak sekolah. Ia bilang terimakasih dan sempat melambaikan tangan kepada Joko.
Sore hari setiba dari rapat sekolah, Joko segera bercerita kepada istrinya tentang pertemuan dengan bocah itu. ”Ini satu isyarat,” katanya, menebak-nebak, ”Mungkin keberuntungan, semacam pertanda yang hanya bisa dirasani.”
Di atas sebuah meja ruang tamu, ada buku serial tokoh dunia, dan kisah tokoh itu Helen Keller.
”Saya membacanya lagi gara-gara kejadian dengan anak itu,” tutur Joko.
Helen Keller tokoh idola si bungsu Maria Azalea Anggraini. Keller, perempuan asal Alabama, lahir sebagai sosok tuna mata dan tuna telinga. Ia inspirator jutaan manusia untuk empati dan tindakan bagi anak-anak bernasib malang.
”Saya pengen bikin sajak dongeng mata tentang Helen Keller,” janji Joko, suatu ketika.
Jauh setelah itu, sajak dongeng ini pun muncul di Kompas, 23 Desember 2007; judulnya, Kepada Helen Keller:
Mataku berhutang kepada matamu.
Mataku sering meminjam cahaya matamu
untuk menulis dan membaca
ketika tubuhku padam dan gelap gulita.
Sepertinya, puisi-puisi Joko akan selalu mengalir terus seiring pertemuan-pertemuan kesehariannya, perenungan-perenungan setiap malamnya. Suaranya kadang menyejukkan, diselubungi rasa humor yang tinggi, tapi kadang juga penuh haru… []
Yogyakarta, 2008

Qudra^ �+a , � i trauma. Pelajaran turun drastis. Hafiz sempat tak naik kelas. Dia sering melamun, kadang teriak, “Orang jahat. Orang jahat. Mengapa rumah dibakar?”
Anak kedua, Rafiq Wahyu Ahmadi, sering bermimpi, “Orang jahat dobrak pintu dan teriak, ‘Serbu, serbu.’ Kalau tidak cerita, Rafiq menangis, tapi kalau sudah cerita, dia jadi tenang,” kata Khairuddin.
Saya sedih melihat anak-anak Ahmadiyah yang sudah 5-10 tahun hidup dalam pengungsian. Syahidin dari Bayan mengatakan ada 10 bayi lahir di Transito sejak pengusiran dari Gegerung, “Anak bungsu saya diberi nama Muhammad Khatamann Nabiyin … juga lahir di Transito.” Syahidin menerangkan bahwa dalam bahasa Arab, khatam artinya pemungkas. Nabiyin artinya nabi. Muhammad Khatamann Nabiyin berarti Muhammad adalah nabi pamungkas. Ini menegaskan bahwa kaum Ahmadiyah mengganggap Nabi Muhammad sebagai nabi pamungkas.
Ketika hendak meninggalkan Transito, saya tanya pada Nur Hidayati bagaimana rasanya hidup delapan tahun di pengungsian, tumbuh besar dalam ketakutan. Dia terdiam. Kami melihat anak-anak lelaki riuh main sepak bola di halaman Transito. Nur lantas menjawab lirih, “Apa yang dirintis orang tua memang hilang: harta, rumah, tanah. Tapi ini tidak menggoyahkan iman kami.”
“Iman kami tidak goyah.”
***
Jamila Trindle, seorang wartawan televisi Philadelphia, Lexy Rambadeta dari Offstream, serta Andreas Harsono, pergi ke Pulau Lombok guna meliput para pengungsi Ahmadiyah pada Maret 2009. Liputan diadakan oleh International Center for Journalists serta disponsori Carnegie Corporation. Naskah ini, dalam bentuk lebih singkat, dimuat majalah Gatra "Mereka Yang Teraniaya dan Terusir" pada Februari 2010. Andreas Harsono ikut menandatangani petisi Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan.

� /-e b � bersenjata yang serius. Penduduk Papua juga menuntut kemerdekaan. Selain itu Habibie masih harus menghadapi tuduhan sebagai orang yang melindungi Suharto dari tangan hukum.
Pada Oktober 1999 Habibie kalah suara dari Abdurrahman Wahid dalam pemilihan presiden. Indonesia memasuki masa demokratisasi yang jauh lebih kompleks. Wahid berupaya keras mendorong program demokratisasi. Ia memecat jenderal-jenderal nakal bahkan menjanjikan referendum di Aceh. Ia bicara dengan para pemberontak melalui telepon dan mendengarkan keluhan mereka. Wahid bertahan 20 bulan sebelum ia diberhentikan dari kursi kepresidenan pada Juli 2001. Wahid seorang cendekiawan liberal dan aktivis pro-demokrasi, tapi bukan seorang manajer yang baik. Wakilnya, Megawati Soekarnoputri, mengambil alih kendali. Hamzah Haz, ketika itu menjabat menteri, menjadi wakil presiden.
Apa yang bermula sebagai protes terhadap privatisasi kemudian mengerucut menjadi persoalan gaji. Presiden Wahid memutuskan kenaikan gaji pegawai negeri saat ia menjabat. Karyawan PAM Jaya memandang diri mereka “pegawai negeri.” Tapi setelah mereka bekerja untuk RWE Thames Water dan Ondeo Service, mereka sadar bahwa penghasilan mereka sekitar 30 persen lebih rendah dibandingkan dengan gaji kolega mereka yang masih bekerja untuk PAM Jaya. “Kami baru sadar itu ada sekitar 200 yang masih kerja di PAM Jaya lebih enak mereka,” ujar Napitupulu.
Demonstrasi yang terus-menerus bagaimana pun juga mengganggu manajemen konsorsium. Pada periode tersebut, kalau Anda mengunjungi kantor PAM Jaya di mana pun, Anda akan melihat suasana kerjanya mencemaskan. Ada karyawan yang mau bekerja dengan manajemen baru namun lebih banyak lagi yang bekerja sejauh mereka tak melanggar hukum. Sutiyoso belakangan memecat Rama Boedi. Alasannya tak jelas. Banyakyang menduga lantaran Rama tak mendukung privatisasi dan diam-diam memberi angin pada para demonstran.
Pihak konsorsium juga mendapat masalah baru dengan munculnya DPRD yang lebih bertaring. Bulan Desember 1999, Edy Waluyo, ketua DPRD Jakarta, melayangkan surat pada Sutiyoso, menyampaikan bahwa perundingan ulang dengan konsorsium hanya bisa dilaksanakan sampai Februari 2000, “Jika negosiasi tak bisa selesai per 1 Februari 2000, kerja sama harus dibatalkan.”
Buru-buru Sutiyoso mendesak orang-orangnya untuk mempercepat proses perundingan. Tim baru bergerak lebih cepat sekaligus membujuk DPRD untuk meredam tuntutannya. Di sisi lain, Sutiyoso juga menolak permintaan konsorsium agar ia mengusulkan kenaikan tarif air. Air adalah isu politik yang peka. Orang bisa hidup tanpa listrik, tanpa telepon, atau tanpa jalanan mulus, tapi tanpa air mereka akan menderita sekali. Sutiyoso enggan memancing kemarahan rakyat selagi dirinya, sebagai kaki tangan Suharto, masih digugat banyak orang.
Pada 28 Februari 2000, ketika sudah jelas bahwa perundingan tak mungkin tuntas, Edy Waluyo melayangkan surat lagi, memberi Sutiyoso tambahan waktu. Ternyata perundingan berjalan jauh lebih lambat. Sutiyoso terpaksa setuju menaikkan tarif air sebesar 35 persen pada April 2001. Perundingan kedua ternyata sama panjangnya seperti yang pertama. Baru pada 22 Oktober 2001 kontrak kedua, ditandatangani oleh PAM Jaya dan pihak swasta.
Kedua perusahaan internasional pun berganti nama. Sembilan puluh lima persen saham PT Thames PAM Jaya maupun PT PAM Lyonnaise Jaya dimiliki perusahaan induk mereka di London dan Paris. Dua perusahaan Indonesia, masing-masing PT Terra Metta Phora dan PT Bangun Cipta Sarana, hanya punya hak saham lima persen. Kedua pemegang saham minoritas asal Indonesia ini adalah sub-kontraktor dari kedua konsorsium.
Kontrak kedua mencakup 13 perubahan besar. Semula masing-masing konsorsium swasta memiliki kontrol atas rekening escrow. Mereka dapat menarik uang dari rekening tersebut tanpa persetujuan PAM Jaya. Prioritas penggunaan rekening adalah untuk biaya operasi pihak swasta. Mulanya, PAM Jaya juga tak dapat menelaah laporan keuangan pihak swasta. Kini semua itu berubah. Sebuah badan regulator dibentuk. Ketuanya tak lain adalah Achmad Lanti, pensiunan pegawai negeri, yang dulunya terlibat dalam perundingan pertama.

Perbedaan antara kontrak tahun 1997 dan 2001

Juni 1997
Oktober 2001
Sumur dalam
PAM Jaya bertanggung jawab menutup sumur dalam yang banyak dipakai oleh hotel dan pabrik di Jakarta.
Konsorsium menutup sumur dalam bekerja sama dengan dinas pertambangan dan energi.
Pembelian
Tender terbuka untuk pembelian di atas US$ 5 juta. Kontraktor kecil dan mengenah PAM Jaya merasa dirugikan.
Tender terbuka di atas Rp 500 juta (sekitar $50,000 dengan nilai tukar saat itu).
Pasokan air baku
PAM Jaya bertindak sebagai pemasok air baku ke konsorsium, jika PAM Jaya tak mampu melakukannya, pihak konsorsium bisa mencari air baku dari sumber lain dan PAM Jaya harus membayar selisih harga.
Pihak swasta berurusan langsung dengan Perum Jasa Tirta, PDAM, Tangerang, dan PDAM Bogor, yang biasa memasok air baku ke Jakarta. Pihak swasta harus membayar PAM Jaya selisih harga yang dulu dibayar PAM Jaya ke pihak swasta antara 1 Februari 1998 dan penandatanganan kontrak baru (Oktober 2001).
Karyawan

Karyawan PAM Jaya tetap berstatus pegawai negeri namun dipinjamkan ke konsorsium
Karyawan PAM Jaya jadi karyawan konsorsium .Sebuah panel untuk mengurus sengketa perburuhan akan dibuat.

Supervisi

PAM Jaya tak bisa mengambil data dari pihak swasta, tak ada sanksi yang jelas bila pihak swasta tak memenuhi target, juga tak jelas siap yang melakukan supervisi terhadap konsorsium, hanya auditor independen yang bisa memeriksa keuangan konsorsium
Supervisi PAM Jaya tak bisa mengambil data dari pihak swasta, tak ada sanksi yang jelas bila pihak swasta tak memenuhi target, juga tak jelas siap yang melakukan supervisi terhadap konsorsium, hanya auditor independen yang bisa memeriksa keuangan konsorsium Sebuah badan regulator dibentuk dan bersama PAM Jaya, mereka bisa memeriksa keuangan pihak swasta, ada sanksi dan penalti bila pihak swasta tak memenuhi atau terlambat memenuhi berbagai ketentuan.
Escrow account
Pihak swasta bisa mengambil uang dari rekening bersama tanpa persetujuan PAM Jaya. Prioritas penggunaan escrow account ada pada biaya operasi konsorsium
Pihak swasta bisa mencairkan uang dengan persetujuan PAM Jaya dan prioritas adalah membayar utang PAM Jaya
Imbalan air (water charge)
Harga imbalan air naik otomatis tiap enam bulan dengan persetujuan DPRD Jakarta, dan jika ada keterlambatan, selisihnya harus dibayar PAM Jaya, dan tak ada sistem untuk mengingatkan PAM Jaya bila bakal ada selisih
Tarif air direkomendasikan oleh PAM Jaya maupun pihak swasta kepada Badan Regulator. Badan Regulator inilah yang akan berurusan dengan DPRD Jakarta dalam menaikkan tarif air. Selisih sebelumnya akan diaudit oleh BPKP dan pihak swasta harus membayar PAM Jaya
Perselisihan
Mekanisme tiga tingkat: musyawarah, mediasi oleh pakar, dan pengadilan internasional di Singapura
Mekanisme empat tingkat: musyawarah, mediasi oleh Badan Regulator, mediasi oleh para pakar, dan pengadilan baik di Jakarta atau Singapura
 Badan Regulator
PAM Jaya melakukan supervisi terhadap pihak swasta
PAM Jaya dan Badan Regulator melakukan supervisi
Sumber: Kontrak tahun 1997 dan 2001 antara PAM Jaya dan konsorsium swasta.

Namun bagi karyawan PAM Jaya, kontrak kedua lebih merugikan mereka. Kontrak ini menyatakan bahwa hanya ada “status tunggal” bagi karyawan. Mereka harus memilih: jadi pegawai konsorsium atau menerima “golden hand shake” –istilah halus untuk pemecatan. Dengan kata lain, kontrak kedua ini bisa menjadi dasar pemecatan besar-besaran.
“Saya mulai curiga ketika melihat status kerja,” kata Efendy Napitupulu.
Bernard Lafrogne mengatakan bahwa pada 1998 mereka mulai beroperasi dengan nisbah 7,72 pekerja per 1.000 sambungan air. Pada 2001 nisbah tersebut turun jadi 4,71 pekerja. “Jika kita lihat pada Malaysia atau Manila, sekitar tiga orang saja sudah cukup, perusahaan akan lebih efisien.”
Taufik Sandjaja menjelaskan, jumlah pegawai telah turun dari 3.000 menjadi 2.200 pada Desember 2003, seraya menambahkan bahwa setengah dari mereka yang memilih meninggalkan PAM Jaya terpaksa mengambil uang pesangon. Namun 1.110 dari 2.200 yang tertinggal itulah yang mengajukan gugatan hukum melawan PAM Jaya dan konsorsium.
Dalam wawancara dengan para aktivis di kantor kecil mereka di Buaran, saya bertanya, “Mana dari kedua operator tersebut yang lebih baik?” Ini memang bukan pertanyaan mudah karena kedua perusahaan bekerja sama dengan erat dan berkomunikasi secara rutin. Tapi para aktivis itu rata-rata menyatakan PT PAM Lyonnaise Jaya lebih memahami budaya lokal daripada PT Thames PAM Jaya milik RWE Thames Water.
Saya bertanya apa beda Thames Water dulu dengan manajemen RWE Thames Water sesudah merger? “Ada kemajuan sejak mereka dengan RWE. Masih pola lama, tapi mereka berusaha membentuk satu komunitas di karyawan, dikondisikan agar mau bekerja sama dalam menunjang policy kepegawaian. Misalnya, alih status dari karyawan PAM menjadi karyawan mereka. Buntutnya rasionalisasi. Ujung-ujungnya rasionalisasi,” kata Taufik, yang berstatus tenaga pemasaran PT PAM Lyonnaise Jaya.
Ponimin, aktivis SPAI yang lain, mengatakan bahwa tak banyak kebijakan yang berubah. Itulah alasan mereka melancarkan gugatan hukum. “Ini ide kita semua. Semua sudah kita lewati, Departemen Tenaga Kerja, Gubernur dan sebagainya. Untuk mencari keadilan, kami masuk ke pengadilan, untuk dapat kekuatan hukum. Dulu ada Foska PAM Jaya tapi sifatnya lobby-lobby saja. Ada jawaban, tapi ya cuma omongan. Lalu kita bikin SPAI,” kata Ponimin.
Persoalan tak berpusar pada tarik urat leher semata. Ada juga tawaran yang menggiurkan. Taufik menyodorkan sebuah contoh. Satu kali ia “ditawari” memimpin bagian perburuhan PT Thames PAM Jaya.
“Saya tolak tentu,” katanya, “Itu khan namanya berkhianat?”
Dari Buaran, saya punya kesan yang campur aduk tentang Napitupulu dan rekan-rekannya. Bagaimana pun mereka berjuang untuk sebuah cita-cita, yang mungkin tak sepenuhnya bisa dimengerti orang, terutama mereka yang berada di Bank Dunia atau perusahaan air, tapi saya melihat mereka banyak berkorban untuk cita-cita mereka.

RHAMSES SIMANJUNTAK BEKERJA dari sebuah ruang yang lapang di lantai 29 gedung Danamon Aetna di Jalan Sudirman, kawasan bisnis paling mahal di Jakarta. Ia seorang lelaki paruh baya dengan rambut keperakan dan badan besar. Ketika saya menemuinya Desember lalu, ia sedang bekerja dengan laptop mungilnya di meja kerja yang tertata rapi.
“Duduk dulu. Saya selesaikan pekerjaan sedikit,” katanya.
Simanjuntak adalah salah seorang tokoh yang paling berpengaruh untuk urusan air bersih di Jakarta. Ia direktur PT Thames PAM Jaya yang mengurusi “external relations and communication”. Artinya, ia orang Thames Water yang bertugas menghadapi DPRD Jakarta, pejabat PAM Jaya, orang Badan Regulator, para aktivis, juga wartawan seperti saya. Ia satu-satunya orang Indonesia yang duduk di dewan direksi konsorsium tersebut.
Dulu Simanjuntak seorang akuntan. Pada Agustus 1996 ia memutar haluan yang mengubah seluruh jalan hidupnya. Ia memutuskan bergabung dengan PT Kekarpola Thames Airindo.
“Ya, saya cuma cari pekerjaan dan bergabung di sini. Biasa saja,” kata Simanjuntak, seraya menambahkan bahwa ia serta merta ikut mempersiapkan privatisasi PAM Jaya. Simanjuntak banyak membantu Fachry Thaib, orang kepercayaan Sigit, dalam melakukan perhitungan privatisasi.
Ia juga saksi mata pengambilalihan PAM Jaya pada Februari 1998, juga saksi krisis ekonomi yang kemudian memuncak seiring kejatuhan Presiden Suharto. Namun, Simanjuntak bisa tetap bercokol di posisinya saat orang Indonesia lain, termasuk Fachry dan Iwa Kartiwa, harus angkat kaki dari bisnis air ini.
Efendy Napitupulu mengatakan bahwa Simanjutak menanjak dari yang tadinya “naik Mikrolet” menjadi naik “Land Cruiser” yang mahal. Menurut Budi Saroso, mantan rekan Simanjuntak di PT Kekar Thames Airindo, yang ikut terpental dari perusahaan itu sesudah jatuhnya Suharto, “Rhamses tidak join (proyek) dari awal. Dia gabung di tengah-tengah perundingan. Keahliannya finance. Tapi dia kerja untuk Thames, tidak pada kita, karena masalah keuangan ada pada Thames.”
Simanjuntak menerangkan panjang lebar pada saya bahwa RWE Thames Water punya komitmen jangka panjang di Indonesia, dengan mengatakan bahwa proyek air bersih di Jakarta ini adalah satu-satunya proyek Thames Water di Indonesia. Mereka ingin bisnis ini berhasil. “Bahkan saat krisis ekonomi dan politik, komitmen Thames Water tetap terjaga,” katanya. Thames Water terus mempertahankan komitmen mereka di Jakarta sejak kontrak 1997.
Simanjuntak mengatakan, RWE Thames Water punya bisnis lain di kawasan ini, yang dikendalikan baik dari Singapura maupun Australia, tapi nilainya relatif kecil dibandingkan dengan modal pada PT Thames PAM Jaya. Sejak 1997 perusahaannya telah menanamkan modal sebesar Rp 434 milyar dan berencana untuk menanamkan lebih banyak lagi sampai di atas Rp 1 trilyun pada 2007 nanti.
Ketika saya bertanya mengapa Thames Water awalnya bekerja sama dengan Sigit Harjojudanto dan memanfaatkan pengaruh Sigit dalam perundingan, ia langsung menepis dugaan adanya permainan. Ia mengatakan perundingan pertama itu memang alot, “Kalau memang ada kemudahan, mengapa kita negosiasi hingga satu tahun lebih?”
Lantas bagaimana menilai kinerja konsorsium ini? Hingga Desember 2003 atau bulan terakhir dari lima tahun pertama kontrak 25 tahun yang mereka dapatkan, baik PT Thames PAM Jaya maupun PT PAM Lyonnainse Jaya, berhasil melakukan konsolidasi terhadap sebagian besar jaringan PAM Jaya. Mereka secara drastis memangkas jumlah karyawan. Mereka juga bekerja sama dengan BCA, bank swasta terbesar Indonesia, untuk memberikan fasilitas pembayaran air pada para pelanggan lewat ATM.
RWE Thames Water sempat menghadapi masalah yang memalukan ketika proyek bantuan Bank Dunia mereka di kawasan kumuh, Marunda, sebelah utara Jakarta, berantakan. Pada Juli dan Agustus 2003, sejumlah warga Marunda mengadakan demonstrasi atas buruknya layanan air di sana. Perusahaan Inggris-Jerman ini awalnya berniat membangun jaringan distribusi pipa ke Marunda. Namun tekanan air yang rendah dan kurangnya daya tekan pompa membuat air mengalir pelan ke Marunda. Buntutnya, warga Marunda protes.
Menurut data Badan Regulator, baik RWE Thames Water dan Ondeo telah meningkatkan sambungan air dari sekitar 428,764 pada 1997 ke hampir 650,000 pada Desember 2003. Cakupan layanan air bersih pun meningkat dari 43 persen pada 1997 menjadi 53 persen pada 2003. Penjualannya juga meningkat dari 191 juta ke 255 juta meter kubik air.
Simanjuntak mengatakan PT Thames PAM Jaya secara khusus meningkatkan sambungan di sebelah timur Jakarta dari 268,000 pada 1997 menjadi 320,000 pada 2001 dan kemudian 336,550 pada 2003. Artinya, terjadi peningkatan sebesar 26 persen dalam waktu lima tahun pertama.
Secara umum layanan jelas lebih baik, terutama untuk daerah-daerah kelas menengah dan elit di Jakarta seperti Pondok Indah dan Kemang, tapi perusahaan internasional tersebut gagal memenuhi target-target teknis sebagaimana tertera dalam kontrak tahun 1997. Volume yang terjual pada bulan Desember 2003 adalah 255 juta meter kubik air. Padahal targetnya 342 juta. Mereka bisa melayani 53 persen penduduk Jakarta sementara targetnya adalah 70 persen. Mereka berhasil menekan tingkat air tak tertagih menjadi 47 persen, sedang targetnya adalah 35 persen.
Achmad Lanti dari Badan Regulator mengatakan bahwa sekitar 40.000 sampai 45.000 dari total sambungan sekitar 650.000 memiliki layanan buruk, mulai dari tak setetes pun air mengalir sampai tekanan air yang rendah seperti di Marunda.
“Kami dapat banyak laporan, air hanya mengalir dua atau tiga jam sehari,” kata Lanti.
Pendek kata, dalam hal kualitas dan kuantitas, konsorsium gagal memenuhi target. “Saya bilang pada mereka namun mereka membantah. Mereka tidak percaya pada temuan Badan Regulator sehingga harus diundang tim pakar untuk melakukan evaluasi,” lanjutnya.

Perbandingan antara Target dan Pencapaian (2003)

Target
RWE Thames Water
Ondeo Service
Pencapaian
Jumlah sambungan
757,129
336,550
312,879
649,429
Cakupan pelayanan air bersih
70%
62.17%
44.17%
53.17%
Air tak tertagih (non revenue water)
35%
48.28%
45.3%
46.79%
Volume terjual (juta m3)
342
128.96
126.2
255.16
Sumber: Kontrak 1997 dan data dari Badan Regulator pada 2003

Pengeluaran mereka juga memicu kritik. Atjeng Sastrawidjaja dari Badan Pemeriksa Keuangan Publik (BPKP) Jakarta menulis dalam sebuah laporan pada Mei 2000 bahwa biaya operasional dari perusahaan internasional tersebut terlalu tinggi. Mereka menyewa kantor-kantor baru di dua gedung di kawasan bisnis Jakarta, termasuk kantor Simanjuntak, ketimbang memanfaatkan aset PAM Jaya yang ada. Gaji para ekspatriat pun relatif tinggi.
Sejumlah ekspartriat digaji sekitar US$100,000 atau sekitar Rp 800 juta per tahun di luar fasilitas penunjang lainnya, termasuk mobil dan tunjangan keluarga.
“Kita tak tahu persis jumlahnya satu per satu tapi angka $100,000 bisa dilihat dari anggaran mereka,” kata Alizar Anwar, direktur eksekutif Badan Regulator.
Simanjuntak membela diri dengan mengatakan bahwa sewa gedung Danamon Aetna tersebut relatif murah akibat devaluasi rupiah, “Orang bilang kita bayar terlalu mahal atau mobilnya terlalu mewah. Tapi kita toh harus tahu mereka ini expatriates harus hidup sesuai dengan standar hidup mereka di negeri asalnya.”
Ketika saya menanyakan pertemuan Duta Besar Richard Gozney dengan Wakil Presiden Hamzah Haz, Simanjuntak mengatakan bahwa ia tak banyak tahu ide awalnya. Pertemuan itu kemungkinan besar gagasan John Trew, atasannya. Tapi Simanjuntak menekankan logika kenaikan tersebut, “Penyesuaian itu diperlukan untuk menutup inflasi yang membuat harga listrik, bahan kimia, dan gaji karyawan naik, maupun investasi.”
Achmad Lanti juga mendukung kenaikan tarif karena consumer price index (CPI) naik sebesar 156 persen dari Februari 1998 sampai Januari 2004. Sementara, total kenaikan tarif air sebelumnya sebesar 18, 25 dan 40 persen, masih lebih rendah dibandingkan indeks tadi. CPI adalah sebuah indeks untuk mengukur kenaikan harga barang-barang dan layanan jasa. Angka ini juga mengukur laju inflasi.
Walau setuju kenaikan tarif air, Lanti mempertanyakan biaya operasi konsorsium itu. Apa benar-benar masuk akal? Ia menyebutkan bahwa sangat sulit membangun kepercayaan dalam kerja sama yang sudah berlangsung sejak 1997 ini. Baik PAM Jaya maupun pihak swasta saling tak percaya, bahkan untuk data dasar sekalipun mereka sering berbeda pendapat. Lebih buruk lagi, kedua pihak, terutama pihak konsorsium, juga tidak memercayai Badan Regulator, sampai pada titik keduanya sepakat mengundang pihak ketiga, “tim pakar internasional” untuk datang ke Indonesia dan menghitung semuanya.
Satu dari sejumlah pertikaian adalah soal hitung-hitungan. PAM Jaya menyatakan total utangnya pada konsorsium sekitar Rp 600 milyar, sedangkan Thames Water dan Ondeo mematok angka total Rp 900 milyar.
Dalam kontrak 2001, kedua pihak sepakat bila terjadi pertikaian, mereka akan menggunakan mekanisme empat tingkat: (1) musyawarah; (2) mediasi lewat Badan Regulator; (3) pakar internasional; (4) peradilan baik di Jakarta atau Singapura.
Ternyata mereka tak bisa bermusyawarah. Perbedaan pendapat dengan Badan Regulator muncul setelah lembaga itu mempertanyakan efisiensi pemakaian uang oleh pihak swasta. Tapi laporan tersebut disanggah konsorsium. “Ya tidak apa-apa bukan? Kita punya alasan kita sendiri,” kata Simanjuntak. Akhirnya, mereka sepakat mengundang sebuah perusahaan Amerika untuk mengadakan penelitian selama setahun.
Sutiyoso jarang mengungkapkan pendapatnya tentang kontroversi PAM Jaya ini, tapi satu kali ia mengatakan pada wartawan bahwa ia menyewa konsultan dari Singapura untuk mempelajari kontrak tersebut. Para konsultan mengatakan ada 11 butir dari kontrak tahun 2001 yang jelas-jelas menguntungkan pihak konsorsium, “Salah satunya adalah ketentuan bahwa tarif air harus naik setiap enam bulan sekali.”
Rama Boedi mengatakan, ia tak menentang privatisasi. Tapi seharusnya privatisasi dipersiapkan dengan lebih baik. Menurutnya, Presiden Suharto terlalu tergesa-gesa dan mengambil jalan pintas. Dalam perenungannya, Rama juga menyesali mengapa kedua perusahaan raksasa itu mengambil cara bekerja sama dengan kroni-kroni Suharto.
“Mereka perusahaan besar, mereka tak perlu menggunakan cara-cara kotor dalam negosiasi awal itu,” kata Rama.
Namun susah juga menilai orang macam Bernard Lafrogne sebagai karakter yang jahat. Lafrogne akrab dengan Indonesia. Ia meyakini bahwa keterlibatan orang Indonesia adalah metode penting untuk mengelola bisnis air. Ondeo membawa pengetahuan dan ketrampilan, sementara mitra Indonesia mereka memberikan sentuhan lokal.
Sekarang keadaan makin sulit. Kalau mekanisme “pakar internasional” tak bisa menyelesaikan sengketa, langkah selanjutnya adalah pengadilan. Achmad Lanti menjelaskan kalau sampai pihak swasta angkat kaki dari Jakarta, maka pemerintah harus mengeluarkan uang sekitar Rp 3 triliun untuk mengganti keseluruhan biaya investasi dan kerugian para investor, plus membayar 50 persen dari keuntungan yang diproyeksikan pihak swasta sepanjang sisa masa berlakunya kontrak.
Angka tersebut hanya perkiraan dan harus disetujui kedua pihak, PAM Jaya dan pihak swasta, kalau memang pihak swasta harus angkat kaki. Namun berapa pun angkanya, kelihatannya tak ada jalan keluar yang mulus untuk sengketa air ini, dan apa pun yang terjadi, tak sulit untuk meramal bahwa yang paling bakal dirugikan adalah seluruh warga Jakarta. Mereka akan rugi karena pelayanan air bisa terganggu dan lebih rugi lagi karena uang merekalah yang akan dipakai membayar petualangan ini.
Sebelum meninggalkan kantornya, saya bertanya pada Rhamses Simanjuntak, apa yang ia senangi dari bisnis air ini.
“Semua orang butuh air. Ini komoditi yang dibutuhkan semua orang. Ini adalah komitmen hidup saya. Saya mau pensiun di sini,” kata Simanjuntak.
Saya hanya diam, tapi setuju pada ucapannya. Bisnis air, bila dikelola dengan modal besar dan didukung kekuatan politik yang kuat, adalah bisnis yang menjanjikan. Tak heran kalau Simanjuntak merasa aman.*

Catatan:
Naskah ini pada awalnya adalah liputan investigasi Andreas Harsono untuk International Consortium of Investigative Journalists, sebuah proyek konsorsium para wartawan investigasi sedunia yang didirikan oleh Center for Public Integrity, pada 1997. Harsono memang salah satu dari dua orang warga Indonesia, yang jadi anggota konsorsium tersebut. Naskah ini, yang dikerjakannya selama setahun penuh, diturunkan bersama naskah-naskah lain yang memantau aktivitas privatisasi air di seluruh muka bumi, mulai Amerika Latin, Eropa sampai Afrika. Liputan ICIJ ini memenangkan sejumlah penghargaan internasional. Tahun 2003, Harsono membawanya ke sidang Asien Haus di Jerman dan mempresentasikannya dalam judul "Water Privatization". Beberapa bulan kemudian, pada awal 2004, ICIJ mengizinkan majalah Pantau untuk memuatnya dalam versi bahasa Indonesia. Pantau meminta bantuan Gita Widya Laksmini untuk menerjemahkannya. Rencananya, naskah ini akan diterbitkan pada Maret 2004 dalam judul "Diplomasi Air Kotor, Investasi Air Besar". Sungguh sayang, majalah Pantau keburu berhenti terbit. Oleh Harsono, naskah kemudian dialihkan ke majalah Gatra dan dimuat dalam salah satu edisi bulan Mei 2004 dengan judul "Dari Thames ke Ciliwung" yang dipecah-pecah ke dalam beberapa naskah sidebar.

1 komentar: